Bab 1 ~ Impian

39 3 0
                                    

Bagi Tiwi, naik haji adalah impian sepanjang masa. Tapi apalah dayanya. Keluarganya bukan konglomerat, yang bisa kemana saja sesuka hati. Bapak dan ibunya tinggal di desa dekat pantai utara, Tuban.

Sebagai nelayan, bapaknya hanya mampu membiayai sekolahnya hingga SD saja. Beruntung Tiwi termasuk anak yang berotak encer. Sejak SMP dia mendapat beasiswa pemerintah. Hingga dia berhasil menjadi dokter, lulusan terbaik Fakultas Kedokteran di Surabaya.

Meski dari keluarga yang kurang mampu, tapi dia tidak pernah merasa minder dalam pergaulan. Temannya banyak. Dari anak konglomerat sampai anak tukang sampah. Dia tidak pernah membeda-bedakan status sosial, oleh karena itu teman-temannya merasa nyaman berada di dekatnya.

Untunglah, semangatnya untuk belajar di dukung penuh keluarganya. Doa-doa tulus selalu mengiringi langkahnya. Sehingga dia tumbuh menjadi gadis yang shalihah, ceria dan mempesona.

Salah satu upaya mewujudkan impiannya adalah dengan mengikuti pendaftaran Tenaga Kesehatan Haji Indonesia. Dengan demikian, sekali dayung terlampaui.

Dia teringat kata-kata ibunya.

"Nduk, jadi dokter itu jangan cuma karena duitnya. Tapi ilmunya. Beramal dengan ilmu akan lebih bermanfaat." Kata ibunya.

"Coba lihat itu," mata ibu menatap ke acara TV, berita haji indonesia.

"Mereka yang dipanggil Alloh berhaji, rata-rata usianya sudah sepuh. Mereka pasti mempunyai banyak keluhan. Yang sakit gula lah, encok lah, entah sakit apa saja itu namanya ... "

"Berjalan jauh kecapekan, diam saja kecapekan, pasti menyusahkan. Kalau menghadapi orang tua macam itu yang sabar ya ... "

Tiwi tersenyum menatap ibunya.

"Injeh bu... Nanti Tiwi akan menemani Bapak dan Ibu naik haji. Doakan Tiwi diterima jadi Petugas Medis Haji ya Bu," ucap Tiwi sambil  menggenggam tangan ibunya.

"InsyaAlloh ... Bismillah Allah Ridha," jawab ibu seraya menepuk pelan tangan Tiwi. Beliau lalu menariknya ke meja makan.

Di sana sudah ada Bagas, adik satu-satunya yang saat ini masih duduk di kelas 11 SMA Negeri di Tuban.

"Berangkat jam berapa Mbak?" tanya Bagas.

"Ini sudah siap. Kamu antar ke terminal bis, kan?"

"Siap laksanakan!" jawabnya dengan memposisikan tangannya di pelipis, bersikap hormat. Tiwi tertawa melihatnya.

Rasanya, dia sudah kangen saja dengan kehangatan keluarganya. Bapaknya masih melaut, Tiwi tak perlu menunggunya. Dia sudah berpamitan kemarin, sebelum bapak berangkat.

🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻

Hari ini dia hanya merasa bahagia. Setelah berhasil melewati serangkaian tes, dan karantina yang melelahkan. Akhirnya dr. Pratiwi Kartika Sari dinyatakan lulus dalam pendaftaran TKHI (Tenaga Kesehatan Haji Indonesia). Dia memang jenius. Di usianya yang baru menginjak 25 tahun, segudang prestasi sudah diraihnya.

Cita-citanya sejak dulu memang menjadi Tenaga Medis Haji Indonesia. Selain bisa melaksanakan ibadah haji, dia juga ingin memanfaatkan ilmunya, membantu para jamaah Haji yang tengah berjuang, beribadah di tanah suci.

Dia tahu, tugas itu tidaklah mudah. Karena 90% jamaah haji berusia lanjut, yang artinya pasti akan sangat banyak keluhan-keluhan dan kerepotan luar biasa. Tapi dia bertekat, ingin mendampingi orang-orang sepuh ini, menjalankan ibadah haji dengan tenang dan nyaman.

Karena itu, beberapa bulan lalu, ketika seniornya memberi info ada pendaftaran TKHI, tanpa ragu dia melakukan registrasi dan mengikuti pelatihannya.

Hari ini. Pengumuman kelulusan bagi dokter-dokter yang mengikuti proses panjang itu. Namanya termasuk salah satu yang diterima.

Tiwi berjalan cepat menyusuri lorong Rumah Sakit tempatnya bekerja. Tujuannya satu. Mencari Dina, sahabatnya. Senyumnya tak henti mengembang, apalagi saat berpapasan dengan pasien dan teman seprofesinya.

"Dinaaa!" teriak Tiwi saat mata mungilnya menemukan sosok Dina yang sedang duduk di meja ruang prakteknya.

"Apa?!" seru Dina, terlonjak mendengar teriakan Tiwi.

Dengan langkah lebar dia mendekati Dina dan memamerkan amplop coklat di tangannya. Melihat amplop itu, Dina melotot dan berdiri seketika menabrak Tiwi, memeluknya dengan erat.

"Benarkah? Lulus?" tanya Dina seolah ingin meyakinkan. Dibolak-baliknya lembar pengumuman kelulusan menjadi Tenaga Kesehatan Haji Indonesia untuk Tiwi.

"Alhamdulillah," sahut Tiwi lega.

"Kamu memang pantas mendapatkannya Wi. Selamat ya." Ucap Dina, dipeluknya sekali lagi sahabat karibnya itu.

"Terima kasih," jawab Tiwi.

"Makan makan," pinta Dina sambil mengedipkan matanya.

"Hahaha, siap ... masih ada pasien?"

"Habis. Tapi aku masih ada sedikit laporan yang belum selesai. Sebentar ya. Sepuluh menit, oke?"

"Oke, Boss," jawab Tiwi, dia menunggu Dina sambil membaca buku yang ada di ruangan itu.

Tiba-tiba pintu terbuka.

"Din, bisa minta tolong sebentar." Dokter Paulus melongokkan kepala.

"Iya dok, ada apa?" tanya Dina.

Sejenak dokter Paulus menyadari keberadaan Tiwi.

"Oh, lagi sibuk, ya?" tanyanya sambil tersenyum pada mereka.

"Nggak juga, sih, dok. Tinggal bikin laporan sebentar. Memangnya kenapa, dok?" tanya Dina. Sementara Tiwi memainkan ponselnya, tak ingin mencampuri urusan Dina dan dr Paulus.

"Ga usah, deh. Sepertinya kamu mau ada keperluan dengan temanmu itu." Tiwi mendongak dan menatap dokter Paulus dan Dina bergantian.

"Ok. See you tomorrow. Have fun." Dina mengernyitkan kening. Tiwi mengedikkan bahu, saat Dina melempar pandangan padanya. Mereka pun kembali terdiam saat dokter Paulus meninggalkan mereka.

Sepuluh menit kemudian.

"Finish!" teriak Dina

"Ayook... "

Tiwi menggamit lengan Dina, berjalan beriringan menuju cafe di depan Rumah Sakit. Gelak tawa menemani langkah mereka.

Tanpa mereka sadari, sepasang mata menatap sendu di belakang pintu kaca.

Tiwi. Bisakah aku menggenggam hatimu. Bisiknya lirih..

Siapa ya?

Hajj Love StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang