Bab 20 - Bandara

7 1 0
                                    

Di sini. Di Bandara tersibuk di dunia.

Rayan masih sibuk menatap ponselnya saat Tiwi juga sibuk mengumpulkan jeruk jatah jamaah haji yang tidak mereka makan. Dia tanpa malu mengumpulkan jeruk-jeruk itu dalam tas ranselnya dan juga kardus-kardus kosong bekas kotak makan.

"Wi. Ngapain?" tanya Hana sambil melirik kanan kiri, seolah khawatir jadi pwrhatian orang-orang sekitar.

"Jeruk Han. Sayang, kan, kalau dibuang." Tiwi tersenyum menanggapi pelototan mata Hana.

"Kebiasaan, deh. Malu-maluin."

"Ish. Ngapain malu. Mereka juga kebiasaan. Buang-buang makanan. Kan, mubazir," elak Tiwi cuek.

"Terus, nanti gimana itu bawanya, Wi?"

"Ya, kan tinggal bawa aja. Repot amat."

"Ya, emang repot Tiwiiiii. Kamu ga lihat, bawaan kita udah seberapa banyaknya?" Hana memutar bola mata.

"Ya, kan, sekalian repotnya. Lagian ini jeruk enak banget, tau?!" Tiwi terkekeh pelan melihat Hana hanya memajukan bibir tanda dia sedang sebal.

Sudah menjadi tabiat Tiwi mengumpulkan apapun yang berserakan dan sekiranya bermanfaat. Entah itu makanan ataupun barang-barang lainnya. Meski kadang dia memberikan barang-barang itu untuk orang lain dan bukan dipakainya sendiri.

Kemarin saja, setiap berangkat ke Masjid, Tiwi selalu mambawa makanan ringan dalam tasnya. Entah biskuit, roti, kurma, maupun buah-buahan. Bila ada yang butuh dengan cepat dia akan memberikan makanan itu.

Rayan mengedarkan pandangan seusai memasukkan ponsel ke dalam saku jaketnya. Matanya menangkap bayangan seorang gadis yang tengah menunduk di depan kursi panjang yang penuh orang. Keningnya segera berkerut. Apakah ada yang sakit lagi? Pikirnya.

Rayan pun berdiri lalu mendekati gadis itu. Matanya membelalak saat mengetahui ternyata gadis itu tengah berusaha menutup kardus yang penuh dengan jeruk.

"Tiwi?" sapa Rayan ragu.

Gadis itu menengok lalu tersenyum singkat. Dia lantas meneruskan usahanya mengikat kardus itu dengan tali yang ada di sekitarnya.

"Ngapain?" Rayan ikut berjongkok di depannya.

"Lagi nyuci."

"Hah?!"

"Lah, kan, kamu lihat sendiri aku lagi ngapain?"

"Lagi nyuci katanya," jawab Rayan sambil tersenyum.

"Ish!" Tiwi memajukan bibirnya. Sebal rasanya, gurauannya dikembalikan. Tapi, salah siapa coba?

Rayan mengambil tali yang sedari tadi hanya diputar-putar saja oleh Tiwi.

"Sebenarnya ini apa, sih?"

"Jeruk, kan."

"Iya, tahu. Tapi jeruk siapa?"

"Jeruk orang-orang itu."

"Ha? Gimana?"

"Iya ... jadi, jatah buah buat jamaah sebagian besar ga diambil. Dibiarkan berantakan gitu. Kan, sayang aja kalau nggak dimanfaatkan. Ya, kan?" jelas Tiwi panjang lebar.

Rayan menatap Tiwi sambil mengedip-ngedipkan mata. Takjub dengan pemikiran nyleneh gadis itu.

"Kamu nggak malu, gitu, mungutin buah gini?"

"Ngapain malu. Kan, ndak nyuri to?" Tiwi meraih kardus yang sudah terikat rapat itu, "Terima kasih. Nanti kalau berkenan boleh ambil yang di situ. Masih banyak yang belum diambilin, tuh."

Rayan melongo melihat tingkah Tiwi. Cantik dan menggemaskan. Rayan tertawa sambil mengikuti langkah Tiwi ke arah Hana dan teman-temannya yang lain berada.

"Cieee ... sejoli yang serasi," Hana menggoda Tiwi dan Rayan yang datang bersamaan.

"Apaan, sih?" sahut Tiwi dengan muka bersemu merah.

"Uhuk! Uhuk! Ada yang melting tapi bukan eskrim!" teriak Agus.

"Apaa?!!" sahut Hana tak kalah keras.

"Anu ... hatiku. Cieeee." Agus dan Hana melakukan tos lalu tertawa bersama. Pak Muslimin ikut tertawa mendengar gurauan mereka. Hingga setetes air mata meluncur di ujung matanya.

"Ya Allah. Kenapa rasanya dada ini sesak, ya?" ucap Pak Mus di sela tawanya.

"Eh, kenapa Pak?" tanya Tiwi dengan wajah khawatir. Sebenarnya Tiwi melakukan itu hanya untuk mengalihkan perhatian saja. Dia tidak ingin debar-debar di dadanya kembali bertalu dengan candaan teman-temannya. Apalagi Rayan tak juga menyangkal candaan itu. Hal yang membuat Tiwi jadi makin salah tingkah.

"Bukan, Mbak." Pak Mus menampik uluran tangan Tiwi yang hendak memeriksa nadinya.

"Saya ... merasa sesak, karena moment seperti ini pasti tak akan terulang lagi nanti. Entah, kapan kita akan bertemu lagi? Entah kapan kita akan bercanda seperti ini lagi? Bahkan rasa lelah pun terbayar sudah dengan bahagianya bersama kalian."

Suasana tiba-tiba hening.

"Saya mohon maaf jika selama saya membimbing di sini melakukan banyak kesalahan. Baik yang disengaja maupun yang tidak. Kata-kata yang menyakitkan, tingkah yang menyebalkan. Apapun itu." Isak tangis tiba-tiba terdengar meski lirih.

"Pak Mus ...." Entah siapa yang memulai. Tiba-tiba mereka semua berangkulan. Pak Mus, Agus, Hendra. Sementara Tiwi dan Hana sudah lebih dulu berangkulan. Hanya Rayan yang tertunduk sendiri. Melipat wajah agar tak nampak bening airmatanya yang mulai luruh.

"Mbak! Dokter! Dokter!!"

Tiba-tiba, suasana panik. Beberapa orang berlari mendekat kerumunan dokter.

"Kenapa? Ada apa?" Pak Mus dan tim medis bergegas berdiri.

"Itu! Pak Samin! Pak Samin!" Seseorang menyeret Pak Mus yang diikuti tim medis, berlari menuju kerumunan di ujung. Nampak seseorang telentang sambil memegangi dadanya.

Hajj Love StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang