-11-

14 4 6
                                    

Atmosfer menegangkan sangat terasa di ruang keluarga. Baik Dafa maupun Damar, merasa tertekan dengan tatapan tajam kedua orang tua mereka. Keduanya sudah berganti pakaian dan Dafa sudah sepenuhnya sadar setelah meminum obat pereda mabuk yang diberikan Damar.

"Dafa, sekarang Papa mau dengar. Kenapa kamu bisa sampai mabuk dan bikin keributan di rumah Naura?"

Mama yang melihat raut wajah Papa yang menahan marah, langsung menggenggam tangan laki-laki paruh baya itu. Mama takut, darah tinggi Papa akan naik lagi karena masalah ini.

Sementara itu, Dafa hanya diam dan menunduk semakin dalam. Damar langsung memegang tangan Dafa yang membuat Dafa refleks mengangkat wajah dan menatap kakaknya. Damar mengangguk, memberi isyarat bahwa semua akan baik-baik saja dan ia akan selalu ada untuk membela Dafa.

Dafa tersenyum dan mengangguk lalu menatap kedua orang tuanya. "Aku tadi nggak sengaja minum karena stres dengan pekerjaan."

"Stres? Kerjaan? Kerjaan apa? Gambar-gambar nggak jelas, mana bisa disebut pekerjaan? Memangnya setelah dua tahun menggambar seperti itu, kamu sudah bisa beli apa? Rumah? Mobil? Nggak, kan? Buang-buang waktu, buang-buang tenaga, tapi nggak bisa ngasih apa-apa!"

Dafa yang mendengar ucapan Papa yang merendahkan pekerjaannya, jelas saja mulai tersulut emosi. Namun, lagi Damar menahannya. Kakaknya itu menggeleng ketika Dafa ingin berdiri.

"Daf, begini ..." ucap Mama mencoba mengambil alih pembicaraan.

Meskipun, Mama bukan Ibu yang sangat baik bagi Dafa, kenyataannya Mama tetaplah seorang Ibu yang masih memiliki cinta untuk anak-anaknya. Sebesar apapun rasa kecewa yang ia rasakan, Mama berusaha untuk menahannya.

"Mama sama Papa nggak mau kamu begini terus. Kalau nanti kakakmu menikah, siapa yang akan jagain kamu? Mama sama Papa nggak mungkin selamanya ada di samping kamu. Kami mau, kamu bersikap dewasa. Lupakan semua impian yang hanya membuat kamu susah."

"Kamu bisa mulai bisnis di kantor Papa, atau jadi penerus sebagai manajer di salon Mama. Mama sama Papa akan bimbing kamu dari awal. Asal, kamu benar-benar mau belajar. Cukup main-mainnya, Daf."

Dafa ingin sekali menyela ucapan Mama, tetapi Damar langsung berdiri untuk membela. "Ma, Pa. Apa bisa, sekali saja kalian percaya sama Dafa? Mungkin, usaha yang dia lakukan saat ini belum terlihat apa-apa di mata Mama dan Papa. Tapi, Damar yakin, Dafa pasti tahu apa yang terbaik untuk hidupnya. Kita sebagai keluarga, hanya bisa mendukung dia, dan jangan memaksa."

"Nggak bisa gitu, dong," sela Papa yang juga ikut berdiri.

"Dia ini sudah banyak buang-buang waktu. Papa sama Mama sudah cukup sabar dengan sikapnya yang nggak pernah dewasa. Pokoknya, mulai besok Dafa harus ikut Papa ke kantor untuk belajar berbisnis. Nggak bisa kayak gini terus. Nggak ada yang boleh membantah, termasuk kamu Damar," tunjuk Papa pada Damar.

Papa langsung meninggalkan mereka dan masuk ke dalam kamar. Diikuti Mama setelah menggelengkan kepala untuk kedua anaknya.

Setelah kedua orang tua mereka pergi, barulah Damar duduk kembali. Ia menepuk kedua pundak Dafa untuk menguatkan adiknya yang sedari tadi menunduk.

"Nggak usah dengerin apa kata Papa dan Mama. Aku akan selalu dukung apapun keputusan kamu, Daf."

Dafa menautkan jari-jari tangannya dan menatap Damar. "Apa yang Mama dan Papa bilang itu benar, Kak. Aku harus berubah sekarang."

"Tapi, Daf, kalau kamu nggak suka dan tertekan menjalani itu, lebih baik nggak usah."

"Kak, aku nggak pernah bisa buat orang-orang yang ada di sekitar aku bangga. Termasuk kamu."

Baris-BergarisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang