-20-

8 1 0
                                    

Hujan yang tadinya menetes dengan deras, kini tinggal gerimis. Orang-orang mula melanjutkan aktivitas mereka yang sempat terjeda.

Sementara Dafa dan Naura, sama-sama masih berusaha menetralkan rasa bersalah yang luar biasa. Namun, seperti halnya air hujan yang mengecil tetesannya, tangisan masing-masing tidak sebesar tadi.

Dafa dan Naura yang sudah membaca surat dari Damar yang ditutup dengan kalimat, “berbahagialah, akua akan mendukung kalian apapun itu,” membuat keduanya merasa sedikit lega. Sekarang, yang Dafa inginkan adalah penjelasan Naura yang sejelas-jelasnya tentang masa lalu mereka.

Dafa memperbaiki posisi duduknya dan meletakkan tangan di atas meja. Ia menautkan jari-jemari, sebagai tanda keseriusan untuk mendalami pembicaraan mereka nanti.

“Sekarang, jelaskan sejelas-jelasnya tentang anak kita. Tentang semua yang dimaksud daam buku diary kamu.”

Naura menatap Dafa dengan tatapan yang sulit diartikan pemuda itu. Entah tatapan memohon untuk jangan membahas hal itu dulu, atau tatapan sendu karena harus mengingat masa lalu. Apapun itu, Dafa ingin semuanya jelas. Penjelasan Naura, adalah kunci cerita mereka akan dibawa ke mana.

“Aku harap, setelah dengar ini kamu bisa maafin aku, maafin juga kamu. Kamu harus janji, setelah aku ceritain semuanya, kamu nggak akan nyalahin diri sendiri dan nggak pergi dari hidup aku lagi.”

Dafa memundurkan tubuhnya dan bersandar di sandaran kursi. Tangannya yang masih bertaut, ia letakkan di atas kepala. Dafa menutup mata sejenak, dan kembali memajukan tubuhnya.

Kali ini, tangannya ia letakkan di bawah meja untuk menyembunyikan rasa gugup. Jari jemari yang ia mainkan, berharap bisa menjadi penyalur kekhawatiran.

“Aku janji,” ucap Dafa ketika merasa sudah siap.

Sebelum memulai penjelasannya, Naura mengeluarkan buku diary dan menyimpan kembali surat dari damar di halaman paling akhir. Ia meletakkan buku itu di atas meja dalam kondisi terbuka.

Bayangan Naura terbang ke kehidupan masa lalu yang sangat kelam. Ia memulai ceritanya dengan senyum cerah.

Bagi Naura remaja yang begitu penasaran soal cinta, bertemu Dafa adalah sebuah keajaiban. Rasanya, kisah romantis tentang dua anak remaja yang saling jatuh cinta, benar-benar terjadi dalam hidupnya.

Seorang siswa nakal yang sering kali membuat onar, jatuh cinta pada siswa pandai yang selalu taat aturan. Bukankah itu kisah klasik khas remaja yang menjamur di mana-mana?

Sayangnya, kisah cinta yang diawali dengan ekspektasi yang tinggi, harus hancur berkeping-keping ketika sikap Dafa mulai berubah. Naura tidak tahu alasan dari Dafa remaja yang tadinya begitu peduli, berubah menjadi bodo amat padanya.

Naura sama seperti wanita lain yang haus akan perhatian. Terlebih, ketika perhatian yang diberikan pasangan sudah menjadi kebiasaan. Naura mencari dan menanti perhatian itu akan kembali.

Namun, hari-hari terus berlalu. Sikap Dafa menjadi semakin dingin. Sebagai anak yang tidak suka bertanya, Naura selalu menahan rasa penasarannya.

Sampai suatu malam di bawah guyuran hujan deras, wanita yang selalu menunggu itu tidak tahan lagi.

“Aku mau kita putus,” tutur Naura di bawah hujan dengan seragam putih abu-abu yang masih ia kenakan.

“Putus? Tapi kenapa?”
Dafa yang saat itu belum menyadari kesalahannya, hanya bisa bertanya. Mau apalagi? Ia bukan cenayang yang bisa tahu isi perasaan seorang wanita begitu saja.

“Kamu udah berubah, Daf. Kamu udah nggak perhatian lagi sama aku. Kamu sibuk sama duniamu sendiri. Lalu, buat apa kita masih pacaran kalau ketemu aja jarang?”

Memang benar, saat itu Naura adalah anak yang haus akan perhatian. Meskipun tidak bisa dipungkiri, Naura jauh lebih beruntung dari Dafa yang sangat jarang mendapatkan atensi dari kedua orang tuanya
.
Namun, biar bagaimanapun Dafa memiliki seorang kakak untuk berbagi cerita ketika kedua orang tuanya tiada. Berbeda dengan Naura yang harus melakukan semua sendirian di rumah besar yang hanya ditempati beberapa orang ketika kedua orang tuanya sibuk dengan pekerjaan.

Kehadiran Dafa dalam hidupnya, mengisi kekosongan yang ada. Naura terlanjur menaruh harapan pada Dafa, agar pemuda itu bisa selalu ada untuknya. Namun, keinginan Naura yang ingin dituruti saat itu juga, bertolak belakang dengan keadaan Dafa yang memiliki masalah keluarga.

Dafa bukan tidak bisa memberi perhatian pada Naura, tetapi perhatiannya tertuju pada kedua orang tuanya yang selalu saja membandingkan Dafa dan Damar. Hal itu membuat Dafa tidak bisa bersikap sama seperti sebelumnya.

Tanpa menunggu persetujuan Dafa, Naura meninggalkan pemuda itu di halaman basket. Naura tidak lagi peduli bahkan ketika Dafa menahan tangannya dan meminta untuk menarik ucapannya.
 
“Aku nggak mau kita putus. Titik!” teriak Dafa saat itu.

Naura memutus semua komunikasi dengan Dafa. Ia tidak segan-segan memblokir kontak pemuda itu agar tidak lagi mengganggunya. Di sisi lain, Dafa sudah menganggap Naura sebagai rumah, jelas saja merasakan kehilangan yang luar biasa.

Bagi Dafa, rumah adalah tempat kembali yang tidak akan pernah pergi. Sesuatu yang akan menerima kita apa adanya, melindungi, dan menutup aib yang tidak bisa kita perlihatkan pada siapa-siapa.

Rumah akan tetap ada, tetap berdiri di tempat yang seharusnya, bahkan ketika kita berulang kali meninggalkannya untuk sekolah, bekerja, atau sekadar keluar untuk mencari hiburan saja. Rumah akan menunggu dengan sabar dan tenang. Tidak akan beranjak bahkan ketika ditinggalkan ribuan kali.

Dafa yang merasa tidak memiliki akses untuk menghubungi Naura, akhirnya memutuskan untuk pergi ke rumah wanita itu dengan menaiki sepeda. Ia tidak peduli dengan jarak yang lumayan jauh, angin malam yang menyengat kulitnya, atau apapun itu yang menghalangi keinginan Dafa untuk bertemu Naura.

“Naura, keluar! Aku mau bicara, aku nggak mau putus!” teriak Dafa yang membuat Naura mau tidak mau harus beranjak dari tempat tidurnya dan melihat keluar dari jendela kamar.

Naura sedikit ragu untuk menemui Dafa. Namun, ia juga tidak tega ketika melihat Dafa yang kebasahan karena hujan malam yang tiba-tiba mengguyur kota Jakarta. Akhirnya Naura memutuskan untuk keluar menemui Dafa.

“Kamu ngapain, sih? Gimana kalau orang-orang pada bangun?!”

Dafa tersenyum ketika melihat kehadiran Naura yang membawa payung berwarna biru muda. Perjuangannya tidak sia-sia.

“Aku nggak mau putus.”

“Tapi, Daf—“

Dafa langsung memeluk tubuh Naura dan berbisik, “jangan pernah tinggalin aku. Aku nggak tau harus ke mana lagi kalau bukan ke kamu.”

Naura yang mendengar itu, hanya bisa diam dan membiarkan Dafa mencari kenyamanan dalam pelukannya. Detik berikutnya, Dafa dan Naura saling bertatapan. Wajah mereka sangat dekat sampai-sampai bisa merasakan embusan napas masing-masing.

“Kita balikan, ya,” bujuk Dafa.

Naura menutup mata sejenak dan akhirnya mengangguk. Biar bagaimanapun, ia tidak siap kehilangan Dafa.

“Naura, apa aku boleh cium kamu?”

Pertanyaan Dafa, membuat tubuh Naura seketika membeku. Ia bisa merasakan darahnya mendidih karena hal yang tidak ia tahu. Naura refleks menutup mata dan membiarkan Dafa menempelkan benda lembut di bibirnya. Ciuman pertama yang membuat keduanya dimabuk kepayang.

Berlanjut, berlanjut, dan tanpa sadar melakukan hal yang seharusnya dilakukan oleh dua manusia yang terikat oleh kata SAH. Dafa dan Naura terbuai dengan rasa penasaran remaja yang ingin coba-coba.

Penasaran yang berubah menjadi candu, hingga tanpa sadar bersetubuh di rumah kedua orang tua Naura. Rumah yang saat itu kosong karena kedua orang tua Naura sedang tugas di luar kota, sementara pembantu yang menjaganya sedang pulang kampung.

Memang benar, penasaran seharusnya tidak dituruti. Seperti hanya Adam yang tergoda untuk memakan buah khuldi, Dafa dan Naura adalah bagian dari keturunan Adam yang menuruti rasa penasaran dan berakhir dengan penyesalan.

To be continue...

☆☆☆

Terima kasih sudah membaca🙏
Sampai ketemu lagi👋

☆☆☆

Baris-BergarisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang