-15-

12 2 8
                                    

Sebaik apapun Damar menyembunyikan perasaannya, nyatanya ia hanya seorang manusia yang juga memiliki emosi. Ia ingin sekali mengekspresikan rasa marah pada Dafa yang hanya menunduk menunggu Damar berbicara. Seperti permintaan Damar sebelumnya yang ingin berbicara empat mata dengan Dafa di roof top.

Sejak pertama kali menjadi dokter, tempat favorit Damar adalah roof top. Pemandangan Jakarta yang sangat indah, memberikan rasa tenang dan nyaman untuknya. Ketika merasa lelah dengan pekerjaan, Damar selalu naik ke roof top sendirian sekadar menghabiskan satu gelas hot americano.

“Kak—“

“Lucu, ya,” ucap Damar tersenyum tanpa mengalihkan pandangannya dari pemandangan kota Jakarta.

“Hidup ini kayak rumah-rumah yang kita lihat di sana.”

Dafa mengikuti pandangan Damar dan mendengar ucapan kakaknya. Dafa sangat sadar, saat ii Damar sedang berusaha menenangkan diri.

“Saat kita melihat rumah-rumah itu dari jarak sejauh dan setinggi ini, semuanya tampak indah. Apalagi, kalau malam. Rumah-rumah itu hampir mirip dengan bintang.  Tapi, ketika kita mendekat, kita tau ternyata semuanya tidak seindah ketika kita lihat dari jauh.”

Damar menatap Dafa. “Sama seperti yang kubayangkan bersama Naura. Saat aku lihat dari jarak yang jauh, aku hanya bisa bayangin hal-hal yang indah. Tapi, saat aku coba untuk kenal dia lebih dalam, ternyata semua bayangan indah itu hancur berantakan.”

Damar tertawa, tetapi Dafa bisa merasakan sakit dibalik tawa pemuda itu. “Aku nggak tau, Daf. Aku bingung. Apa aku harus tutup mata dan bersikap seolah-olah nggak tau apa-apa, atau harus lepasin dia?”

Dafa menunduk. Ia benar-benar tidak sanggup menatap mata Damar yang air matanya sudah menggenang. Baru kali ini, Dafa melihat Damar menangis di depannya setelah sekian lama. Hal itu membuat Dafa semakin merasa bersalah.

“Daf, kalau kamu jadi aku, kira-kira kamu bakalan kayak gimana?” tanya Damar sambil menghapus satu tetes air mata yang berhasil lolos membasahi pipinya.

“Daf, kamu masih ingat waktu aku bilang, bakal kasih semua sama kamu?”

Dafa mengangguk. Jelas saja, ia masih sangat ingat janji Damar yang saat itu diucapkan dengan mata berbinar.

Damar tertawa dengan air mata yang lebih banyak membasahi pipinya. Tawa yang jelas bukan tawa bahagia, melainkan tawa atas kebodohan diri sendiri yang tidak tahu harus berbuat.

“Daf, kalau aku nggak nepatin janji itu, apa nggak pa-pa? Aku nggak bisa, Daf. Aku nggak bisa lepasin Naura.”

Dafa mendekat ke arah Damar dan memeluk kakaknya. “Aku nggak akan ambil dia dari kamu, Kak. Tapi, tolong ijinin aku, sehari aja untuk bicara sama Naura. Aku ingin menyelesaikan masa lalu kita, Kak.”

Damar hanya diam. Ia tidak yakin dengan ucapan Dafa. Apakah masa lalu yang tertulis dengan indah dan menjadi kenangan yang membuatnya selalu cemburu pada seseorang dari masa Naura, akan bisa selesai hanya satu hari saja?

Dafa melepas pelukannya. “Kak, kamu percaya, kan? Aku nggak mungkin, merebut sesuatu yang sudah jadi milikmu. Walaupun aku ingin, aku tetap nggak bisa. Berapa kali, aku coba hidup menjadi kamu, tapi semua orang tahu Kak .. aku nggak akan bisa jadi Damar yang selalu spesial di mata semua orang.”

Damar yang mendengar ucapan Dafa kembali menatap mata pemuda itu. Ia melihat keseriusan dari sorot matanya.

“Daf, mungkin kali ini kamu akan menang,” ucap Damar tersenyum.

“Maksud kamu?”

“Bukankah janji harus selalu ditepati? Kamu pernah bilang, pecundang sebenarnya adalah mereka yang sanggup berjanji, tetapi tidak bisa menepati.”

Baris-BergarisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang