Kebisingan kendaraan yang berlalu lalang di hadapan Dafa, tidak lantas membuat pemuda itu kehilangan konsentrasi untuk menyelesaikan revisi ilustrasinya. Semalam, editor dari pihak penerbit meminta Dafa untuk segera menyelesaikan kovernya karena sebentar lagi naskah yang sedang mereka kerjakan akan naik cetak.
Dafa memutuskan mengikuti saran Damar untuk bertemu langsung dengan kliennya agar bisa lebih jelas membahas bagian-bagian yang kurang. Dengan ditemani hot americano dan sepotong cake, Dafa dengan telaten menambahkan detail-detail untuk ilustrasinya. Ia sengaja memilih tempat di luar kafe agar bisa menikmati keramaian kota Jakarta menjelang malam.
Bagi orang yang sama-sama bekerja di bidang seni, mereka akan menemukan satu kesamaan di setiap ilustrasi yang Dafa buat. Semua karya yang berasal dari tangannya, selalu memiliki goresan berwarna jingga. Entah itu dibuat jelas, atau sengaja disamarkan untuk mengikuti permintaan para kliennya. Satu yang pasti, jingga adalah warna favorit Dafa dan senja selalu memberikan itu hampir di setiap kedatangannya.
Sebuah notifikasi membuat Dafa terpaksa mengalihkan konsentrasi. Ia membuka pesan WA melalu laptop.
“Mohon maaf, saya terlambat akan terlambat. Saya terjebak macet di perempatan lampu merah dekat kafe tapi sekarang saya sedang menuju ke sana.”
Pesan dari kliennya, membuat Dafa tersenyum. Meskipun, ia sendiri bukan orang yang suka memberi ucapan seperti, “terima kasih, minta maaf, atau minta tolong,” Dafa akan senang jika orang lain mengucapkan itu padanya. Hal yang selalu Damar lakukan, membuat Dafa terbiasa meyakini etika sederhana seperti itu lekat dengan kebaikan.
Dafa memang sadar diri, ia jauh dari kata baik. Namun, bukan berarti dia tidak berusaha menjadi baik. Ia sudah sangat berusaha, tetapi setiap kali ingin mengatakan hal-hal seperti tadi, ia akan teringat pada Damar. Dafa ingat ketika masih SD ia pernah meminta tolong pada sopir yang sering mengantarkannya dengan Damar ke sekolah. Saat itu, ia meniru ucapan Damar yang selalu mengucapkan terima kasih sebelum turun dari mobil.
Namun, sopirnya mengatakan, “Nak Dafa sudah pintar sekarang. Banyak belajar dari Mas Damar, ya. Supaya disayang sama Mama Papa.”
Untuk anak berusia 10 tahun yang sering kali dimarahi karena mendapatkan nilai jelek dan selalu menduduki peringkat terakhir di kelas, membuat Dafa merasa hidup dalam bayangan kakaknya. Ia terlalu muak jika semua kebaikan yang berusaha dilakukan, dianggap meniru kakaknya. Dafa jarang diakui berdasarkan kemampuannya sendiri. Jadi, setiap kali ada hal yang melekat dalam diri Damar, Dafa akan berusaha untuk tidak melakukannya. Meskipun, akhirnya ia harus tumbuh dengan kritik orang-orang sekitarnya.
Dafa bangkit dari tempat duduk dan mematikan laptop. Ia harus ke toilet. Setelah memasukkan semua barang ke dalam tas, ia berjalan meninggalkan meja serta minuman yang sudah tandas dan cake yang tinggal setengah.
“Mba, saya ke toilet sebentar. Saya titip tas,” ucap Dafa pada kasir wanita dan melangkah menuju toilet. Namun tiba-tiba langkahnya terhenti karena teringat sesuatu. “Oh iya, saya mau pesan meja 3. Nanti kalau ada yang menanyakan nama Dafa, arahkan saja ke sana, ya.”
“Baik, Mas.”
Setelahnya, Dafa langsung pergi ke toilet untuk menyelesaikan hajatnya.
Seperti dugaan Dafa, beberapa menit kemudian seorang wanita berkaca mata memasuki kafe. Ia terlihat sibuk melihat-lihat seluruh isi kafe untuk mencari seseorang. Wanita itu meletakkan ponsel di telinganya setelah menekan nomor orang yang ia cari. Tidak diangkat. Ia memutuskan untuk mengirimkan pesan. Namun, ternyata orang yang akan dikirimkan pesan sudah mengirimkan pesan terlebih dahulu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Baris-Bergaris
RomanceTidak ada yang bisa mengubah masa lalu. Akan tetapi, semua orang berkesempatan untuk menutupi kesalahan masa lalu dengan memperbaiki diri di masa sekarang dan masa depan nanti. Dafa Wardana merupakan anak kedua dari keluarga Wardana yang sering kali...