Bab 17 ~ Nafar Tsani

5 1 0
                                    

Dokter dan petugas medis mengambil Nafar Tsani saat di Mina. Karena mereka harus menemani para jamaah yang juga mengambil Nafar Tsani.

Nafar bisa diartikan juga dengan rombongan. Nafar sendiri ada dua, yakni Nafar Awal dan Nafar Tsani. Nafar Awal adalah rombongan jamaah haji yang hanya menginap dua hari di Mina. Jamaah yang mengambil nafar awal harus meninggalkan Mina sebelum maghrib tanggal 12 Dzulhijjah. Bila sampai Maghrib masih di Mina, maka jamaah harus meneruskan stay di sana hingga tanggal 13, dan melempar jumrah di hari ketiga.

Tetapi, pengambilan nafar awal dan tsani ini sendiri tidak berpengaruh pada kemabruran ibadah haji itu sendiri.

Mereka yang merasa sudah tidak mampu lagi menginap di Mina, boleh meninggalkan Mina lebih awal, yakni di tanggal 12 Dzulhijjah.

Seperti halnya Rayan. Dia mengambil nafar awal. Sejak usai melempar jumrah pagi hari di tanggal 12, Rayan sudah berdiri di depan maktab untuk menanti bus yang akan membawanya kembali ke Mekkah.

"Nak Rayan!" Pak Mus menepuk pundak Rayan dengan semangat.

"Allahu akbar! Pak, kaget saya," gurau Rayan memasang wajah terkejut, tetapi sangat nampak dibuat-buat.

"Saya juga!" Pak Mus membalas gurauan Rayan dengan memasang wajah seperti terkejut juga.

"Hahaha. Gimana Pak? Nafar Tsani?" tanya Rayan.

"Ya, begitulah. Mbak-mbak dokter cantik harus dijaga dan ditemani, kan?"

Rayan menganggukkan kepala. Pikirannya saat ini sedang kacau. Kemarin, saat dia bertemu dengan temannya, dia melihat sesuatu yang tak ingin dia pikirkan tetapi tetap mengganggunya.

"Kenapa wajahnya cemberut?" tanya Pak Mus.

Rayan mengerutkan dahi, 'wajahnya cemberut?' pikirnya. Apa iya sejelas itu?

"Udah jangan gitu. Kelihatan tua," seloroh Pak Mus yang ditanggapi tawa Rayan. "Tenang, mbak dokter saya yang jaga. Dijamin beres."

Rayan tersenyum, "Siap Pak. Kalau saya, siapa yang jaga, Pak?"

"Allah, lah."

"Alhamdulillah. Masya Allah."

"Ibadah haji sudah usai. Semoga kita semua menjadi haji mabrur."

"Aamiin."

"Tapi, meski begitu. Kita tidak boleh sombong. Haji ini bukan gelar untuk gaya-gayaan. Sudah berhaji lantas menambah-nambahkan "Haji" di depan nama, itu tidak pantas."

Rayan mengangguk-anggukkan kepala. Memang benar adanya. Banyak yang melakukan hal itu. Apalagi di kalangan orang tua zaman dahulu. Mereka sengaja menyematkan "Haji" di depan nama mereka agar orang lain tahu bahwa dia sudah pernah menunaikan rukun islam yang kelima.

"Haji sendiri ibarat contoh, bagaimana kelak kita akan menjalani proses seperti ini saat menanti persidangan di yaumil hisab. Berkumpul di padang mahsyar. Panas, gelisah, takut, was-was, akankah kita berakhir bahagia di surga, atau justru tergelincir ke neraka. Naudzubillahi min dzaalik."

Rayan mengangguk-anggukan kepala mendengar kata-kata pak Mus. Dia teringat pada ibunya yang telah meninggal. Seandainya sang ibu yang berdiri di sini, mungkin beliau juga akan merasakan bahagia yang sama. Mencium tanah haram dan menunaikan haji yang sungguh luar biasa ini.

Patutlah orang-orang berasa ingin dan ingin lagi kembali ke sini. Bukan karena mereka tidak peka, tidak ingin berbagi dengan yang lain, bukannya tak ingin bergantian. Namun, pengalaman spiritual di tanah haram sungguh menorehkan rasa yang dalam di hati setiap insan yang pernah menapakkan kaki di sana. Hingga mereka selalu merindu untuk datang dan datang lagi.

"Nak!" Pak Mus menepuk pundak Rayan yang spontan tersadar dari lamunannya.

"Astaghfirullah."

"Nggak baik sering melamun." Pak Mus menyunggingkan senyum, "Itu busnya sudah datang. Bismillah, semoga selamat sampai pemondokan."

"Aamin. Terima kasih Pak. Saya pamit dulu." Rayan mengambil tangan pak Mus lalu menciumnya takzim. Sementara lelaki itu hanya menepuk pundak Rayan pelan.

"Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam."

Rayan memasuki bus paling terakhir, setelah semua jamaah masuk dan memastikan mereka mendapatkan kursi mereka masing-masing. Sedangkan dia hanya berdiri di sebelah pak sopir.

Saat dia menoleh ke kiri, hatinya terenyuh melihat sepasang suami istri yang rela duduk berpangkuan. Bukan karena ingin pamer kemesraan, tapi mereka memberi tempat duduk pada seorang nenek.

Rayan mengangguk dan tersenyum pada sang suami, yang kemudian dibalas senyum juga oleh lelaki itu.

Hajj Love StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang