Bab 21 - Sedih

7 1 0
                                    

Suasana hening dan mencekam terasa di deretan belakang lantai satu pesawat Boeing 737 Saudia Airline yang membawa jamaah haji kloter 21 embarkasi Juanda Surabaya menuju tanah air Indonesia.

Baru saja tim medis menyatakan satu jamaah asal kota Malang meninggal beberapa jam sebelum masuk pesawat. Sedih, haru dan bahagia karena keluarga jamaah begitu sabar menghadapi cobaan itu. Ya, Pak Samin tak bisa diselamatkan. Beliau menghembuskan napas terakhir di pangkuan istrinya. Di Bandara King Abdul Aziz Jeddah.

Karena peristiwa itu pula membuat tim medis dan ketua kloter sedikit sibuk mengurus jenazah yang memang tidak bisa di bawa pulang saat itu. Mereka harus berkoordinasi dengan Rumah Sakit, dubes dan juga pengurus haji di Jeddah. Mereka menjadi orang terakhir yang memasuki pesawat dengan kondisi badan yang remuk redam karena lelah.

Tiwi dan Hana bahkan langsung terlelap seusai pesawat take off. Mereka tak mampu lagi menahan rasa letih yang menyerang seluruh tubuh.

Beberapa jam kemudian. Tiwi menggeliat, tubuhnya terasa hilang setengah setelah dia terbangun dengan posisi tidur menyamping.

"Dok, makanannya saya taruh di bawah," Bisik Agus dari kursi seberang. Nampaknya dia sudah selesai makan dan meringkas kotak makannya. Tiwi melirik dua kotak makanan yang tergeletak di bawah kakinya. Sementara Hana masih terlihat pulas.

Tiwi tersenyum lalu mengangguk pada Agus, "Makasih, ya."

"Sama-sama." Agus memanggil pramugrari yang sedang melintas, "May I have a cup of coffee?"

"Sure. Wait a minute, please, " jawab sang pramugrari dengan ramah.

Tiwi merasakan kantong kencingnya penuh. Dia pun berdiri dan berjalan menuju toilet. Tak butuh waktu lama, karena perutnya juga sudah keroncongan minta diisi. Setelah mendaratkan tubuhnya di kursi kembali, Tiwi segera mengambil kotak makanannya lalu memakannya dengan lahap.

Kotak makanan itu besar dan lumayan lengkap. Ada nasi dan lauk daging, sayuran, buah, roti, jus dalam kemasan, dan air putih. 

"Wi," panggil Hana dengan suara serak. Tiwi menoleh dan melihat Hana juga menggeliat, sama seperti yang dilakukannya tadi.

"Heem. Kamu nggak lapar? Bangun dulu gih, makanannya sudah siap, tuh. Udah dingin malah." Hana melirik kotak makanannya lalu berdiri.

"Pip?" tanya Tiwi lagi.

"Heem. Bentar ya. Jangan dimakan jatahku," ujar Hana sambil mendelik pada Tiwi.

Gadis itu pun memutar bola mata saat membalas tatapan Hana.

"Dikira aku nggrangsang (=rakus)." Tiwi bergumam lirih.

Sama seperti Tiwi, setelah menuntaskan hajat di toilet, Hana  pun segera membuka kotak makan dan memakannya dengan lahap. Sesekali mereka saling bertukar makanan yang tidak disukai atau yang diinginkan.

"Excuse me, anything you need?" sapa pramugrari saat melintasi kursi mereka.

"May I have a cup of tea. Hot tea," jawab Hana cepat.

"Sure." Pramugrari itu pun beranjak pergi.

"Eh, Mbak. Orang Indonesia, kah?" tanya Tiwi saat pramugrari lain lewat dan tersenyum padanya.

"Iya. Saya dari Maluku,"

"Waah. Hebat. Ada orang Indonesia yang jadi pramugrari di Saudia Airlines." Tiwi berseru takjub.

"Biasa aja, Mbak. Agak susah memang masuknya," jawabnya sembari duduk di kursi kosong yang ada di depan Tiwi.

"Banyak orang Indonesia yang masuk di Saudia?" tanya Hana ikut menimpali.

"Nggak juga. Karena memang tes-nya super ketat. Syaratnya banyak."

"Terus selama ini tinggalnya di mana?"

"Di Jeddah."

"Mbaknya muslim?" tanya Tiwi hati-hati.

Pramugrari tersebut tersenyum, "Nggak. Saya katolik," jawabnya sambil menggeleng pelan.

"Wah, bisa diterima, ya?" ujar Hana sekali lagi dengan pandangan heran.

"Banyak juga yang non muslim. Karena Saudia tidak men-syaratkan muslim untuk karyawannya. Dan kebetulan kami tinggalnya di Jeddah, bukan di Makkah yang mengharamkan non muslim masuk."

Agus dan Hendra ikut menyimak percakapan sang pramugrari dengan Hana dan Tiwi.

"Eh, eh, Mbak. Kalau yang itu dari negara mana?" tanya Agus sambil menunjuk salah satu pramugrari lainnya.

"Oh, dia dari Mesir Mas."

"Waah. Pantes ...."

"Pantes apa?" sahut Hana sewot.

"Pipinya kayak 'yaa humairah' gitu," jawab Agus sambil mengedipkan mata.

"Astaga. Bahasanya." Hana dan Tiwi sambil tergelak.

Tak terasa percakapan mereka terus berlanjut lumayan lama, apalagi saat Rayhan tiba-tiba muncul dan ikut ngobrol dengan mereka. Suasana santai jadi sedikit merelakskan pikiran yang sebelumnya terselimuti perasaan sedih karena kehilangan salah satu penumpang.

Senyum pun mulai menghiasi wajah-wajah letih mereka.

Beberapa jam lagi mereka akan tiba di tanah air. Pengumuman dari loyd speaker memberitahukan bahwa saat ini sudah tiba waktu shalat Subuh. Entah ada di belahan dunia mana mereka berada. Tapi gerakan shalat sambil duduk mulai dikerjakan beberapa jamaah.

Sejam seusai shalat, matahari pagi mulai masuk melalui jendela pesawat. Sinarnya yang hangat disertai guratan warna-warna yang indah. Sungguh sangat disayangkan untuk dilewatkan. Pemandangan yang jarang ditemui saat di darat.

Hajj Love StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang