Bab 5 ~ Kebun Kurma

16 2 0
                                    

"Assalamualaikum. Mau belanja juga?" Sebuah suara mengagetkan Tiwi dan Hana yang sedang mencicip beberapa kurma yang ditawarkan para pedagang di kebun kurma ini. Mereka sedang mengikuti tour ke beberapa lokasi di sekitar Madinah.

Mereka baru saja dari Majid Quba, masjid pertama yang dibangun oleh Rasulullah di tepi kota Madinah. Di tempat ini Rasulullah yang baru datang untuk berhijrah dari kota Mekkah disambut dengan sholawat Badar.

Salat dua rakaat di Masjid Quba, pahalanya setara dengan beribadah Umrah. Sebagaimana dijelaskan dalam sebuah hadist.

"Barangsiapa yang keluar dari rumahnya kemudian mendatangi masjid ini, yakni Masjid Quba kemudian salat di dalamnya, maka pahalanya seperti ia menjalankan umrah" (Musnad Ahmad: 15981).

"Waalaikumsalam," jawab Tiwi sambil tersipu. Hana memandang kedua orang yang ada di depannya. Si pemuda yang tengah memamerkan lesung pipitnya, dan Tiwi yang sedang tertunduk sambil tersipu.

"Wait, kamu... Rayan kan?" tanya Hana.

Sontak Rayan menatap Hana.

"Raihana?"

"Masya Allah, Rayan. Gimana kabarmu? Sudah lulus kan? Atau lanjut spesialis? Dimana?" cerca Hana.

"Wow, wow, wow, calm down Han.. Satu-satu dong, kayak peluru gitu serangannya... Hahaha."

"Habisnya kamu dulu main pindah saja, aku ga tau lagi mesti minjem catatan siapa di kelas. Eh, ngomong-ngomong, kamu sama siapa disini? Dinas juga? Kloter berapa?" Lagi-lagi Hana memberondongnya dengan pertanyaan.

"Ha,ha,ha, duduk dulu yuk. Di situ?" Rayan menunjuk kursi-kursi yang memang disediakan di belakang gedung perbelanjaan kurma itu.

Tiwi mengikuti langkah mereka, meski hatinya juga sudah penuh dengan pertanyaan. Ada apa diantara mereka.

"Jadi?" Hana membuka suara. Matanya berbinar menatap Rayan.

"Ya, saat ini aku mengambil Spesialis Jantung. Mama meninggal setahun yang lalu. Jadi aku kesini sendiri, badal haji-kan Mama."

Tiwi masih belum bersuara.

"Innalillahi wainnailaihi rooji'uun. Maaf Yan, kami sekeluarga tidak mendengar kepergian Mamamu. Lalu kalian sekarang tinggal di mana?"

"Ga papa Han, papa tinggal di Kediri bersama keluarga. Aku meneruskan spesialis di UI. Eh, kalian dokter kloter kan?"

"Hahaha, iya nih. Kenalkan, ini temanku, dokter Pratiwi, biasa di panggil Tiwi."

"Aku tahu, tadi pagi kami ketemu, ya kan, dok?" sahut Rayan sambil menatap Tiwi.

"Eh, iya, iya," ujar Tiwi gugup, dia tak menyangka akan dilibatkan dalam pembicaraan reuni itu. Karena pikirannya dari tadi sudah teralihkan ke tempat lain.

Rayan tersenyum melihatnya. "Kenapa dia tersenyum? Apa dia tak tahu kalau jantungku sudah mau lari saja dari tadi?" bisik Tiwi dalam hati.

Pertemuan itu didominasi pembincangan Rayan dan Hana yang ternyata satu fakultas saat mereka kuliah di UNAIR. Di tahun kedua, tiba-tiba Rayan pindah ke Jakarta karena Mamanya sakit-sakitan dan membutuhkan pengobatan di sana. Dia lebih memilih pindah kuliah daripada meninggalkan mamanya. Dia ingin merawatnya sendiri.

Merasa tidak mempunyai bahan untuk ikut dalam perbincangan, Tiwi pamit meninggalkan mereka. Dia kembali menyusuri deretan pedagang kurma, dan dengan ceria mencicip berbagai macam kurma yang ada.

"Halal?" tanyanya pada seorang pedagang. Pertanyaan itu artinya, "Boleh saya incip kurmanya?"

"Halal." Sahut pedagang itu dengan ramah. Tiwi tertawa dan mengambil 2 biji kurma. Selama dimakan di lokasi, kurma-kurma itu memang gratis. Dan Tiwi tentu tidak akan melewatkan kesempatan ini. Dia jadi tahu berbagai macam bentuk dan rasa kurma-kurma itu.

Di tangannya sudah ada kurma syukari seberat satu kilo. Tiwi melangkah mencari Hana. Rupanya temannya itu masih betah duduk berbincang dengan pemuda itu.

"Huft! Apa saja sih yang mereka bicarakan?" batin Tiwi sedikit kesal di hatinya. "Eh, kenapa aku jadi kesal begini?" sahut sisi hatinya yang lain. "Auklah."

"Dokter," sapa pak Mus, ketua kloter menghentikan langkahnya.

"Ya Pak," jawab Tiwi.

"Sudah belanja apa aja, hayo?"

"Ah, cuma beli kurma ini aja kok Pak. Enak lho Pak kurmanya, lembuuut pake banget, manis lagi." Kata Tiwi dengan ekspresi lucu

"Kurma apa?" ucap pak Mus penasaran.

"Syukari Pak."

"Whahahaha ... Dokter beli kurma syukari? Whahahaha," kata Pak Mus, beliau tertawa sambil memegang perutnya.

"Kenapa, Pak? Ini yang paling enak lho. Saya sudah incip semua tadi." Ujar Tiwi dengan wajah polosnya.

"Dokter itu lucu. Kurma syukari itu memang kurma raja. Ya jelas enak lah, tapi kurma itu juga terkenal untuk menambah stamina."

"Nah bagus, kan, Pak, kita memang butuh stamina yang kuat, kan?" potong Hana

"Stamina pria, dokter," sahut pak Mus sambil mengangkat kedua tangan ke atas dan menggerakkan jari telunjuk dan tengahnya seolah membuat tanda kutip.

"Ups." Tiwi menutup mulutnya. Wajahnya memerah karena malu. Pak Mus masih tertawa tergelak melihat dokter Tiwi yang jadi salah tingkah.

"Ssttt... Jangan bilang siapa-siapa ya Pak, saya malu," bisik Tiwi. Pak Mus mengangguk dengan telunjuk di mulutnya. Tapi tetap saja dia tertawa.

Mereka berjalan bersama menuju bus, untuk melanjutkan perjalanan ke makam para pejuang yang syahid saat perang Uhud.

Menjelang Dhuhur, mereka sudah tiba kembali di Masjid Nabawi untuk melaksanakan salat Dhuhur. Tiwi dan Hana masih sibuk mengecek perlengkapan medis dan obat-obatan. Dua hari lagi mereka akan berangkat ke Mekkah. Mereka harus melakukan koordinasi dengan banyak pihak.

Mereka bersyukur, kloter ini tidak banyak yang berusia lanjut. Yang paling tua adalah kakek Hasan yang berusia 88 tahun. Sedangkan mayoritas jamaah berusia 65-75 tahun.

Setelah salat Dhuhur, Hana keluar mengunjungi salah satu jamaah yang mengeluh sakit kepala. Sementara Tiwi rebahan di kamarnya.

"Mbak Tiwi, ada yang nyari tuh," kata salah satu perawat yang  melongokkan kepala ke dalam kamar. Tiwi bergegas bangkit dan mengambil peralatannya.

"Assalamualaikum." Terdengar salam seorang pemuda.

"Waalaikumsalam," jawab Tiwi, terkejut dengan kedatangan pemuda itu ke kamarnya. "Eh Rayan, kirain tadi ada pasien. Maaf, maaf. Ada apa ya?" tanya Tiwi setelah berhasil menguasai degup jantungnya. Heran deh, kenapa sih selalu saja deg-degan kalau dekat dengannya.

"Ndak apa-apa. Lagi istirahat ya?" jawab Rayan

"Duduk dulu, Ray." Tiwi menarik sebuah kursi. Lalu dia duduk di atas tempat tidur di depan Rayan.

"Ada yang bisa aku bantu,"
Tiwi menatap Rayan sekilas, lalu menundukkan pandangan.

"Kamu marah?"

Eh? Maksudnya?

Hajj Love StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang