-09-

11 3 13
                                    

Ikhlas bukan perkara yang mudah. Terdengar sederhana, tetapi tidak semua orang bisa melakukannya. Begitu pun dengan Dafa. Sebesar apapun ia berusaha untuk bersikap biasa saja di depan kakaknya, pada kenyataannya Dafa sulit menghilangkan bayangan Naura.

Dafa memilih menghindari Damar. Ia lebih sering keluar rumah dan memilih untuk menyelesaikan pekerjaannya di kafe atau taman dekat rumah. Dafa hanya akan pulang ketika Damar sedang piket di rumah sakit.

Hal itu membuat Damar merasa ada yang aneh dengan perubahan sikap Dafa. Suatu malam, ia sengaja menukar shift dengan temannya untuk membicarakan sikap Dafa akhir-akhir ini.

Damar sengaja menunggu kepulangan Dafa di ruang tamu sambil membaca beberapa artikel terkait kesehatan. Berulang kali, pemuda itu menaik turunkan kaca mata karena merasa gelisah.

Waktu sudah menunjukkan hampir tengah malam, tetapi belum terlihat tanda-tanda kepulangan adiknya. Damar memutuskan untuk menghubungi Dafa. Panggilan tersambung, tetapi Dafa sengaja mematikannya.

Saat ingin mengirimkan pesan, Mama yang berencana ke dapur dan melihat Damar, menyapanya.

“Dam, kok, belum tidur? Kamu nggak capek? Besok, kan, harus masuk pagi lagi. Lebih baik istirahat sekarang, Nak.”

“Aku lagi nungguin Dafa, Ma. Ada hal yang ingin aku tanyakan.”

Mama menaikkan alisnya. “Biarin aja anak itu. Dia emang nggak pernah berubah. Dari kecil, selalu saja bertingkah, nggak pernah dengar apa kata orang tua.”

Damar hanya menghela napas. Ia paling tidak suka mendengar kedua orang tuanya menjelek-jelekkan Dafa, tetapi saat ini Damar sedang tidak ingin berdebat.

“Ya sudah. Kalau dia pulang, bilang Mama mau bicara besok. Jangan suruh ke mana-mana anak itu. Awas aja kalau dia nggak nurut.”

Damar hanya mengangguk dan membiarkan Mama melanjutkan langkahnya ke dapur. Damar kembali mengetikkan pesan untuk Dafa.

“Dafa, aku mau bicara penting sama kamu. Aku tunggu sampai kamu pulang.”

Beberapa menit kemudian, Dafa membalas pesannya. “Aku nggak pulang malam ini. Jangan tungguin aku.”

Damar yang membaca pesan itu, langsung menghubungi nomor Dafa lagi. Namun, pemilik nomor sengaja mematikan ponselnya.

Berbeda dengan Damar yang menunggu dengan cemas, di sisi lain Dafa sedang berdiri di depan sebuah rumah berlantai dua. Sudah hampir tiga puluh menit ia menunggu di sana.

Dafa enggan mengalihkan pandangannya dari satu-satunya ruangan yang lampunya masih menyala. Itu adalah kamar Naura. Entah hal apa yang membuat langkah Damar berakhir di tempat ini.

Dafa memang bukan anak yang baik, tetapi ia juga masih tahu diri untuk tidak merebut milik kakaknya. Namun, kali ini Dafa merasa sangat sulit. Rasa bersalah sekaligus cinta yang masih belum usai, membuatnya ingin berjuang.

Akan tetapi, Dafa bingung harus mulai dari mana. Apa mungkin, ia masih bisa mendapat kesempatan untuk memperbaiki kesalahan pada Naura? Bukan sebagai dua orang yang bertemu sebagai keluarga, melainkan sebagai pasangan yang saling cinta.

Damar yang kehilangan kesadaran diri karena mabuk, berjalan ke arah pagar dan berteriak memanggil nama Naura.

“Naura! Ini aku, Dafa. Aku mau bicara.”

Naura yang sedang sibuk dengan naskah barunya, langsung menghentikan aktivitas dan berjalan ke arah jendela. Ia sangat terkejut ketika membuka gorden dan melihat keberadaan Dafa.

“Astaga, ngapain dia ke sini.”

Untung saja, kedua orang tua Naura sedang tidak berada di rumah. Mereka mengunjungi nenek Naura yang sedang sakit di Jogja.

Baris-BergarisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang