"Tiwi, tolong bawa koper yang itu ya." Hana menunjuk sebuah koper besar berisi obat-obatan dan beberapa alat medis. Hana sendiri menenteng sebuah tas ransel besar dan juga kopernya sendiri.
"Nanti saja Han, kita bisa minta tolong petugas hotel," sahut Tiwi sambil duduk di dekatnya.
Jamaah haji kloter 21 embarkasi Surabaya sudah tiba di Madinah. Suhu udara malam ini mencapai 11°C. Tiwi mengeratkan jaketnya, berusaha mencari sedikit kehangatan disana. Hana yang duduk di sebelahnya terlihat menggosok-gosokkan kedua tangan lalu meniupnya. Mengalirkan udara hangat dari mulutnya.
"Pak, belum bisa masuk kamar kah?" Tanya Hana pada ketua kloter yang masih mondar-mandir melakukan komunikasi dengan siskohat (petugas haji yang ada di Madinah/Mekkah)
"Sebentar dok, sabar yaa," kata K.H Muslimin, ketua kloter.
Akhirnya, setelah menunggu hampir satu jam. Mereka bisa mulai memasuki kamar-kamar yang disediakan. Tim dokter yang terdiri dari 2 dokter perempuan dan 3 perawat laki-laki dijadikan dalam satu ruangan dengan ketua kloter.
"Alhamdulillah," ucap Tiwi saat badannya menyentuh tempat tidur. Tak lagi dihiraukannya rasa capek dan lengket di badan. Matanya terpejam menikmati saat-saat terindah dalam hidupnya.
Hana masih sibuk memasukkan koper dan barang-barangnya. Dia hanya menggelengkan kepala saat dilihatnya Tiwi sudah terlelap tanpa melepas sepatu.
Setelah membersihkan diri, Hana mendekati Tiwi.
"Wi, kamu ndak bersih-bersih badan dulu?"
Tiwi sudah tak berkutik. Lelap dalam mimpinya. Hana melepas sepatu Tiwi, lalu beranjak menuju tempat tidurnya. Tak lama dia pun bertemu dengan mimpinya.
*****
Seminggu sebelum berangkat.
"Tiwi, ada yang ingin aku bicarakan." Dokter Paulus membuka percakapan setelah sekian lama mereka terdiam di dalam mobil.
Tiwi diam saja tidak menyahut. Berharap dia melanjutkan kata-kata tanpa menunggu responnya.
"Wi, aku sudah lama menyukaimu. Apa aku ada harapan untuk bersama denganmu?"
Tiwi terbelalak. Kalau dia bisa lihat ekspresi wajahnya saat itu, pasti dia sendiri akan shock. Mengagetkan, ungkapan perasaan dokter Paulus yang sangat tidak diharapkannya.
Tiwi hanya menunduk dan memainkan jari-jari tangan, menandakan hatinya yang gelisah. Tiba-tiba rasa tidak nyaman menyeruak ke relung dadanya. Bingung, harus berkata apa.
"Maafkan saya dokter," lirih Tiwi, "saya tidak bisa."
"Kenapa Wi?" sergah lelaki itu, "apa karena perbedaan keimanan kita?"
"Tentu saja iya dokter. Saya tidak mungkin menikah dengan pria non muslim. Maafkan saya."
"Asal kamu juga cinta saya. Dengan rela saya bisa jadi muallaf."
"Jadi muallaf hanya untuk menikahi saya? Maaf saya tidak bisa."
"Kenapa? Bukankah alasan itu diperbolehkan dalam islam?"
Tiwi menghela napas pelan. Memang boleh, tapi Tiwi belum siap menjadi pembimbing muallaf yang berstatus suaminya. Dia masih butuh imam yang akan semakin menguatkan imannya. Karena dalam Islam, seorang istri harus patuh pada suaminya. Lalu, bagaimana mungkin dia mempunyai suami yang berbeda keyakinan, atau bahkan belum memahami peran suami dalam rumah tangga muslim. Tiwi tak sanggup membayangkan hal itu.
"Terima kasih karena dokter sudah mencintai saya. Terima kasih juga dokter bersedia menjadi muslim karena saya. Tapi menurut saya, agama itu adalah keimanan hati seseorang terhadap Tuhannya. Saya tidak mau mengintervensi di dalamnya."
"Bukan begitu maksud saya Tiwi. Tentu saja saya akan total mengenai agama Islam. Bukan hanya karena kamu."
"Maafkan saya sekali lagi, saat ini saya belum bisa menerima perasaan anda. Saya juga tidak bisa menjanjikan hati saya akan berubah suatu hari nanti."
Mereka terdiam sesaat. Suasana tegang terjadi diantara mereka. Tak ingin berlama-lama dalam situasi itu, Tiwi mengambil tas belanjanya.
"Terima kasih atas tumpangannya dokter. Saya pergi dulu.." Tiwi membuka pintu mobil, dan bergegas keluar.
Dokter Paulus hanya diam termangu, tidak mampu berkata-kata lagi.
*****
Tiwi terganggu oleh suara berisik disekitarnya. Perlahan matanya terbuka. Sinar yang masuk ke netranya masih butuh disesuaikan.
"Ah, putri tidur sudah bangun. Baru mau aku panggilkan pangeran untuk menciummu," ledek Hana sambil terkekeh. Sebuah handuk kecil bertengger di lehernya.
"Isshh. Apaan sih?" Dilemparnya bantal ke arah Hana.
"Hahaha... Ayo cepet, kamar mandinya sudah antr, tuh. Entar ketinggalan ke Masjid Nabawi."
"Astaghfirullah." Dia segera melompat turun. Hampir saja terlupa, saat ini dia, kan, sudah ada di Madinah. Segera di carinya koper untuk mengambil barang-barangnya.
Setengah jam kemudian, mereka sudah siap di lobby hotel. Menunggu ketua kloter untuk bersama-sama berangkat ke Masjid Nabawi, menunaikan sholat subuh.
Udara dingin masih menembus jaket yang mereka kenakan. Dari kejauhan nampak bangungan megah dengan banyak menara yang menjulang tinggi. Lampu-lampu gemerlap menyinari jalan yang dilalui oleh ribuan orang yang melangkah ke satu tujuan.
Sepanjang perjalanan, mereka menemui pedagang-pedagang yang memakai baju dan cadar hitam mulai menggelar tikar dan menyebar berbagai barang dagangan di atasnya. Ada sepatu kain, gamis, khimar, minyak wangi, bahkan mainan anak-anak.
Hampir 30 menit mereka berjalan. Dan akhirnya sampailah mereka di pintu gerbang yang sangat indah dan megah.
"Subhanallah, Wal hamdulillah, wa laa ilaaha illallahu allahu akbar." Tiwi mengucap takbir, tahmid dan tasbih, terus menerus tak henti meluncur dari mulutnya.
Salat Subuh pertama di tanah suci Madinah.
Seusai shalat Subuh. Imam masjid berdiri dan melakukan shalat jenazah. Begitulah di masjidil haram, setiap seusai shalat pasti dilanjutkan dengan shalat jenazah. Jamaah boleh mengikuti boleh juga mengabaikannya.
Karena di masjid Nabawi tempat shalat perempuan dan lelaki di pisah, maka Tiwi dan rombongan perempuan lain tidak serta merta kembali ke penginapan. Mereka berkeliling masjid, menikmati dinginnya pagi sambil meminum air zam-zam yang disediakan gratis bagi Jamaah.
Bahkan, mereka melihat banyak jamaah yang membawa botol minum kosong lalu mengisinya dengan air zam-zam untuk dibawa kembali ke penginapan.
Tiwi dan Hana berkeliling sejenak, membeli beberapa kudapan dan minuman hangat sebelum kembali ke penginapan.
Sinar mentari pagi mulai menghangatkan tubuh mereka saat mereka berjalan menyusuri kota yang sangat damai itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hajj Love Story
RomanceBismillah. Cerita ini fiksi, mohon maaf bila saya menggunakan profesi dokter di sini. Mohon info juga bila ada yang kurang tepat dalam penggunaan kata dalam cerita ini. Setting waktu cerita terjadi di tahun 2008. Real kondisi, tapi cerita romance-n...