Jamaah haji Indonesia hanya mendapat jatah makan ransum saat di Madinah, Arafah, dan Mina. Sedangkan saat di Mekkah, karena durasi mereka tinggal cukup lama, sekitar tiga minggu-an, jadi pemerintah hanya memberi uang saku tanpa memberi ransum.
Bagi jamaah Indonesia, uang saku yang mungkin dimaksudkan untuk biaya makan, oleh mereka digunakan untuk belanja oleh-oleh, sedangkan buat makan mereka lebih suka memasak sendiri. Disamping lebih sesuai selera, mereka juga bisa lebih irit.
Oleh karena itu, jangan heran bila barang bawaan jamaah haji Indonesia itu sangat luar biasa. Mereka bisa membawa beras, mie, ikan asin, kering tempe, bumbu pecel, panci, wajan, kompor listrik, bahkan rice cooker.
Begitu juga dengan Tiwi. Saat pertama kali membuka koper besarnya di Mekkah, teman-teman sekamarnya dibuat takjub dengan barang bawaannya. Segala panci keluar dari kopernya.
"Ya Allah Wi. Apaan itu?" Teriak Hana saat Tiwi mengangkat panci beserta kawan-kawannya, yaitu Be-ha dan celana dalam yang disumpalkan ke dalam panci.
"Whahaha. Ini tuh, fungsinya biar si panci nggak penyok waktu dibanting-banting," jelasnya sambil mengeluarkan dalaman itu dari dalam panci.
"Tapi ... daleman, ya Allah. Kamu nggak ada niat buat melet kami, kan?" seloroh para perawat lelaki.
"Wah. Semoga saya nggak kena pelet juga," sahut pak Muslimin membuat suasana kamar menjadi semakin gaduh.
"Kalian ada-ada aja. Ngapain juga pakai pelet ginian? Pakai kedipan mata aja kalian udah klepek-klepek, kan?" canda Tiwi yang ditanggapi lagi dengan tawa oleh semua penghuni kamar.
"Kamu bawa apa Mbak dok Hana?" tanya pak Muslimin.
"Bawa beras lima kilo sama kering tempe aja, Pak. Bunda bilang, nanti beli rice cooker di sini aja," kata Hana sambil mengeluarkan beras yang dia selipkan di antara baju-bajunya.
"Kamu Gus?" Pak Muslimin bagai ketua rombongan yang mengabsen barang bawaan anggotanya.
"Beras lima kilo sama sambal, Pak," jawab Agus sambil nyengir.
"Waaah. Mantap. Orang Indonesia asli ini. Bawa sambal sendiri. Bawa berapa kilo?" tanya pak Mus yang disambut gelak tawa yang lain.
"Sepuluh kilo, Pak. Ya elah. Dikira mo jualan sambal kita di sini?" Tawa Agus disambut oleh lainnya.
Acara bongkar koper hari itu memang menyenangkan. Mereka sengaja membawa beras sendiri karena beras yang dijual di Mekkah adalah beras jenis Basmati, beras panjang dari India yang teksturnya cenderung keras dan pera. Sedangkan beras dari Indonesia cenderung punel. Disamping itu, harganya juga lumayan mahal.
Semua bahan makanan dikumpulkan jadi satu. Mereka berencana membeli rice cooker, teko pemanas air dan kompor listrik. Juga bahan lainnya seperti minyak goreng, telur, dan lain-lainnya. Sedangkan panci, wajan, piring, sendok, dan gelas sudah mereka bawa sendiri.
"Sebenarnya, kita nggak perlu repot-repot gini, kok," ujar pak Mus yang memang tidak membawa bekal bahan makanan apapun di kopernya.
"Kata Bunda, memang iya, Pak. Kita bisa beli makanan dengan mudah. Banyak para mukimin*) yang menjual makanan di sekitar penginapan. Tapi rasanya akan sangat berbeda kalau kita masak sendiri. Lebih puas gitu, Pak," jawab Hana santun.
Mungkin pengalaman itu dia dapat dari orang tuanya yang sudah pernah pergi haji sebelumnya. Jamaah haji reguler dan Jamaah haji plus memang berbeda. Kalau yang plus, mereka tidak perlu memikirkan makan lagi. Karena sudah dapat jatah makan tiga kali sehari sejak berangkat hingga kepulangan nanti. Sehingga mereka hanya perlu untuk fokus beribadah saja.
Itulah perbedaannya.
Para jamaah haji plus tidak akan tahu bagaimana rasanya jajan makanan di pinggir jalan yang harganya kadang nggak sampai lima riyal. Mereka mungkin terjamin makanannya, tapi mereka belum tentu bisa makan nasi punel dengan sambal terasi asli dari tanah air.
🌺🌺🌺🌺
Pagi hari, saat para calon jamaah haji datang dari Masjidil Haram usai shalat Subuh, sebagian dari mereka tidak langsung kembali ke ruangan. Beberapa masih bercengkerama di teras depan penginapan yang sengaja diberi kursi dan meja panjang oleh pemiliknya.
Penginapan di sini bukanlah hotel bintang seperti yang ada di dekat masjidil haram, tapi penginapan itu adalah rumah penduduk yang disewakan untuk ditinggali para calon jamaah. Jadi, pemiliknya juga tinggal di tempat tersebut.
Jangan dibayangkan rumah penduduk itu sama seperti villa-villa di Indonesia, bukan. Rumah itu mirip hotel bintang tiga di Indonesia. Lima lantai dengan lift, banyak kamar, dapur, dan kamar mandi.
Mereka juga berbaur dengan para jamaah. Bersenda gurau meski dengan bahasa yang berbeda. Kebetulan, sopir pemilik penginapan adalah warga Indonesia. Kadang mereka juga berkomunikasi dengan bahasa Inggris, meski sedikit-sedikit.
Seperti pagi itu. Pak Mus dan beberapa bapak tengah bercengkerama di teras ditemani kopi dan teh susu hangat.
"Pak Mus, di sini ga ada jual tahu, ya?" tanya seorang jamaah saat mereka bercengkerama di depan gedung.
"Ngapain nyari tahu di sini, Pak? Masa di tanah air makan tahu tiap hari, di sini masih nyari tahu juga? Di sini itu makannya ayam, daging, ikan yang enak-enak gitu, Pak. Biar lebih variasi." Ucapan pak Mus disambut gelak tawa para jamaah yang berkumpul di sana.
"Lah, iya, Pak. Masa iya kemarin dia muter-muter di minimarket, kirain mau beli apa, gitu. Ternyata dia nyari saringan teh. Ya ampun ... ya, mana ada. Salahnya sendiri bawa teh tubruk, bukan teh seduh," seloroh yang lain.
Kembali gelak tawa membahana. Suasana guyub seperti ini memang sangat berarti. Di saat jauh dari sanak keluarga, orang lain yang bisa diajak menangis dan tertawa pun dirasa saudara.
Note *)
Mukimin : warga negara indonesia yang tinggal di Saudi Arabia (Mekkah, Madinah, Jeddah).
KAMU SEDANG MEMBACA
Hajj Love Story
RomanceBismillah. Cerita ini fiksi, mohon maaf bila saya menggunakan profesi dokter di sini. Mohon info juga bila ada yang kurang tepat dalam penggunaan kata dalam cerita ini. Setting waktu cerita terjadi di tahun 2008. Real kondisi, tapi cerita romance-n...