"Alhamdulillah. Akhirnya selesai juga," kata Tiwi sambil duduk berselonjor di lantai Masjidil Haram.
"Kenapa, tuh, mata?" goda Hana melihat mata Tiwi yang membengkak karena kebanyakan menangis.
"Halah, kayak situ matanya nggak bengkak aja," cibir Tiwi.
Hana tertawa mendengarnya.
Tiwi menengadahkan pandangan. Melihat langit Makkah di malam pertama kedatangannya. Kota yang tak pernah tidur. Bagaimana dia bisa menahan tangisnya saat berjuta rasa menyeruak, ketika kakinya memasuki pintu masjid dan matanya menangkap Ka'bah yang menjadi pusat bumi. Dan sejak itulah, airmatanya bercucuran tanpa bisa dikendalikan.
Ya Allah, ijinkan hamba kembali ke sini bersama kedua orangtua hamba. Doanya dalam hati.
"Assalamualaikum," sapa seseorang.
"Waalaikumsalam," jawab Tiwi dan Hana bersamaan. "Eh, Rayhan. Sendirian saja?" tanya Hana.
"Iya. Kalian juga berdua saja?" tanya balik Rayhan.
"Nggak. Kami sedang menunggu rombongan, mereka ke toilet." jawab Tiwi.
"Oh," ujar Rayhan singkat.
"Mau balik bareng? Oh ya, kamu di gedung mana?" tanya Hana seraya bersiap karena rombongannya sudah nampak berkumpul kembali.
"Gedung B."
"Oh," sahut Hana. Keheningan hadir sejenak. Rayhan menatap Tiwi yang terlihat lelah tapi bahagia. Beberapa kali dia menangkap senyum di wajah cantik itu. Ada debar halus di dadanya.
"Ehm, baiklah. Aku balik dulu ya," pamit Rayhan.
"Eh, ga bareng aja, nih?" tanya Tiwi spontan, membuat Rayhan terpana sejenak. Entah keberanian dari mana Tiwi berkata seperti itu. Aneh? Tiwi rasa nggak, tapi kenapa seolah menjadi hal luar biasa bagi Rayhan.
"Nggak ah, masih ada perlu ke suatu tempat," jawab Rayhan sambil tersenyum.
Senyum yang nampak tulus itu tertangkap netra Tiwi. Sejenak dia terpana. Keteduhan mata yang belum pernah dia lihat sebelumnya. Menatap mata itu membuat Tiwi tenggelam dalam hayalan.
"Astaghfirullah." Tiwi menundukan pandangan.
"Assalamualaikum," salam Rayhan.
"Waalaikumsalam," jawab mereka bersamaan.
Ya Allah kenapa ada mahluk seindah dia, ya. Batin Tiwi. Ah, sudahlah. Lebih baik menikmati moment membahagiakan ini dengan banyak bertasbih dan tahmid. Subhanallah, walhamdulillah, wa laa ilaaha illallahu allahu akbar.
🌸🌸🌸🌸🌸
"Lokasi penginapan kita ini lumayan jauh, ya, Pak?" tanya Tiwi saat mereka sedang berjalan bersama mengunjungi para jamaah Haji di gedung yang berbeda.
"Dari Masjidil Haram? Bukan lumayan lagi, tapi juuaaauuuh," seringai Pak Mus, "Tapi, tetaplah bersyukur, karena kita bisa sampai di sini dalam keadaan sehat wal afiat. Semoga Allah mudahkan dan lancarkan proses ibadah kita. Aamiin," kata Pak Mus santun.
"Aamiin," jawab Tiwi sambil mengusap wajahnya.
"Mbak dokter sudah makan, kan?" tanya Pak Mus. Beliau memang memanggil mereka dengan sebutan Mbak Dokter.
"Alhamdulillah, sudah Pak."
Mereka memasuki gedung lain di belakang gedung penginapan mereka. Mereka mulai menyapa satu persatu calon jamaah haji yang mengalami gangguan kesehatan.
Beberapa orang memang butuh perhatian khusus, apalagi jamaah Indonesia memang banyak yang sudah lanjut usia.
Ibadah haji adalah ibadah fisik yang luar biasa. Melihat mereka bersusah payah berjalan menuju masjidil haram untuk berjamaah shalat wajib membuat Tiwi terharu. Dia teringat ayah dan ibunya di tanah air.
"Mbak Dokter, kok, nangis. Ada yang sakit?" tanya seorang nenek yang melihat sudut matanya berair.
Tiwi tersenyum mendengarnya, "Tidak Nek, hanya terharu melihat Nenek yang sehat begini. Bahagia banget. Terus sehat, ya, Nek. Semoga hajinya mabrur."
"Aamiin," jawab sang nenek sambil menggenggam tangan Tiwi erat.
"Mbak Dokter, sudah selesai? Ayo balik," ajak Pak Mus membantu membereskan peralatan yang dibawa Tiwi.
"Siap Pak Mus."
Mereka beranjak meninggalkan gedung tersebut untuk kembali ke penginapan mereka. Jaraknya memang tidak begitu jauh, tapi karena jalan yang dilalui sedikit menanjak, jadi terasa sedikit berat.
"Pak. Sebentar, ya," ucap Tiwi sambil ngos-ngosan.
"Whoalah, Mbak. Masa kalah sama aku. Masih muda kok, segini aja udah putus-putus," ejek Pak Mus.
Tiwi tersenyum menanggapi gurauan pak Mus. Setelah berhenti sejenak, mereka pun kembali berjalan.
"Tiwi itu, sengaja gitu, Pak. Karena tadi saya lihat pak Mus agak kecapekan gitu, tapi gengsi, kan mau bilang. Jadi Tiwi aja yang inisiatip istirahat," goda Tiwi balik.
"Eh, mana ada?!" bantah lelaki berusia empat puluhan tahun yang masih nampak gagah dan segar itu sambil bersungut.
Tiwi tertawa melihat ekspresi pak Mus. Melihat tawa Tiwi, pak Mus pun ikut tertawa.
"Pak, jadwal bus yang menjemput jamaah untuk menuju masjid haram sudah keluar?"
"Sudah. Untuk sholat Subuh mulai jam tiga sudah ada yang menjemput, karena kita harus ganti bus lagi nanti di terminal C. Setelah itu nanti berhenti di terminal Aziziah, baru pindah bus yang menuju masjid haram," jelas pak Mus.
"Ha? Ganti bus tiga kali?" Tiwi terbelalak mendengar hal itu.
"Iya, karena penginapan kita kali ini memang sangat jauh. Kita di pemukiman Syaukiyah. Tapi, biasanya ada mobil-mobil pribadi mukimin atau orang arab yang disewakan datang ke penginapan-penginapan bagi yang ingin lebih cepat sampai. Tentu saja harus membayar sesuai kesepakatan."
"Oh, ada ya begitu?"
"Ada banyak. Biasanya per orang dia tarik tarif satu riyal. Kalau mobil kayak angkot gitu bisa muat banyak, sekali berangkat dia bisa kantongi sepuluh sampai lima belas riyal. Lumayan, kan?"
"Iya, sih."
"Karena busnya gratis, fasilitas dari pemerintah, maka rutenya pun ikut pemerintah, jadi lama dan panjang."
"Hahaha, iya. Masa mau sholat Subuh aja berangkatnya jam tiga pagi."
"Nggak papa. Kan, mumpung di tanah suci, Neng. Pahalanya seribu kali."
"Iya betul, Pak. Alhamdulillah. Malas-malasan bisa nanti. Sekarang waktunya ibadah."
Pak Mus dan Tiwi saling melempar senyum.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hajj Love Story
RomanceBismillah. Cerita ini fiksi, mohon maaf bila saya menggunakan profesi dokter di sini. Mohon info juga bila ada yang kurang tepat dalam penggunaan kata dalam cerita ini. Setting waktu cerita terjadi di tahun 2008. Real kondisi, tapi cerita romance-n...