Bab 12 ~ Arafah

10 2 0
                                    

Beberapa hari lagi, ibadah haji akan dimulai. Hari Kamis pagi, mereka bersiap untuk berangkat ke Arafah untuk melaksanakan wukuf. Tahun ini adalah haji akbar, yang berarti ibadah haji yang wukufnya jatuh pada hari Jumat.

Semua jamaah nampak sangat bersemangat. Dengan rapi mereka memasuki bis-bis yang akan membawa mereka ke tempat perkemahan di Arafah. Sebuah tas yang lumayan besar juga mereka bawa. Tas yang berisi pakaian, obat-obatan, alat mandi, dan apapun yang akan mereka gunakan selama seminggu berada di Arafah, Muzdalifah dan Mina.

Setelah Dhuhur mereka tiba di tempat wukuf. Satu persatu mereka turun dan mulai mencari tenda yang telah diatur oleh pemerintah. Sangat kebetulan, lokasi kloter 21 berada di ujung paling jauh.

Tenda-tenda besar yang hanya beralas terpal, dengan banyak batu-batuan yang masih terasa menonjol saat kaki menginjak alas terpal tersebut. Satu tenda berisi kurang lebih 50 orang, bercampur lelaki dan perempuan.

Yang unik, di dalam tenda pun terdapat tanaman kecil yang sepertinya sengaja di tanam di situ. Mungkin maksudnya untuk mengurangi hawa panas yang rasanya memang luar biasa.

Sebuah padang pasir yang luas. Bukan pasir halus, namun pasir berbatu. Dikelilingi gunung batu pula. Tanpa satupun tanaman. Beribu tenda berdiri berjejer rapi.

MCK berdiri di satu tempat dan hanya ada beberapa kamar mandi saja untuk bergantian. Jadi bisa dibayangkan dong, bagaimana antrinya saat ingin buang air kecil atau besar.

"Hana, kita di tenda mana?" tanya Tiwi saat baru turun dari bis.

"Di situ. Tenda nomor dua. Satu tenda dengan Pak Mus dan beberapa jamaah mandiri," jawab Hana sambil membantu Tiwi membawa koper persediaan obat-obatan yang dibawanya.

Mereka berjalan beriringan sambil memandang sekeliling.

"Masya Allah. Subhanallah. Allahu akbar." Tiwi mengucap syukur dengan mata berbinar. Hana menoleh dan tersenyum, ikut merasakan haru dan bahagia.

"Alhamdulillah, ya, Wi. Kita sudah sampai di sini." Tiwi mengangguk sambil menyeka sudut matanya. Dalam hatinya sedih dan terharu jadi satu, saat mengingat bapak dan ibunya yang belum menunaikan ibadah haji.

Seusai menata barang, Hana, Tiwi dan tim medis bergabung dengan jamaah lain yang telah tiba lebih dulu. mengecek kondisi jamaah dan juga memastikan mereka bisa menjalankan ibadah wukuf dengan sehat dan lancar.

Kondisi padang Arafah yang nyaris tanpa satu pun tumbuhan, membuat cuaca nampak kurang bersahabat. Saat malam tiba, udara dingin sangat menusuk, sedangkan di siang hari panasnya pun menyengat. Meski pemerintah Arab Saudi sudah membuat tiang-tiang tinggi berisi pipa yang bisa menyemprotkan air ke udara demi mengurangi hawa panas, tapi tetap saja belum bisa mampu sepenuhnya membuat para jamaah merasakan manfaatnya. Apalagi mereka berada di dalam tenda yang notabene berisi banyak orang. Mereka juga membawa botol-botol spray yang berisi air untuk menyemprot kepala mereka sendiri. 

"Han, aku mau ke kamar mandi. Ikut nggak?" ujar Tiwi saat jam tangannya menunjukkan angka dua dini hari.

"Ha? Jam berapa ini?" tanya Hana dengan malas, "Ya Allah, dingin banget, Wi. Aku nggak ikut, ya? Kamu berani sendiri?" Hana mengangguk singkat lalu beranjak meninggalkan tempat tidurnya.

Udara dingin segera menyapa kulit Tiwi. Dengan segera dia pun merapatkan jaket dan mengusap-usap kedua telapak tangan. Dia berjalan sambil meniup-niup tangannya agar udara hangat dalam mulutnya membantu tangannya menjadi hangat.

Lokasi MCK tidak terlalu jauh, jadi Tiwi seharusnya tidak terlalu lama untuk sampai di tempat tersebut. Tapi ....

"Tiwi?" sapa seseorang menghentikan langkahnya.

"Rayan?" Lelaki itu tersenyum, kembali mencipta lesung pipit yang menghentak hati Tiwi,

"Mau ke mana malam-malam begini?" Rayan mendekati Tiwi, "Sendirian lagi."

"Ke kamar mandi. Kamu sendiri, mau ke mana?"

"Sama."

"Oh, ya udah lah. BAreng aja," kata Tiwi seraya kembali melangkah. Dia takut udara yang semakin dingin membuat kakinya jadi ikut kaku.

Mereka melangkah bersama menuju MCK. Lokasinya memang jadi satu, Namun pintu masuknya saling bertolak belakang. Saat malam seperti ini, rasanya saat yang tepat untuk memakai MCK sepuas hati, karena tidak ada antrian sama sekali.

Sama seperti saat di penginapan Makkah, Tiwi kerap sekali menggunakan kamar mandi di tengah malam berlama-lama. Untuk mencuci baju dengan tenang tanpa harus digedor-gedor orang. Kegiatannya itu bahkan sempat 

"Eh, nanti kita saling tunggu, ya. Jangan balik dulu kalau aku belum keluar." RAyan mengatakannya sebelum mereka berpisah untuk masuk ke kamar mandi. Tiwi hanya mengangguk pelan.

Tiwi tak mau berpikir terlalu jauh. Dia hanya menganggap sikap Rayan itu hanya sebuah kekhawatiran saja tanpa ada imbuhan perasaan lainnya. Sepertinya itu hal yang tepat.

"Sudah?" 

"Astaghfirullah. Kaget aku," jawab Tiwi sambil mengelus dadanya.

"Hahaha. MAsa lupa kalau aku tungguin?"

"Bukannya lupa, tapi ga nyangka kamu muncul dari situ. Kirain nunggu di mana gitu?"

"Di mana?" tanya Rayan seraya mengedarkan pandangan. Kilau cahaya bulan memantul dari wajah Rayan yang nampak masih basah.

"Kamu nggak kedinginan gitu?" tanya Tiwi spontan.

"Dingin karena ... ?" tanya Rayan menggantung.

"Kan, basah-basahan gitu, nggak dingin kena angin?"

"Oh. Dingin, sih. Tapi sudah biasa."

"Biasa? Biasa apa?"

"Ini air wudhu Tiwi. Aku mau shalat malam, aku sudah terbiasa berdingin-dingin di setiap malam. Jadi, ini sudah biasa."

"Oh." Tiwi jadi salah tingkah. Rayan menatap Tiwi sambil tersenyum sekilas. Wajah beningnya juga membuat hati Rayan berdebar. Ingin rasanya dia mengangkat tangan dan berdoa di sepertiga malam di tanah Arafah ini, agar dia dipertemukan jodohnya di sini. 



Hajj Love StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang