Bab 11 ~ Tersesat

8 2 0
                                    


"Mau ke mana?" tanya Rayan saat melihat Tiwi sedang jongkok untuk melepas alas kaki sebelum masuk masjidil haram.

"Eh, Rayan. Itu, aku mau thawaf sunnah sebelum balik ke penginapan."

"Sendiri?" tanyanya lagi.

"He-em. Tadi Hana sudah balik duluan. Aku juga sudah izin Pak Mus, katanya mau ditunggu di depan Multazam. Beliau sudah thawaf duluan bersama yang lain. Tadi aku ke kamar mandi dulu."

"Oh, biar aku temani."

Tiwi mengernyitkan kening. Temani? Ngapain coba?

"Ayok. Silahkan jalan duluan, aku awasi dari belakang," ucap Rayan sambil tersenyum. Debar di dada Tiwi kembali berulah.

"Astaghfirullah." Tiwi menepuk dadanya pelan.

"Kenapa? Sakit?" tanya Rayan panik saat dilihatnya Tiwi mengusap dada sambil istighfar.

"Nggak! Nggak papa, kok. Ayok." Tiwi mulai berjalan menuju Ka'bah.

Selama thawaf, baik Rayan maupun Tiwi tidak bersentuhan sama sekali. Rayan mengawasi Tiwi yang nampak khusyuk berjalan mengelilingi Ka'bah mengikuti arus. Tidak ada yang istimewa, Rayan berbuat begitu hanya karena dia khawatir terjadi sesuatu pada gadis itu. Tapi, nampaknya dia terlihat berani, kuat dan cerdas.

Seusai tujuh putaran, mereka menuju Multazam lalu shalat dua rakaat. Mereka sudah nampak Pak Mus yang masih khusyuk berdoa. Rayan mendekati Pak Mus,  memberitahu beliau kalau Tiwi sudah selesai thawaf dan siap kembali ke penginapan.

Awalnya mereka berjalan berdampingan bertiga. Namun, Pak Mus bertemu dengan salah satu temannya dari kloter lain dan meminta mereka berjalan lebih dulu.

"Tunggu saya di terminal C, ya?" pinta Pak Mus yang diangguki Tiwi dan Rayan.

Mereka berjalan menyusuri jalanan yang ramai oleh para calon jamaah haji dari seluruh penjuru dunia.

Tiba-tiba nampak oleh mereka sepasang kakek nenek dari Indonesia yang sepertinya tengah berdebat. Mereka saling bergandengan tapi wajah mereka terlihat kesal.

Rayan dan Tiwi menghampiri mereka.

"Assalamualaikum. Kek, Nek, ada apa?"

"Waalaikumsalam. Kami tertinggal rombongan, Nak. Kami tidak tahu ke mana kami harus kembali," jawab si nenek.

"Udah. Kamu jangan bicara dengan orang asing. Bahaya," bentak si kakek pada nenek yang tampak ketakutan.

"Tapi kita nggak tahu harus gimana kembali ke penginapan."

"Kita bisa naik taksi."

"Kakek, memangnya kakek tahu, dimana penginapannya?" tanya Tiwi sabar.

"Kan, kita bisa tunjukkan kartu ini ke sopir taksinya."

"Tapi, kakek kan, tidak tahu rute tempatnya. Kalau kakek dibohongi sopir taksinya, diajak putar-putar jauh padahal seharusnya jaraknya tidak sejauh itu, lalu kakek diminta bayar dengan jumlah uang yang banyak, bagaimana?" urai Tiwi pelan.

"Nah, benar itu Kek."

"Lagian Kek. Kan, bahasa kita dengan mereka berbeda. Bagaimana Kakek menjelaskan pada mereka. Ini bukan Indonesia yang orangnya ramah-ramah, loh, Kek," tambah Rayan sambil tersenyum.

Nampaknya si kakek mulai terpengaruh. Dia terdiam lalu menatap istrinya.

"Begini saja, Kek. Saya boleh lihat datanya? Kakek ada di daerah mana. Nanti saya antar ke terminal bis, biar dipandu petugas agar kakek nenek tiba di penginapan dengan selamat tanpa harus mengeluarkan sepeser uang pun. Memang sedikit lama, tidak secepat taksi, tapi insyaAllah aman. Bagaimana?" tawar Rayan dengan sopan.

Akhirnya mereka luluh. Untung saja mereka membawa tas kecil berisi data yang dibutuhkan. Setelah membaca data, Tiwi dan Rayan mengantar mereka ke perhentian bus menuju wilayah penginapan. Mereka pun menitipkan kakek dan nenek pada petugas di sana.

Seusai melepas kakek dan nenek tersebut, Rayan dan Tiwi pun menuju perhentian bus mereka. Karena masih menunggu Pak Mus, mereka tidak langsung naik ke bus melainkan menuju sebuah minibus terbuka yang digunakan untuk berjualan minuman dan makanan ringan.

Rayan memesan segelas kopi dan satu teh susu untuk Tiwi. Mereka duduk di kursi tanpa meja yang disediakan penjualnya di depan minibus.

"Terima kasih." Tiwi menerima gelas teh susu dari Rayan.

"Mau roti?" tawar Rayan.

"Tidak."

"Oke." Rayan menyeruput kopinya pelan, "Gimana aktivitas? Masih padat?" tanya Rayan basa basi.

"Ya, begitulah. Tapi alhamdulillah, tidak ada yang parah. Semoga semua bisa menjalankan ibadah haji dengan lancar, khusyuk dan mabrur. Aamiin."

"Aamiin."

Mereka terdiam sejenak. Menikmati suasana sore yang begitu sejuk. Mereka jauh dari tanah air, jauh dari keluarga. Karena itu rasa persaudaraan yang kuat akan muncul saat bertemu dengan warga Indonesia yang lain.

"Astaghfirullah!" pekik Tiwi yang spontan berdiri dan berlari menuju seorang nenek yang terjatuh tak jauh dari tempatnya duduk.

Rayan bergegas mengikutinya.

"Ya Allah, Mbah. Kok, sendirian?" Tiwi membantu nenek tersebut berdiri kembali.

"Matur suwun, Ndhuk. Mbah Ndak ngerti kowe ngomong opo?" ujar nenek tersebut dalam bahasa jawa.

"Kok piyambakan to, Mbah. Rombongane ten pundi?"

"Embuh, Ndhuk. Aku ditinggal mergo mlakune alon. Wong-wong ora kanten. Hehehe." Nenek itu malah tertawa melihat kekhawatiran di wajah Tiwi.

"Ningali nggeh, Mbah, njenengan kloter pinten?" Tiwi meminta izin untuk melihat data di tas yang dipakai nenek tersebut.

"Loalah, niki kloter kulo. Monggo sareng mawon. Ngrantos pak ketua kloter rumiyen, nggeh. Lenggah riyen, Mbah." Tiwi mengajak si nenek untuk duduk sejenak bersama mereka.

Si nenek menurut apa kata Tiwi. Rayan menawarkan minum dan roti pada si nenek tapi ditolak dengan sopan.

Nenek itu segera saja menjadi akrab dengan Tiwi. Mereka berbincang dengan seru bagai cucu dan nenek yang terpisah puluhan tahun. Banyak yang ingin nenek itu ceritakan. Tiwi pun menanggapinya dengan antusias dan sabar.

Rayan yang melihat hal itu ikut tersenyum meski dia hanya sedikit memahami isi perbincangan mereka. Diam-diam Rayan mengambil foto Tiwi dan nenek tersebut.

Dan senyumpun merekah di bibir Rayan. Debar di dadanya membuncah seiring hormon endorfin yang meningkat.

Hajj Love StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang