32.| Bukan Penjudi Handal

239 32 12
                                    

"Gue gak akan nikah kalo gak sama lo!"

Kalimat Jimin itu terngiang terus menerus di telinga hingga membuat telinga Namjoon terasa pengang. Dulu ucapan Jimin selalu membuat hatinya mencelos sebab itu artinya ia akan membiarkan Jimin tidak menikah selama hidupnya. Mimpi Jimin akan sebuah pernikahan idaman tidak akan pernah terwujud karna Namjoon tidak pernah mempercayai itu. Dua kali ia telah meninggalkan Jimin dan berharap lelaki itu menemukan seseorang yg dapat mengabulkan impiannya. Menikah, menjadi seorang istri, memiliki anak dan hidup bahagia selama lamanya.

Seharusnya ia berbahagia atas kabar yg telah Seokjin bawakan padanya tentang sebuah pernikahan impian Jimin Seperti yg ia utarakan pada percakapannya terhadap Seokjin bahwa ia ikut turut berbahagia karena banyak alasan, terutama membaiknya hubungan antara Jimin dan kedua orang tuanya membaik. Namun kenyataannya sejuta kali lebih sulit untuk Namjoon sebab ada perasaan sakit yg berdenyut memilukan dalam ulu hatinya. Menggerogoti dengan ganas sehingga dadanya terasa amat sesak. Jimin tengah mengandung darah dagingnya, lalu menikah dengan orang lain yg secara sukarela menggantikan posisinya sebagi seorang ayah. Apa yg lebih mengerikan daripada itu?

Namjoon telah mengacaukan segalanya. Ia tak pernah mengira pergumulannya di dua kali malam tanpa kondom akan menghasilkan sebuah benih yg murni dan suci di perut Jimin. Yg ada di pikirannya saat itu hanyalah untuk mengabulkan keinginan Jimin yg terus merengek ingin mencobanya tanpa karet. Dan terbukti, Jimin merasa sangat senang karna ia mengatakan pergumulan tanpa karet yg menghalangi rasanya jauh lebih lembut dan enak tentu.

Jika ia tak menjawab telpon Seokjin minggu lalu dan mengajaknya bertemu. Mungkin Namjoon akan memilih diam dan membiarkan takdir meniupkan badai untuknya. Membiarkan Jimin menjemput bahagianya sendiri. Ia pernah melewatinya. Kali kedua mungkin takkan jauh berbeda rasa. Menikmati pedihnya patah hati untuk kedua kali.

Sayang fakta telah sampai, hingga ia ragu untuk membiarkan Jimin bersama Seokjin. Lantas apa yg harus ia lakukan sekarang?

Tangannya tergenggam erat, meneguhkan kembali hati yg goyah dan kembali berdiri dalam antrian di loket kereta. Setidaknya ia harus kembali. Ia harus melihat Jimin dan calon buah hatinya meski hanya untuk mengucapkan sebuah kata selamat atau sebuah kata perpisahan yg layak.




.
.






"Menurut lo, hidup tuh apa sih?"

Namjoon cukup di buat terhenyak oleh pertanyaan Jimin. Lelaki itu memang suka bertanya macam macam hala apapun kepada Namjoon, seakan Namjoon mengetahui banyak hal. Seperti bertanya tanaman apa yg paling beracun, bunga apa yg paling cantik di dunia, apakah cacing tanah juga tidur, atau kenapa ulat bisa bermetorfosa menjadi kupu kupu cantik. Tapi kali ini pertanyaan Jimin berbeda dari biasanya.

"Kenap? Kok nanya gitu?" Namjoon balik bertanya.

Jimin menghela nafas gusar. "Gue udah hidup lebih dari duapuluh tahun, tapi gue masih gak tau arti hidup tuh apa. Banyak hal yg gak pernah gue ngerti, dan banyak juga pertanyaan yg gue biarin gitu aja tanpa pernah tau jawabannya. Tapi kan ya, gue hidup. Setidaknya gue harus tau hidup tuh apa sebelum gue mati." Jimin menepuk pundak Namjoon pelan, "jadi, menurut lo hidup apa?"

Namjoon berfikir sejenak.

Hidup? Ia tak pernah berfikir itu sebelumnya. Ia hanya menjalaninya dan well, hiduplah dia yg seperti sekarang. Sama seperti Jimin, sejujurnya Namjoon juga tak mengerti banyak hal. Tapi mungkin, sebab jutaan buku yg pernah ia baca, serta peristiwa yg terjadi dalam hidupnya, ia bisa menyimpulka sesuatu untuk pertanyaan Jimin.

"Hidup itu.. meja judi?" Ujar Namjoon dengan nada tak yakin dengan apa yg di ucapkannya.

"Maksudnya?"

I K I G A I     [ NamMin AU ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang