-21-

9 2 0
                                    

Sesuatu yang didasari nafsu, biasanya akan membuat pelaku menjadi candu. Hal itu yang dirasakan Dafa dan Naura saat mereka remaja. Awal yang takut untuk melakukan hubungan suami istri, perlahan-lahan menjadi sebuah rutinitas yang dijadikan sebagai kebutuhan.

Suatu pagi di saat pelajaran olahraga, Naura merasakan perutnya kembung dan ingin mual. Sebagai penderita magh, Naura memang sering kali merasakan mual ketika terlambat makan. Apalagi sejak semalam ia tidak memasukkan apapun ke dalam perutnya.

Naura berlari menyusuri koridor sekolah menuju kamar mandi untuk mengeluarkan semua isi perutnya. Dafa yang saat itu berada di kelas berbeda dengan Naura, tidak sengaja melihat pacarnya. Ia jelas merasa khawatir dan berbohong pada guru mate-matika. Dafa meminta izin ke UKS dengan alasan kepalanya tiba-tiba sakit.

Padahal, yang sebenarnya terjadi adalah Dafa menyusul Naura ke toilet dan ia tidak segan-segan masuk ke dalam toilet wanita. Sayangnya, keberanian Dafa membuatnya mendapat masalah. Salah satu siswa yang sedang berganti pakaian di sana langsung berteriak saat melihat Dafa masuk.

“Tolong, ada orang mesum!” pekik siswa tersebut yang membuat hampir semua siswa berdatangan.
Naura yang baru selesai muntah, keluar dengan perasaan yang lega. Namun, rasa lega hanya bertahan sejenak.

“Dafa? Kamu ngapain di sini?”

“Oh, pantas aja dia berani ke toilet cewek. Ternyata ada pacarnya,” sindir salah satu siswi.

Dafa yang saat itu berusaha menjelaskan situasi yang terjadi pada guru BK, langsung bernapas lega ketika Naura terlihat baik-baik saja. Ia langsung berjalan mendekat ke arah Naura dengan tersenyum.

“Syukur kalau nggak pa-pa. Ada yang sakit?”

“Huuuuu!” seru semua siswa yang ada.

“Dafa, ikut saya ke ruang BK sekarang juga!” titah guru BK dengan wajah yang sengaja dibuat seram
Namun, bukan Dafa namanya kalau langsung menurut begitu saja. Ia langsung menarik tangan Naura untuk keluar dari kerumunan melewati guru BK yang mengomelinya. Dafa tidak peduli, yang ia pikirkan saat ini adalah kesehatan Naura.

Naura berusaha melepas genggaman Dafa, tetapi tenaganya begitu lemah untuk melakukan itu. Barulah ketika keduanya tiba di lapangan basket, Dafa melepas genggamannya.

“Kamu itu apa-apaan sih? Kamu kira aku akan senang kamu kayak gitu? Nggak, Daf. Nama kamu jadi semakin buruk di mata orang-orang. Lagian, kamu ngapain bisa di toilet cewek?”

“Aku khawatir sama kamu. Kamu tadi lari-lari sambil nutup mulut. Apa magh-nya kambuh?”

Naura hanya diam. Sebenarnya, ia tidak yakin jika rasa mual dan perut kembung yang sudah hampir satu bulan di rasakan, hanya disebabkan magh. Naura teringat tentang keterlambatan menstruasi di bulan itu. Ia juga sangat menginginkan buah asam di tengah malam, persis seperti teori orang hamil yang Naura ketahui.

“Kenapa diam? Apa ada yang sakit? Kamu mual lagi?” tanya Dafa sambil memegang kedua tangan Naura.

“Daf, aku mau ngomong sesuatu. Tapi kamu jangan marah, ya.”

Dafa mengangkat satu alisnya. “Apa? Kalau bikin aku marah, ya, pasti aku marah.”

Naura menghela napas berat. Ia ingin menolak pikiran bahwa ia saat ini sedang hamil. Namun, Naura juga tidak bisa menyembunyikan rasa khawatirnya berlama-lama.

“Kenapa? Ya, udah. Aku janji nggak bakal marah. Kamu mau ngomong apa?”

Naura menatap Dafa yang juga sedang menatapnya. Apakah Dafa akan bertanggung jawab jika seandainya Naura benar-benar hamil?

“Kok, diam?”

Naura menutup mata sejenak. “Kamu nggak akan ninggalin aku, kan? Apapun yang terjadi, kita akan tetap sama-sama, kan?”

Dafa tersenyum dan memegang pipi Naura. “Apapun yang terjadi, aku nggak akan ninggalin kamu. Lagian, apa juga yang bakalan terjadi?”

“Daf .. aku belum dapet sampai sekarang. Udah mau satu bulan, aku mual dan perutku selalu mual. Aku takut hamil, Daf.”

“Hamil?!”

Suara Dafa yang cukup besar, membuat Naura panik dan langsung menutup mulut pemuda itu. “Kamu gila, ya? Gimana kalau ada yang dengar?”

“Sorry, sorry. Kamu serius?”

Lagi-lagi, Naura hanya bisa menghela napas. “Aku nggak tau pastinya gimana karena belum ngecek juga. Tapi dari yang aku baca, ciri-ciri yang aku alami saat ini sama persis kayak ciri-ciri orang hamil. Aku takut, Daf.”

Dafa kehilangan kata-kata. Ia mengangkat rambutnya ke atas dan menahannya dengan kedua tangan. Dafa frustrasi dan tidak tahu harus mengatakan apalagi.

“Dafa? Gimana, dong? Aku nggak mau orang tuaku malu karena ini.”

Dafa hanya diam. Ia berbalik dan menggaruk-garuk tengkuknya yang tidak gatal. Dafa berusaha memutar otak mencari solusi terbaik untuk masalah ini.
“Daf?”

Naura memegang tangan Dafa, tetapi pemuda itu langsung menepisnya. “Aku nggak bisa mikir sekarang.”

Ucapan Dafa yang terkesan seolah-olah ingin lari dari tanggung jawab, membuat Naura sangat kecewa. Naura kembali mengambil tangan Dafa, tetapi lagi-lagi pemuda itu enggan berbalik dan menepis tangan Naura.

“Daf? Kamu, kok, kayak gini? Harusnya kamu nenangin aku. Harusnya kita diskusi dan sama-sama cari solusi.”

Dafa berbalik dan menatap Naura. “Gini aja. Pulang sekolah, aku beliin tespack. Siapa tau, ini cuma masuk angin atau karena pengaruh magh kamu yang kambuh.”

Naura mengangguk. Setelahnya, Dafa pergi meninggalkan Naura yang sebenarnya masih ingin bersama Dafa. Pemuda itu berjalan sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal, meninggalkan Naura sendirian yang masih berusaha menepis semua pikiran buruknya.

Naura memutuskan untuk menunggu Dafa di gerbang sekolah. Ia tidak lagi masuk pelajaran selanjutnya. Namun, sampai sore Naura menunggu, Dafa tidak terlihat. Barulah ketika Pak Satpam ingin menutup pintu pagar, Naura mendekatinya.

“Pak, kok, mau ditutup? Bukannya masih ada siswa yang ikut eks-school?”

“Udah pulang semua, Neng. Tadi Bapak udah ngecek semua ruangan sama lapangan udah nggak ada orang.”

“Hah?!”

Naura sangat terkejut dengan informasi itu. Ia mencoba menghubungi Dafa, tetapi pemuda itu sengaja mematikan ponselnya. Tanpa Naura tahu, Dafa memilih pulang lewa jalur samping sekolah.
Sebenarnya, ia sama sekali tidak ingin membuat Naura khawatir. Namun, Dafa juga bingung harus berbuat apa.

Naura merasa sangat kesal dan memutuskan untuk pulang. Untuk menjawab rasa penasaran, Naura akhirnya memberanikan diri untuk singgah di apotek dan membeli tespack.

Dengan perasaan ragu dan khawatir luar biasa, Naura mengikuti tata cara penggunaan tespack. Benar saja, hasilnya garis dua.

Dunia Naura seolah runtuh ketika melihat hal itu. Bayangan kedua orang tuanya yang selalu tersenyum bangga ketika Naura berhasil meraih prestasi di sekolah atau di luar sekolah, berputar di kepalanya. Naura tidak menyangka, ia akan bertindak sehina dan senista ini.

"Aku harus gimana?" tanya Naura yang hanya bisa meratapi kebodohannya.

Naura tidak ingin orang lain tahu hal ini, termasuk Dafa. Setelah menenangkan diri di kamar mandi, Naura akhirnya mengirimkan pesan pada Dafa bahwa ia tidak hamil. Dengan keadaan menangis serta khawatir yang luar biasa, pesan itu berbalas dengan kalimat yang Naura ingat sampai detik ini.

"Syukurlah..."

Dafa bahkan tidak peduli dengan keadaan Naura saat ini. Tanpa Naura ketahui, di rumahnya, Dafa juga sedang memiliki masalah. Ia dimarahi habis-habisan oleh papanya karena mendapat panggilan dari pihak sekolah yang mengatakan Dafa akan dikeluarkan.

Pesan Naura yang memintanya untuk bertemu, hanya bisa dibaca. Dafa dan Naura yang sama-sama tidak mengetahui keadaan satu sama lain, hanya bisa saling menuduh. Entah siapapun yang salah, yang jelas hubungan mereka renggang karena praduga.

To be continue....

☆☆☆

Terima kasih sudah membaca🙏
Sampai ketemu lagi👋

☆☆☆

Baris-BergarisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang