-08-

12 4 12
                                    

Seperti kesepakatan sebelumnya, hari di mana Damar dan Naura mengikat janji telah tiba. Sejak semalam, Naura berusaha menepis bayangan Dafa yang terus-menerus muncul dalam kepala.

Entah mengapa, sejak pembicaraan waktu itu, benci berubah menjadi simpati. Bukan hanya karena masa lalu mereka, tetapi juga tentang perlakuan kedua orang tua Dafa yang benar-benar sangat membeda-bedakan antara Damar dan Dafa.

Kini, Naura menyadari satu hal. Dibalik keras kepala seorang Dafa Wardana, ia hanya seorang manusia kesepian yang haus akan perhatian.

Naura menatap pantulan wajahnya yang sudah dipoles make up. Aksesoris di atas kepala yang berwarna silver berbentuk bunga, semakin menambah kecantikannya.

“Mbak, saya mau foto dimasukkan ke instagram boleh?” tanya perias wajah.

Naura tersenyum dan mengangguk. Ia berusaha untuk terlihat baik-baik saja di depan semua orang dan meyakinkan diri sendiri, bahwa inilah pilihan yang terbaik.

Setelah sesi foto selesai, suara ketukan pintu membuat Naura dan periasnya berbalik. Kehadiran Dafa, membuat Naura membeku. Setelan jas hitam, membuat Naura benar-benar terpukau. Damar memang tampan, tetapi Dafa selalu berhasil memancarkan pesona yang menarik.

Tidak hanya Naura yang terpesona dengan ketampanan Dafa saat ini, Dafa juga begitu. Naura memang wanita yang cantik, tetapi ia sangat jarang menggunakan riasan tebal seperti saat ini. Aura anggun yang dipancarkan dibalik kebaya merah muda, membuat Dafa hampir lupa tujuannya mengunjungi Naura.

“Masih lama siap-siapnya? Tadi aku di suruh ke sini sama Kak Damar. Katanya ada yang mau diomongin sebentar sama kamu sebelum acara dimulai.”

Naura mengangguk dan berjalan mendekat ke arah Dafa. “Baru selesai. Mas Damar di mana?”

“Di taman belakang.”

Naura mengangguk dan berbalik pada perias wajah. “Mbak, saya keluar sebentar, ya. Kalau ada yang nyariin, bilang aja lagi ketemu sama Mas Damar. Ada yang mau dibicarakan.”

Perias wajah itu mengangguk. Naura mengikuti langkah Damar menuju taman belakang melewati ruang tengah yang sudah mulai dipenuhi tamu undangan.

Ibu Naura yang sedang menyapa beberapa tamu, tidak sengaja melihat putrinya. Setelah meminta izin pada tamunya, Ibu Naura langsung mengikuti Naura.

“Naura.”

“Eh, Ma .. sebentar, ya. Ma Damar mau ngomong sesuatu.”

“Tapi, Nak. Ini acaranya sebentar lagi mau mulai. Lagian, seharusnya kamu nggak keluar-keluar dulu. Nanti gimana kalau tamu-tamu pada lihat?”

Ibu Naura langsung menarik tangan Naura, tetapi Dafa langsung menahannya. “Sebentar aja, Bu. Nggak lama.”

Ibu Naura mengerutkan kening. Ia tidak pernah melihat Dafa sebelumnya karena saat makan malam keluarga untuk membicarakan pertunangan hari ini, Dafa sengaja tidak hadir dan memilih untuk pergi ke kafe dekat rumah.

“Kamu siapa?"
Dengan lembut, Naura melepas tangan ibunya. “Ini Dafa, Ma. Dia adik kandung Mas Damar.”

“Adik kandung? Astaga, maaf, ya, Dafa. Tante kira Damar anak tunggal. Habis, waktu makan malam kamu nggak ada dan keluargamu sama sekali tidak membahas kamu. Jadi, Tante sama Om ngiranya Damar anak tunggal.”

Dafa yang mendengar penuturan ibu Naura hanya bisa tersenyum. Ternyata benar pilihannya untuk tidak hadir malam itu. Ada dan tidak ada Dafa di tengah keluarganya, sama sekali tidak berpengaruh untuk mereka.

“Nggak pa-pa, Tante. Saya izin bawa Naura sebentar, ya.”

“Ya udah. Tapi jangan lama-lama.”

“Iya, Ma.”

Ibu Naura kembali ke dalam sementara Dafa dan Naura melanjutkan langkah mereka dengan posisi yang masih bergandengan tangan. Saat tiba di depan pintu belakang yang menghubungkan langsung ke taman, Dafa menghentikan langkahnya. Ia berbalik dan menatap Naura dengan tatapan yang penuh dengan kekaguman.

“Naura, kamu cantik hari ini. Sangat cantik,” ucap Dafa tanpa ragu-ragu.

Naura yang mendengar hal itu, seketika langsung salah tingkah. Ini bukan pertama ia mendengar seseorang memuji kecantikannya. Naura sudah sangat sering mendapat pujian dari orang-orang sekitar, termasuk dari Damar. Namun, baru kali ini Dafa memujinya.

Satu hal yang membuat Dafa unik, adalah bahasa cinta pemuda itu. Ia sangat jarang bahkan tidak pernah terang-terangan memuji Naura seperti tadi.
Dafa lebih suka memperbaiki rambut Naura yang berantakan karena tertiup, atau mengelap es krim di bibir wanita itu, dari pada mengatakan hal-hal seperti tadi. Ia juga lebih senang menatap wajah Naura dengan tatapan kagum, dari pada mengatakan perasaannya secara terang-terangan.

Jika disuruh memilih untuk memuji orang lain di depan orang itu atau menerobos hujan hanya untuk mengantarkan satu kantong berisi pembalut dan cokelat batang, jelas Dafa akan memilih pilihan kedua karena itu yang pernah ia lakukan dulu untuk Naura.  Namun, kali ini Dafa harus mengungkapkan apa yang ia rasakan. Mungkin, untuk pertama dan terakhir kalinya.

Saat sedang sibuk bernostalgia dalam pikiran masing-masing, kehadiran Damar membuat keduanya langsung melepas tautan tangan mereka. Dafa dan Naura sama-sama tahu, apa yang mereka lakukan bukanlah sesuatu yang baik.

“Kalian sudah dari tadi?” tanya Damar dengan penuh senyuman.

“I-iya, Mas,” jawab Naura dengan ragu-ragu.

“Ya udah. Kalian bicara dulu. Tapi jangan lama-lama, ya. Acaranya sebentar lagi mau dimulai.”

Damar mengangguk tersenyum dan memegang tangan Naura, membantu wanita itu turun dari dua anak tangga. Dafa yang melihat tangan yang tadi ia genggam kini berada di genggaman kakaknya, membuat perasaan cemburu tidak bisa dihindari.

Dafa kembali masuk ke dalam rumah dan memilih bergabung dengan tamu-tamu lain, meskipun tidak satu pun yang peduli dengan kehadirannya di situ termasuk kedua orang tuanya yang saat ini sedang sibuk berbincang hangat dengan tamu undangan.

“Mas mau ngomong apa? Tadi Mama bilang jangan lama-lama.”

Damar tersenyum dan hanya menatap wajah Naura. Sama seperti Dafa, ia juga terpesona dengan kecantikan wanita di hadapannya saat ini.

“Mas?”

“Kamu cantik banget hari ini. Mas sampai lupa mau ngomong apa tadi.”

Naura memasang wajah cemberut dan mencubit kecil perut Damar. “Apaan, sih ...”

“Mas boleh peluk sebentar?”

“Hah?”

Damar langsung memeluk Naura dengan erat. Menghirup aroma tubuh wanita yang sangat ia cintai dan sebentar lagi akan mengikat janji sebelum menikah nanti.

“Naura, Mas ingin kamu seutuhnya. Mas ingin, sebelum pertukaran cincin nanti, kamu benar-benar yakin sama Mas.”

Naura melepas pelukan Damar dan tersenyum. Ia mengelus lembut pipi Damar dan memperbaiki tatanan rambut pemuda itu.

Setelah memastikan semuanya kembali rapi, Naura tersenyum dan berkata, “Kita sudah sejauh ini, Mas. Aku nggak mungkin mundur saat perjalanan kita hampir sampai. Mas, seperti apa yang pernah aku bilang dulu, kamu itu obat untuk masa laluku.”

Damar mengambil tangan Naura. “Kamu belum pernah menceritakan tentang masa lalu yang kamu maksud. Mas selalu menunggu, dan Mas nggak pernah maksa kamu. Tapi, apa kamu bisa cerita sama Mas sekarang?”

Saat Naura ingin menjawab, kedatangan ibunya membuat keduanya harus mengakhiri pertemuan itu. Acara sebentar lagi akan dimulai, dan Naura harus kembali ke kamarnya lagi.

“Nanti aku jelaskan, ya,” ucap Naura sebelum ia kembali.

Damar hanya tersenyum dan ikut masuk ke dalam rumah. Ia di arahkan oleh seorang pemuda dari pihak keluarga Naura untuk berdiri di sebuah tempat yang akan menjadi saksi pertukaran cincin keduanya.

Dari kejauhan, Dafa hanya bisa tersenyum melihat
Damar yang tampak sangat gugup. Damar melihat ke arah Dafa dan keduanya sama-sama tersenyum. Senyuman Dafa, membuat rasa gugup Damar semakin berkurang.

Setelah sambutan-sambutan acara yang berlangsung beberapa menit, akhirnya tibalah pada sesi yang paling ditunggu-tunggu. Dengan iringan lagu Akad yang berjudul Payung teduh, Naura berjalan dengan anggun keluar dari kamarnya dengan didampingi ibunya.

Semua tamu undangan tersenyum penuh bahagia, kecuali Dafa. Ibu Naura dan Damar berdiri di sisi anak mereka masing-masing. Sesi tukar cincin yang sudah ditunggu-tunggu, akhirnya dimulai. Damar memasangkan cincin pada jari manis Naura yang diiringi tepuk tangan dan seruan tamu undangan.

Namun, saat Naura akan memasangkan cincin di jari manis Damar, tiba-tiba saja cincin itu jatuh dan menggelinding sampai tepat di depan Dafa yang dari tadi hanya duduk menatap keduanya dari kejauhan.
Semua orang yang hadir menatap ke arah Dafa. Termasuk Naura, ia benar-benar tidak bisa menghindar ketika pandangan mata mereka bertemu.

Dafa mengambil cincin yang jatuh dan berjalan mendekat ke arah Damar dan Naura.
Dafa menyerahkan cincin pada Naura dan berbisik, “kalau jatuh lagi, jangan salahkan aku kalau cincin ini tidak akan jadi milik Kak Damar.”

Dafa tersenyum pada Naura yang sangat terkejut dengan ucapannya. Ia berjalan keluar, dan membiarkan acara itu berlangsung tanpa kehadirannya.

To be continue...

☆☆☆

Terima kasih sudah membaca 🙏
Sampai ketemu lagi 👋

☆☆☆

Baris-BergarisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang