-19-

10 2 1
                                    

Pada dasarnya, semua cerita yang ada di dunia akan berakhir menyedihkan. Sebesar apapun usaha kita untuk mengukir cerita bahagia, ujung-ujungnya akan berakhir dengan perpisahan. Perpisahan yang tidak pernah diduda waktu datangnya, serta alasan perpisahan itu ada. Namun, satu hal yang pasti. Semua kita akan berakhir sendiri.

Dafa menatap nanar batu nisan yang bertuliskan nama Damar. Ia tidak menyangka, kakaknya akan pergi secepat ini. Dafa tidak lagi bisa menitikkan air mata.  Jangankan menangis, untuk mengucapkan satu kata saja, ia tidak sanggup.

Terlalu banyak penyesalan yang Dafa rasakan sampai dadanya sesak luar biasa. Tidak hanya itu, semua fokusnya tersita pada pikiran tentang kematian Damar sampai tidak menyadari rintik hujan mulai turun.

“Dafa ...” lirih Naura yang dari tadi berdiri di samping Dafa dan memayungi pemuda itu dengan payung yang pernah Damar berikan untuknya.

Dafa tidak menjawab. Ia enggan berpaling untuk melihat Naura. Dafa merasa berdosa karena masih mencintai wanita yang sudah menjadi milik kakak kandungnya sendiri. Meskipun sebenarnya ia kecewa luar biasa pada Naura yang tega berbohong tentang kematian Dafa, tetapi kekecewaan yang Dafa rasakan terhadap dirinya sendiri jauh lebih besar.

“Daf, kita neduh dulu, yuk. Kamu baru sembuh, nanti kalau sakit lagi gimana?” ujar Naura sambil menunduk dan memegang pundak Dafa.

Dafa sama sekali tidak bergerak. Ia tidak ingin beranjak sebelum perasaannya benar-benar baik.

“Daf, aku yakin pasti Mas Damar akan sedih kalau lihat kamu begini.”

Dafa tertawa kecil mendengar ucapan Naura. “Apa kamu segampang itu lupain kakakku?” tanya Damar.
Naura hanya menghela napas dan mengeluarkan buku diary miliknya dari dalam tas. Wanita itu membuka lembar demi lembar sampai berada di pertengahan buku dan mengeluarkan sebuah amplop cokelat.

“Kamu baca ini.”

Dafa mendongak. “Apa ini?”

“Ini pesan dari Mas Damar untuk kita. Aku belum baca sama sekali.”

Dengan tangan bergetar, Dafa mengambil amplop tersebut. Tertulis, “untuk adik yang paling kusayangi dan wanita yang kucintai.”

Rasa sesak dalam dada Dafa semakin terasa. Kali ini, air matanya mengucur begitu deras sama halnya seperti tetesan hujan yang semakin deras.

“Kita neduh dulu sambil baca itu. Ayo,” ajak Naura sambil membantu Dafa berdiri.

Keduanya berjalan dengan langkah posisi berdampingan. Tangan Dafa dan Naura saling bergesek karena jarak yang begitu dekat. Namun, baik Dafa maupun Naura sama-sama tidak ingin bergandengan. Mereka terlalu malu untuk melakukan itu.

“Kita neduh di sana,” ujar Naura sambil menunjuk sebuah toko kecil di seberang jalan yang sedang tutup.

Ada dua buah kursi  besi yang di letakkan saling berhadapan, tetapi dibatasi meja bundar berukuran kecil. Tempat yang sangat cocok untuk berteduh sekalian membahas tentang rencana mereka ke depannya.

Tanpa sadar, Naura menarik tangan Dafa untuk segera menyeberang. Namun, tiba-tiba sebuah motor melaju dengan kencang yang hampir saja menyenggol tubuh Naura jika Dafa tidak segera menariknya.

“Kamu itu apa-apaan? Kalau mau nyusulin Kak Damar, jangan di depan mataku!” teriak Dafa.

Naura hanya diam dengan tubuh yang gemetar. Di sini, bukan hanya Dafa yang trauma, Naura juga. Bukan hanya Dafa yang takut kehilangan, Naura juga. Namun, wanita itu tidak bisa menyuarakan ketakutannya. Ia hanya diam mematung ketika Dafa dengan kasar menarik tangannya.

“Sakit, Daf,” jerit Naura tetapi Dafa seolah tuli dan tidak peduli.

Dafa baru melepas tangan Naura ketika mereka sudah tiba di seberang jalan. Dafa yang masih tersulut emosi karena kejadian tadi, hanya bisa diam melihat Naura. Karena merasa bersalah, Dafa mengeluarkan jaket jinnya dan memakaikan pada Naura yang diam seperti patung.

“Dingin, kan? Baju kamu juga basah,” ucap Dafa tanpa menatap Naura yang menatapnya dengan perasaan heran.

Satu hal yang Naura sulit lupakan dari Dafa. Perlakuan Dafa yang sulit ditebak seperti saat ini. Belum sampai satu jam ia berteriak di depan Naura yang hampir tertabrak, tetapi sekarang pemuda itu begitu perhatian.

“Ayo,” ajak Dafa sambil menarik tangan Naura dan mendudukkannya di salah satu kursi. Barulah setelah memastikan Naura sudah ada dalam posisi nyaman, Dafa duduk di kursi satunya.

“Mana suratnya?”

Naura langsung tersadar dan mengeluarkan kembali surat tadi. “Astaga, suratnya basah setengah.”

“Nggak pa-pa, yang penting masih bisa dibaca.”

Damar mendekatkan tubuhnya ketika Naura membuka surat itu di atas meja. Untung saja, tulisan dalam kertas masih bisa terbaca dengan jelas.

“Hai Dafa, adikku yang luar biasa nakalnya.”

Dafa tersenyum membaca kalimat pembuka itu. Baru kali ini, Damar memanggilnya dengan sebutan nakal. Meskipun, andaikan Damar memanggilnya seperti itu saat masih hidup, Dafa tidak akan keberatan sama sekali. 

“Hai juga, Naura. Wanita cantik yang Mas temui dengan ribuan luka yang berusaha ingin Mas sembuhkan.”

Berbeda dengan Dafa, Naura justru tidak bisa menahan air matanya. Sapaan yang sangat jelas memberikan sayatan dihati wanita itu, membuatnya tidak lagi bisa berpura-pura.

“Ada banyak hal yang ingin aku katakan pada kalian berdua.

Aku tidak tau, kenapa rasanya aku akan pergi jauh? Rasanya, kalau aku tidak menulis surat ini, kalian tidak akan bisa memahami perasaanku.

Dafa, adikku yang paling kusayangi. Entah sudah berapa kali aku mengatakan, ‘aku akan memberikan apapun untukmu’. Apapun yang berarti semuanya, termasuk hidupku.”

Di bait ini, Dafa tidak bisa lagi menahan air matanya. Sama seperti Naura, Dafa menangis sejadi-jadinya. Naura yang melihat hal itu, memegang tangan Dafa untuk menguatkan. Meskipun sebenarnya ia juga butuh untuk dikuatkan.

“Saat Mama bilang aku akan punya adik, jujur saja aku membenci hal itu. Namun, kebencian itu sirna ketika tangan mungilmu menggenggam telunjukku. Kamu tersenyum dengan mata yang berbinar. Sejak saat itu, aku berharap kita bisa tumbuh bersama.”

Dafa mengangguk dan tersenyum. Ia menghapus air matanya dan membaca bait selanjutnya yang hampir semuanya tentang Naura.

“Naura, satu-satunya wanita yang berhasil membuat Mas jatuh cinta. Ketika mas pertama kali melihatmu, hanya ada perasaan kasihan yang Mas rasakan. Namun, seiring bertambahnya waktu, Mas ingin menjagamu dan menjadi obat dari luka yang Mas sendiri tidak tahu karena apa."

Kali ini, Naura yang merasakan penyesalan luar biasa. Banyak kata andai yang ingin sekali diutarakan, tetapi ia sadar itu semua percuma.

“Naura, kalau saja Mas tau lebih awal kalau luka dan obatmu adalah Dafa, mungkin Mas tidak akan mencintaimu sedalam ini. Mas akan rela melepasmu dan membiarkan kalian berdua bahagia. Namun, ternyata Mas menggenggammu terlalu erat sampai tanpa sadar membuatmu tercekik. Mas minta maaf, ya, sayang. Mas minta maaf karena sudah mencintaimu sangat dalam dan tidak peduli dengan perasaanmu.”

Naura menutup mulut dengan salah satu tangannya. Sementara tangan yang satunya, masih berada dalam genggaman Dafa yang diletakkan di atas meja tepat di hadapan surat dari Damar.

"Kalian tidak usah merasa bersalah sama Mas. Mas berharap, kalian berdua bisa hidup bahagia. Satu yang Mas inginkan, kalian harus saling terbuka terhadap apapun itu. Jangan biarkan masa lalu yang menyakitkan, membuat kalian susah melangkah. Tolong, jaga buah hati yang menjadi tali dalam hubungan kalian.”

Ketika membaca kata ‘buah hati’ Dafa dan Naura saling berpandangan. Naura masih memiliki tugas lain yaitu menjelaskan semuanya pada Dafa tentang ‘buah hati’ yang dimaksud Damar dalam surat ini.

To be continue...

☆☆☆

Terima kasih sudah membaca 🙏
Sampai ketemu lagi👋

☆☆☆

Baris-BergarisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang