-14-

9 3 4
                                    

Seperti kata pepatah, “sepandai apapun menutupi sebuah bangkai, pasti akan tercium juga.” Berawal dari kecurigaan dan usaha untuk menyatukan potongan-potongan kecurigaan, tanpa Dafa dan Naura sadari, Damar melihat keduanya dari kejauhan. Ia sengaja berpura-pura pamit ke rumah sakit dan mengikuti Dafa yang saat itu bertemu dengan Naura.

Saat melihat Naura jatuh pingsan, Damar berusaha menahan diri agar tidak menghampiri mereka. Hal yang menarik perhatian Damar, adalah sebuah buku yang tidak sengaja dijatuhkan Dafa. Dafa yang terlalu panik sampai lupa membawa serta buku diary Naura dan membiarkannya tergeletak begitu saja di bangku taman.

Damar mendekat dan meraih buku diary itu. Bisa dibayangkan, betapa besar rasa penasaran yang sudah Damar rasakan serta kecurigaan yang berusaha ia lawan. Berkat hal itu, Damar tidak lagi peduli dengan privasi. Ia membaca lembar demi lembar tulisan yang tertulis dalam buku itu.

Awalnya, tidak ada yang mencurigakan. Hanya berisi tentang keseharian Naura sebagai anak remaja yang sedang berusaha mencari jati diri. Sampai di lembar ke empat belas, dada Damar mulai memanas. Naura menuliskan seorang anak remaja yang menjadi alasan wanita itu jatuh cinta. Tidak lupa juga, nama Dafa ia tulis dengan tulisan yang sengaja ditebalkan, dan digaris bawahi seolah-olah nama itu sangat berarti.

DAFA WARDANA, namanya. Dia anak yang nakal, tapi aku suka. Dia baik, tapi nggak mau dianggap baik. Iya, DAFA WARDANA namanya.”

Bagi orang lain, mungkin tulisan itu memberi kesan lebay, tetapi tidak untuk Damar. Ia semakin penasaran dengan apa yang terjadi selanjutnya setelah Naura mengungkapkan perasaan pada Dafa melalui tulisan itu.

Lembar demi lembar, Damar baca. Ia bisa merasakan, rasa cinta yang luar biasa melalui susunan-susunan kata yang Naura tulis di sana. Namun, yang semakin membuat ia terkejut, ketika tiba di tiga lembar terakhir dari buku diary Naura.

“H-hamil?”

Tubuh Damar bergetar ketika membaca tulisan acak-acakan seperti ditulis dengan emosi yang mendalam. Naura menuliskan tentang kesalahannya dan Dafa yang berhubungan melewati batas seharusnya.

“Aku memang mencintai Dafa. Tapi, aku tidak percaya kita akan melakukan hal yang tidak seharusnya. Andai, malam ini aku tidak menolak untuk dijemput Papa. Andai mala ini tidak turun hujan, mungkin semua ini tidak akan terjadi.”

Lagi-lagi tentang hujan malam hari. Ternyata, bukan hanya Damar yang memiliki kebencian terhadap hujan malam, tetapi Naura juga. Namun, apakah saat ini Naura masih membenci hujan malam di saat Dafa kembali dalam kehidupannya? Damar ragu soal itu. Kini ia yakin, hanya dia yang belum berhasil mengusir rasa benci terhadap hujan malam.

Damar tidak kuat menahan air mata yang sejak tadi sudah menggenang. Dadanya semakin sesak ketika membaca lembar terakhir. Di dua lembaran-lembaran terakhir buku diary-nya, Naura menuliskan tentang rasa sakit yang ia rasakan saat mengandung.

Namun, yang lebih membuat Damar terkejut adalah fakta bahwa Naura pernah menggugurkan kandungannya. Ia benar-benar tidak menyangka, wanita sebaik Naura, sesantun Naura, dan seanggun Naura, bisa melakukan tindakan membunuh nyawa. Bahkan, itu ia lakukan pada darah dagingnya.

Damar menarik napas dan membuangnya perlahan-lahan. Ia mengakui, kemampuan menulis Naura sangat baik sampai ia bisa membayangkan kejadian-kejadian serta emosi dalam tulisan itu.

Terutama, saat tiba di lembaran terakhir yang membuat Damar sadar, benang merah antara Dafa dan Naura dari masa lalu, belum terputus karena buah cinta mereka masih ada.

Damar tersenyum pilu. Ia menutup buku diary itu dengan perasaan putus asa yang luar biasa. Ditambah rasa kecewa yang entah harus ditujukan pada siapa.

Apakah pada Naura yang dengan tega menyembunyikan hal sepenting ini, bahkan ketika mereka sebentar lagi akan menikah? Atau pada Dafa yang merupakan adik kandungnya sendiri.

