Setelah menunaikan shalat Dhuhur, rombongan itu bersiap meninggalkan Mekkah untuk kembali ke Mina. Mereka masih harus mabit (menginap) di Mina selama tiga hari untuk melempar jumrah ula, wustha, dan aqabah dengan tujuh butir batu kecil setiap hari.
"Ke mana kita, Pak?" tanya Tiwi.
"Tunggu di sini. Kami akan coba mencari sewaan mobil yang mau mengantar kita ke Mina," jawab Pak Mus.
Udara Mekkah yang panas di siang hari membuat mereka harus mencari tempat berteduh. Hana, Tiwi dan para perawat laki-laki menepi sementara Pak Mus dan Rayan tampak serius berbincang dengan lelaki berperawakan besar. Sepertinya dia adalah pemilik mobil yang disewakan.
Di musim haji seperti ini, memang banyak sekali mobil-mobil pribadi yang disewakan. Tentu saja mereka yang menyetir, dan penyewa hanya duduk manis menyebutkan tujuan mereka.
Biasanya mereka memasang tarif antara 20 sampai 50 riyal. Tergantung jumlah orang yang naik atau jauh dekatnya perjalanan.
Sungguh waktu haji memang membawa berkah buat semua orang di negeri Rasul ini.
Saat sedang berteduh, tiba-tiba Tiwi terhenyak melihat sebuah bus melintas di hadapannya. Aneh. Ada yang aneh. Pikirnya. Matanya terus menatap bus yang berhenti tak jauh dari tempatnya berdiri.
"Kenapa, Wi?" tanya Hana yang menyadari Tiwi tengah bengong menatap sebuah bus.
"Itu ... Astaghfirullah. Busnya!" Tiwi tergelak saat menyadarinya.
"Kenapa?" tanya Agus.
"Itu orang-orang dalam bus kenapa pakai payung coba? Ternyata busnya ga ada atapnya." Tiwi menunjuk atap bus yang kosong.
Sontak semua mata menuju bus tersebut, lalu dengan serempak mereka juga tertawa.
"Ada-ada aja orang sini, ya?"
"Tapi, lumayan, lah. Membuat kita bisa tertawa di tengah terik begini."
Mereka kembali tersenyum menatap bus yang melaju menjauh.
Tak berapa lama, nampak Pak Mus melambaikan tangan meminta mereka segera mendekat. Rupanya mereka sudah berhasil mendapat sewa mobil untuk kembali ke Mina.
Sepanjang perjalanan, hampir tak ada kata-kata yang mampu mereka ucapkan lagi. Bahkan Tiwi dan Hana sudah terlelap di kursi belakang. Semua kelelahan yang mereka rasakan sepertinya sudah mencapai batas maksimal. Mereka tak lagi mampu mengagumi, betapa indahnya hamparan tenda yang meliputi kota Mina saat mereka melewatinya.
Labbaik allahumma labbaik.
Labbaikalaa syarika laka labbaik.🌸🌸🌸
"Ada apa?" Hana dan Tiwi saling melempar pandang saat memasuki tenda seusai berkeliling mengunjungi jamaah haji di tenda-tenda di Mina. Seorang ibu menangis sesenggukan di tengah kerumunan.
"Suaminya hilang di Mekkah." Seorang jamaah haji menyahut pelan
"Ha? Hilang?" Hana melongo.
"Terpisah dengan rombongannya."
"Oh ...." Hana akhirnya ber-oh saja.
"Memangnya ketua rombongannya ndak koordinasi atau gimana?" tanya Tiwi.
"Bukan dari KBIH. Mereka jamaah haji mandiri."
"Oh, begitu." Tiwi duduk di antara kerumunan orang-orang tersebut. Nampak seorang wanita muda tengah duduk berangkulan dengan ibu-ibu yang menangis tersedu. Dia tidak banyak bicara, namun wajah santunnya menunjukkkan rasa sayang pada ibu tersebut. Mungkin itu adalah ibunya.
Tiwi teringat akan ibunya, hingga tanpa terasa, setitik air jatuh di sudut matanya. Gadis itu menengadahkan wajah agar titik-titik tak berhamburan di wajahnya.
Tanpa dia sadari, sepasang mata terus menatapnya dari ujung tenda. Mata yang memang sejak awal tak mampu berpaling dari wajah cantiknya.
"Mbak, Dok," panggil Pak Mus.
"Nggih, Pak," jawab Tiwi setelah berhasil menguasai perasaan rindunya pada bapak dan ibunya.
"Tolong, diperiksa Bapak ini, ya," pinta Pak Mus.
"Siap. Ada keluhan apa Pak?" Tiwi mendekati bapak yang ditunjuk Pak Mus. Dia mulai melakukan pemeriksaan pada lelaki separoh baya yang nampak memerah wajahnya.
Rayan memutus pandangannya pada Tiwi dengan istighfar. Dia berdiri dan keluar dari tenda. Sepertinya dia harus mengalihkan debar-debar di dadanya setiap kali melihat gadis itu.
Rayan berjalan menyusuri jalanan yang penuh dengan tenda. Dia keluar maktab (=semacam komplek atau kumpulan tenda tempat tinggal jamaah haji. Maktab di sini diberi nomor agar memudahkan jamaah haji mengingat di mana dia tinggal selama di Mina. Misal : Maktab 22. Maktab di Mina sendiri ada ratusan. Setiap maktab juga ada puluhan tenda. Jadi, bisa bayangkan sendiri berapa banyak tenda di Mina. Tak heran bila akhirnya Mina dijuluki dengan kota Tenda).
Rayan menyusuri jalanan yang ramai dengan orang berjualan. Konon, katanya harga barang yang dijual di Mina bahkan lebih murah daripada di Madinah. Padahal harga di Madinah lebih murah dari barang di Mekkah. Para penjualnya rata-rata orang berkulit hitam.
Rayan memesan segelas kopi dari kedai mobil yang ada di pinggir jalan. Setelah itu dia duduk di trotoar sambil memeriksa ponsel di tangannya. Beberapa pesan dari keluarganya sudah dia balas. Namun, ada satu pesan yang tidak dia balas sama sekali meski jumlahnya tak sedikit.
[Kak Rayan. Apa kamu sudah doakan aku?]
KAMU SEDANG MEMBACA
Hajj Love Story
RomanceBismillah. Cerita ini fiksi, mohon maaf bila saya menggunakan profesi dokter di sini. Mohon info juga bila ada yang kurang tepat dalam penggunaan kata dalam cerita ini. Setting waktu cerita terjadi di tahun 2008. Real kondisi, tapi cerita romance-n...