-16-

15 3 1
                                    

Hujan malam semakin deras mengguyur kota Jakarta. Dengan kecepatan standar, Damar akhirnya tiba di depan rumah. Dari dalam mobil, ia sudah melihat Dafa yang sedang berdiri di teras rumah dengan setelan pakaian seperti biasa.

Dafa hanya menggunakan celana jin hitam yang dipadukan dengan kaos yang berwarna hitam juga. Pemuda itu juga membawa jaket kulit berwarna hitam yang dibiarkan tergantung di lengan kirinya. Dafa sibuk mengutak-atik ponsel dan tidak menyadari keberadaan Damar.

Barulah ketika Damar membunyikan klakson mobil, Dafa langsung menengok. Ia tersenyum dan mengambil payung hitam yang tadi diletakkan di atas meja. Dafa berjalan menuju mobil Damar dan langsung duduk di bangku depan.

“Mau makan di mana?”

“Di restoran Jepang dekat rumah sakit.”

“Lah, kok, nggak kasih tau? Aku malah pakai pakaian begini. Aku ngiranya cuma ke kafe dekat rumah.”

Damar tersenyum dan langsung menjalankan mobilnya. Ia tidak berniat menjawab ucapan Dafa, karena kalau sampai Dafa tahu Naura akan ikut bersama mereka, pasti Dafa akan menolak.

Dafa menengok ke arah Damar. “Kak, itu sabuk pengamannya, kok, nggak dipasang? Nanti bahaya, loh.”

“Nggak pa-pa. Lagian, bentar lagi juga nyampe.”

“Nggak bisa gitu. Nepi dulu bentar. Pakai sabuk pengaman biar aman.”

Satu hal yang membuat Dafa selalu khawatir ketika Damar menyetir, adalah kebiasaan kakaknya itu yang selalu meremehkan pentingnya menggunakan sabuk pengaman. Meskipun sebenarnya Dafa tidak terlalu taat aturan, tetapi ia pernah mengalami kecelakaan motor saat SMA.

Hal itu membuat Dafa harus menerima sekitar tujuh jahitan di kepalanya karena terbentur pembatas jalan saat sedang tidak menggunakan helm. Untung saja, benturan itu tidak begitu keras sehingga Dafa tidak mengalami luka dalam.

Sejak kejadian yang menimpanya, Dafa berusaha untuk hati-hati saat di jalanan. Ia akan memperhatikan detail-detail keselamatan, termasuk ketika menjadi penumpang seperti saat ini.

“Kak, nepi dulu bentar. Aku khawatir.”

“Nggak usah. Ini bentar lagi sampai.”

Saat Damar akan membelokkan mobilnya, tiba-tiba saja sebuah motor yang melaju kencang dari arah berlawanan hampir menabrak mereka. Damar langsung membanting setir, tetapi ban mobil terpeleset karena jalanan yang licin.

Mobil Damar kehilangan kendaii, tetapi pemuda itu langsung menginjak rem sehingga mobilnya berhenti. Posisi mobil Damar tepat berada di tengah-tengah jalan.

“Kamu nggak pa-pa?” tanya Damar panik ketika melihat Dafa yang tampak syok dengan yang barusan terjadi.

Dafa mengangguk. Ia mencoba mengatur napasnya.
Saat merasa situasi mulai baik, Damar kembali menyalakan mesin mobilnya. Namun, tiba-tiba saja sebuah truk besar melaju dengan kecepatan tinggi dan menabrak mobil Damar tepat di bangku pengemudi.

Mobil Damar terpental beberapa kilometer. Damar yang saat itu tidak menggunakan sabuk pengaman, terhempas keluar mobil. Sementara itu, Dafa yang tak sadarkan diri tetap berada dalam mobil dengan posisi terbalik.

Kecelakaan terjadi di jalanan yang cukup ramai, membuat orang-orang yang melihatnya langsung mendekat untuk membantu. Tubuh Dafa dikeluarkan dari mobil dan langsung dipindahkan ke mobil ambulans.

Saat polisi datang ke tempat kejadian, mereka tidak menemukan tubuh Damar. Sampai tiba-tiba, terdengar jeritan seorang wanita paruh baya dari seberang jalan.

“Tolong! Di sini ada mayat!”

Polisi dan petugas medis langsung menghampiri wanita tersebut. Damar ditemukan dengan keadaan yang sangat mengenaskan. Sekujur tubuhnya penuh darah. Kepalanya pecah dan tulang-tulangnya terlihat dari beberapa bagian tubuh.

Polisi langsung memasukkan tubuh Damar ke dalam kantung jenazah. Reporter langsung datang ke lokasi kejadian untuk melakukan tugas mereka.

Saat itu juga, berita kecelakaan yang dialami Dafa dan Damar tersebar ke seluruh Indonesia. Termasuk pada Naura yang menunggu Damar yang tak kunjung datang.

Dada Naura seketika bergemuruh ketika melihat papan iklan besar yang dipajang di atas gedung, sedang menampilkan breaking news. Berita yang disampaikan seorang reporter wanita, membuat Naura mengalami lumpuh sementara.

Kakinya bergetar, wanita itu terduduk di teras restoran. Ia benar-benar tidak ingin mempercayai berita yang sedang ditampilkan, tetapi melihat pelat mobil Damar, membuat batin Naura mengatakan korban kecelakaan yang dimaksud adalah pemuda yang sebentar lagi akan menjadi suaminya.

“Mbak, Mbak nggak pa-pa?” tanya seorang pelayan yang menghampiri Naura.

Naura tidak menjawab. Hal yang ia katakan hanya, “Nggak, nggak mungkin itu Mas Damar.”

Naura berusaha menepis semua pikiran buruknya. Ia mengusap air mata dan langsung mengambil ponselnya.

“Angkat, dong, Mas!”

Berulang kali Naura menghubungi Damar, tetapi tidak seorang pun yang mengangkatnya. Naura memutuskan untuk menghubungi Dafa.

Panggilan tersambung. Terdengar suara lelaki dan suara sirene yang sangat jelas.

“H-halo, Daf?”

“Halo, selamat malam. Saya dari kantor kepolisian, apa Mbak salah satu anggota keluarga dari pemilik ponsel ini?”

“I-iya, Pak.”

Suara Naura semakin bergetar. Ia tidak bisa menahan air matanya yang menetes semakin deras. Naura tidak lagi peduli dengan orang-orang yang berkumpul karena penasaran dengan yang sedang terjadi. Ia juga tidak lagi peduli dengan dress cantik yang sudah kotor karena dipakai duduk di lantai.

“Mbak, pemilik ponsel sedang dalam keadaan kritis karena mengalami kecelakaan.”

“Apa dia hanya sendiri?”

“Tidak, Mbak. Satu orang lagi, meninggal di tempat dan saat ini jasadnya sedang di bawah ke rumah sakit.”

“J-jasad?”

Tubuh Naura semakin lemah, bahkan tangannya sudah tidak bisa lagi menggenggam ponsel. Pandangan mata Naura mengabur, dan ia tidak sadarkan diri.

Naura dilarikan ke rumah sakit. Hampir setengah jam tidak sadarkan diri, akhirnya Naura bisa kembali pulih. Saat membuka mata, kedua orang tuanya sudah berada di samping tempat tidurnya
.
“Nak, syukurlah .. kamu nggak pa-pa,” ucap Mama Naura yang sejak tadi menggenggam tangan anaknya.

“Ma, Mas Damar ...”

Kedua orang tua Naura saling berpandangan. Mereka juga tidak menyangka, calon menantunya akan berakhir seperti ini.

“Naura, kamu istirahat dulu, ya. Nanti kalau sudah sembuh—“

“Nggak bisa, Pa!” Naura memaksa bangun dari tempat tidur dan langsung mencabut jarum infus yang menancap di tangannya.

Naura tidak lagi peduli dengan rasa perih dan darah yang mengalir dari bekas infus. Saat ini, yang ia inginkan adalah melihat langsung keadaan Damar.

“Nak, kamu mau ke mana?”

Naura tidak menjawab. Ia berlari meninggalkan ruang UGD dan menyusuri lorong rumah sakit. Naura tidak tahu arah yang ia tuju. Ia terus berlari bahkan menaiki tangga. Saat di lantai dua, ia menengok ke bawah dan melihat ada tiga orang polisi yang sedang berjalan.
Entah mendapatkan tenaga dari mana, wanita lemah itu kembali turun ke lantai bawah dan mencegat petugas polisi.

“Pak, di mana korban kecelakaan tadi?”

Belum sempat petugas menjawab, suara seorang wanita yang ternyata adalah Mama Damar membuat Naura langsung berbalik.

“Naura, sayang ...”

Mama Damar langsung memeluk Naura. Keduanya menangis bersama, menumpahkan semua kesedihan yang saat ini tidak bisa diucapkan dengan kata-kata. Kehilangan yang tiba-tiba, membuat semua orang hanya bisa menumpahkannya dengan air mata.

Ternyata, memang benar. Air mata adalah sebuah anugerah. Ketika manusia sulit mengungkapkan perasaannya dengan kata-kata, maka air mata yang akan mewakilinya. Maka dari itu, tidak seharusnya manusia memaksakan diri untuk tidak menangis.

“Nak, kita ikhlaskan Damar, ya.”

Naura melepas pelukan Mama Damar. Bagaimana bisa, seorang Ibu bisa seikhlas ini ketika kehilangan anaknya?

“Tante, saya nggak bisa. Saya nggak mau.”

“Sayang,” ucap Mama Damar memegang kedua pipi Naura.

“Damar udah  pergi selama-lamanya.”

Naura berjongkok dan menyembunyikan wajahnya di balik kedua lutut. Mama Damar menunduk dan mengusap lembut kepala Naura.

Beberapa saat kemudian, Naura kembali berdiri. Ia menatap semua orang termasuk petugas polisi yang dari tadi hanya bisa berdiam diri sebagai bentuk simpati.

“Sekarang, Mas Damar di mana? Aku mau liat dia untuk terakhir kali.”

Seketika, Mama Damar langsung memeluk Naura dan tangisnya kembali pecah. “Nggak usah, Sayang. Tante mau, kamu hanya ingat Damar sebagai orang yang utuh.

“Maksudnya?” tanya Naura yang melepas pelukan.
Mama Naura mendekat ke arah putrinya. Wanita paruh baya yang dari tadi berusaha menahan diri itu, menggenggam kedua tangan Naura.

“Sayang, Mama tau semua pasti berat. Tapi, Mama sama semua orang yang ada di sini, mau kamu nggak usah liat keadaan Damar, ya ...”

“Tapi kenapa?”

Tidak ada yang menjawab. Semua orang tidak tega, membiarkan Naura melihat kondisi Damar yang mengenaskan. Cukup kenangan baik yang Damar tinggalkan dengan wujud yang utuh. Jika mereka membiarkan Naura melihat keadaan Damar saat ini, ia pasti akan terbayang rupa yang menyeramkan.

To be continue....

☆☆☆

Terima kasih sudah membaca 🙏
Sampai ketemu lagi👋

☆☆☆

Baris-BergarisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang