Tiwi tengah duduk santai ditemani secangkir teh hangat dan pisang goreng di bale-bale belakang rumahnya. Matanya memandang ombak pantai yang lepas berpuluh meter di depannya. Pandangannya tak terhalang apapun karena memang rumahnya berada di tepi pantai.
Pagi yang cerah. Bapak dan ibunya sudah beberapa hari ini tidak kemana-mana, mereka di rumah saja menemani Tiwi yang sibuk menerima tamu tetangga dan sanak saudara mereka yang berdatangan semenjak dia tiba dari tanah suci.
" Nduk," sapa Bapaknya.
"Dalem, Pak." Tiwi menggeser duduknya sehingga lelaki paruh baya itu bisa duduk lebih dekat di sebelah putri tersayangnya.
"Gimana? Sudah enakan?" tanya Bapaknya sambil menepuk punggung Tiwi ringan.
"Alhamdulillah, sampun, Pak." Tiwi menjawab dengan lembut. Dia meraih tangan Bapaknya lalu diciumnya pelan. Aroma khas tangan kekar lelaki yang tak pernah letih menafkahi keluarganya, meski nyawa taruhannya saat bergulat dengan ombak di tengah lautan.
"Alhamdulillah, ya, Nduk. Meski bukan Bapak yang berangkat ke tanah suci, tapi bahagiamu menyalur ke sini." Bapak menepuk dadanya dengan senyum mengembang. Binar di matanya selalu berkilat dibingkai wajah yang bersinar. Sungguh tulusnya hati tak mampu menutup semua rasa yang terpancar di rautnya.
Tiwi ikut tersenyum melihatnya. Ada rasa haru dalam dadanya. Hasratnya untuk memberangkatkan kedua orang tuanya semakin kuat.
"Bismillah, Bapak dan Ibu sudah Tiwi daftarkan untuk berangkat haji tahun depan."
"Iya? Kapan? Kenapa tidak bilang dulu? Uangnya dari mana?" Bapak memberondongnya dengan banyak pertanyaan.
"Alhamdulillah, ada Pak. Kemarin, Tiwi sudah mendaftar lewat jalur haji plus, Pak. Karena jalur reguler antriannya sudah panjang. Hampir sepuluh tahun. Bapak dan Ibu akan kesulitan nantinya kalau menunggu selama itu."
"Tapi ...."
"Bismillah. InsyaAllah niat baik kita akan dimudahkan jalannya oleh Allah. Bapak dan Ibu hanya perlu berdoa saja. Doakan Tiwi bisa mewujudkan semua impian Bapak dan Ibu."
"Aamiin. Doa kami selalu menyertaimu, Nduk."
"Alhamdulillah."
"Terus rencanamu kapan kembali ke Surabaya?" tanya bapak lagi.
"Nanti dulu Pak. Tiwi masih kangen Bapak sama Ibu. Masa cuti juga masih lumayan lama. MAsih seminggu lagi." Tiwi menyandarkan kepala di bahu bapaknya. Memang sedari kecil, Tiwi sangat dekat dengan lelaki itu.
Dulu, Tiwi sering mengantar bapaknya hingga naik ke perahu sebelum mengayuh ke lautan. Dia akan bersorak sekaligus menangis kala bapaknya melambaikan tangan dari tengah lautan. Tiwi dan ibunya akan tetap menatap perahu itu hingga akhirnya hilang dari pandangan. Ibunya akan menenangkan Tiwi kecil dengan berbagai cverita an doa yang terlantun untuk lelaki tercinta mereka.
Pun, saat bapaknya kembali. Tiwi dan ibunya akan dengan riang gembira membantu bapak dan teman-temannya menurunkan hasil tangkapan mereka. Kenangan yang tetap membekas di ingatan Tiwi hingga saat ini.
"Pak, ada tamu di depan." Ibu yang tengah memasak bergegas memanggil bapak dan Tiwi saat mendengar ada suara salam dari ruang tamu yang tak jauh dari dapur. Rumah mereka memang tidak terlalu besar. Ruang tamu dan ruang tengah yang hanya dipisahkan oleh sebuah bufet berisi buku dan piala-piala. Bersebelahan dengan dua kamar kecil, kamar Tiwi dan adiknya. Lalu kamar orang tuanya berhadapan dengan dapur dan kamar mandi. Mungil tapi bersih dan tertata cukup rapi.
"Siapa? Pagi sekali," gumam bapak sembari turun dari 'amben', Tiwi pun mengikuti langkah bapaknya yang sudah lebih dulu berlalu. Dia sebenarnya agak malu berhadapan dengan saudara atau teman-teman bapaknya. Bukan karena dia minder, tapi sebaliknya. Dia takut tak bisa memberikan apa yang menjadi harapan orang tuanya. Padahal orang tuanya pun tak pernah meminta hal itu dari gadis itu.
Tiwi tidak langsung ke depan bersama bapaknya. Dia mampir dulu ke dapur karena ibu memintanya membuatkan dulu minuman untuk tamu tersebut. Bersama sepiring pisang goreng dan seteko teh manis, Tiwi pun melangkah ke ruang tamu. Mereka menyuguhkan teh dalam teko karena sudah ada gelas dan juga air zam-zam yang selalu tersedia di meja depan. Juga makanan khas semacam kurma, kacang arab, kismis, coklat kerikil, dll.
"Assalamualaikum, Tiwiiiii!" Hana berteriak sembari menghambur ke arah Tiwi.
"Waalaikumsalam, eh, eh, eh." Tiwi kesulitan menghindari pelukan Hana karena di tangannya masih ada baki yang belum diletakkannya di atas meja. Dasar Hana, tidak bisa menunggu Tiwi menyelesaikannya tugasnya dulu apa? main peluk aja.
Seorang lelaki dengan sigap berdiri dan membantu Tiwi mengambil baki di tangannya. Rayan tersenyum melihat ulah sahabatnya itu.
"Masya Allah. Kok, bisa sampai ke sini?" tanya Tiwi seusai mengurai pelukannya dengan Hana.
"Tuh. Cowok asyem satu itu. Maksa-maksa aku untuk berkunjung ke rumah kamu ini. Padahal aku udah bilang, paling minggu depan kamu juga udah balik Surabaya. Iya, kan?" celoteh Hana.
Bapak dan Rayan tersenyum mendengnarnya. Sementara Tiwi tampak tersenyum kikuk seraya menatap Rayan. Sungguh, debar di dadanya kenapa tiba-tiba harus muncul, sih?
"Gimana kabarnya?" tanya Tiwi berbasa-basi.
"Alhamdulillah. Sehat. Maaf, aku memaksanya ke sini karena dia bilang rumahnya ada di pesisir pantai. Jadi aku pikir kenapa nggak sekalian berlibur gitu," ucap Rayan, seolah ingin mengkonfirmasi tuduhan Hana terhadapnya.
"Halah! Bilang aja kangen," sahut Hana tanpa melihat reaksi bapak Tiwi yang tersenyum mendengar kata-katanya. Sementara Rayan dan Tiwi sama-sama memelototinya.
"Eh? Kenapa bener, sih?" sahut Rayan cuek yang ditimpali tawa oleh Hana.
"Maaf, ya, Pak. Kami mungkin tidak pakai saringan kalau bicara. Mohon maaf bila menyinggung perasaan Bapak," ujar Hana dengan sopan.
"Tidak mengapa. Monggo dilanjut dengan Tiwi saja. Bapak akan membantu Ibu di dalam." Bapak berdiri dan berpamitan pada mereka yang sedang ingin berbagi rindu meski baru beberapa hari berpisah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hajj Love Story
RomanceBismillah. Cerita ini fiksi, mohon maaf bila saya menggunakan profesi dokter di sini. Mohon info juga bila ada yang kurang tepat dalam penggunaan kata dalam cerita ini. Setting waktu cerita terjadi di tahun 2008. Real kondisi, tapi cerita romance-n...