Kini, Damar mendapatkan semu jawaban dari banyaknya pertanyaan tentang Naura. Namun, semua jawaban itu menumbuhkan pertanyaan baru.

“Bagaimana kelanjutan hubungan mereka?”

Hampir setengah jam Damar merenung. Ia akhirnya menutup buku diary Naura dan memutuskan untuk menemui Dafa terlebih dahulu. Saat dalam perjalanan menuju mobil, Damar tidak henti-hentinya menghubungi Dafa sampai akhirnya tersambung juga.

“Kamu di mana?” tanya Damar tanpa basa-basi.

“A-aku—“

“Aku mau bicara. Datang ke rumah sakit tempat sekarang. Aku tunggu di rooftop.”

“T-tapi—“

Damar langsung memutus panggilan tanpa mau mendengar penolakan Dafa. Meskipun ia sudah tahu kalau saat ini Dafa sedang menangani Naura, tetapi emosi sudah memuncak. Ia tidak bisa lagi menahan rasa cemburu yang dicampur dengan kecewa pada keduanya.

Damar melajukan mobilnya membelah kemacetan jalanan Jakarta. Ia tidak segan-segan menerobos lampu merah dan membunyikan klakson berkali-kali ketika ada yang menghalangi jalannya.

Bahkan, ketika seorang pejalan kaki yang sudah berusia senja sedang menyeberang sambil mendorong gerobak, juga terkena imbasnya. Damar turun dari mobilnya untuk mengecek kondisi Nenek itu.

“Nek, maaf, ya. Saya benar-benar tidak sengaja,” ucap Damar sambil membantu mendirikan kembali gerobak milik Nenek yang terbalik.

Damar menyerahkan beberapa lembar uang seratus ribu sebagai bentuk permintaan maaf. Biar bagaimanapun, ia yang salah karena tidak memerhatikan jalan dan hampir membuat Nenek kehilangan nyawa.

Setelah memastikan Nenek itu baik-baik saja dan menerima uangnya, Damar kembali ke mobil. Kali ini, ia berkendara dengan sedikit lebih tenang. Ia tidak mau, menyakiti orang lain hanya karena emosi. Meskipun, sebenarnya Damar sudah tidak sabar menemui Dafa dan meminta penjelasan tentang semuanya.

Damar memarkirkan mobil dan langsung merih buku diary Naura. Saking tidak sabarnya ia menemui Dafa, Damar lupa mencabut kunci mobil dan ponselnya yang sejak tadi berdering.

Damar bergegas ke rooftop. Sesampainya di sana, Damar tidak mendapati sosok yang ia cari. Dafa tidak ada di sana. Sialnya lagi, ia tidak membawa ponsel. Mau tidak mau, Damar harus kembali ke mobil.
Saat akan turun, Damar tidak sengaja melihat Dafa yang sedang berlari dengan wajah panik. Ia langsung mencegat pemuda itu.

“Kenapa? Apa terjadi sesuatu pada Naura?” tanya Damar.

Dafa sangat terkejut dengan kehadiran Damar yang sangat tiba-tiba. Namun, hal yang membuat Dafa semakin terkejut, ketika pandangannya tertuju pada buku yang dipegang Damar.

“Jawab!” teriak Damar yang sudah sangat emosi.

Damar tidak bisa berbohong, rasa cinta yang ia punya untuk Naura bisa mengalahkan kekecewaan yang saat ini ia rasakan. Sementara itu, Dafa hanya menatap Damar dengan perasaan takut. Ini adalah pertama kali ia melihat kakaknya semarah ini. Wajah damar merah menahan marah dan tangannya mengepal kuat. Ia berusaha menahan diri agar tidak memukuli Dafa di rumah sakit dan menyebabkan keributan.

“Naura baik-baik aja.”

“Di mana dia sekarang?”

“Aku di sini, Mas,” sahut Naura yang berada di belakang Dafa.

Damar langsung mendekat ke arah Naura dan memeluknya. “Syukurlah, kamu nggak pa-pa. Mas khawatir.”

Naura melepas pelukan Damar. Ia menatap buku diary yang kini berada di tangan Damar. Buku itu juga alasan Dafa berlari dengan wajah panik.

“Mas, i-itu—“

Damar tersenyum. “Mas udah tau semuanya.”
Naura dan Dafa saling berpandangan. Keduanya benar-benar bingung harus bersikap seperti apa di depan Damar.

To be continue...

☆☆☆

Terima kasih sudah membaca 🙏
Sampai ketemu lagi 👋

☆☆☆

Baris-BergarisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang