-18-

11 1 0
                                    

Kepergian Damar memberikan pukulan besar bagi semua orang termasuk bagi Dafa yang baru sadar dari komanya. Sebesar apapun usaha Naura untuk menyembunyikan fakta bahwa Damar telah tiada, pada akhirnya Dafa akan tahu juga.

Naura yang baru saja kembali dari toilet, sangat terkejut dengan keberadaan Mama Dafa. Wanita paruh baya itu menangis di hadapan Dafa yang hanya menatap dengan tatapan kosong.

“T-tante ...” lirih Naura.

“Naura, kamu kenapa nggak kasih tau Tante kalau Dafa sudah sadar, Nak?”

“I-itu ...”

“Naura nggak salah, Mas. Aku yang minta dia jangan kasih tau siapa-siapa dulu.”

Mama Dafa mengangguk dan kembali menatap Dafa dengan tatapan penuh kesedihan. Satu hal yang Naura tidak paham dari situasi ini. Mengapa selama Dafa koma orang tuanya seolah tidak peduli?

Setelah meletakkan di atas nakas, Naura duduk di kursi sofa yang disediakan khusus di ruangan VIP. Ia semakin penasaran dengan sikap Mama Dafa yang berubah perhatian. Mama Dafa mengambilkan bubur rumah sakit dan menyuapi putra keduanya itu.

Beberapa saat kemudian, seseorang mengetuk pintu ruangan Dafa. Dua orang petugas kepolisian meminta izin untuk berbicara dengan Dafa. Naura langsung berdiri untuk mencegah mereka karena keadaan Dafa yang belum sembuh sepenuhnya.

“Nggak pa-pa, Nak. Petugas cuma mau minta keterangan Dafa. Ayo keluar.”

Naura tidak bisa berbuat apa-apa ketika Mama Dafa menarik tangannya keluar ruangan. Biar bagaimanapun, Mama Dafa adalah wali yang sah.

“Kamu nggak usah khawatir. Dafa nggak akan kenapa-kenapa,” ujar Mama Dafa yang duduk di ruang tunggu, agar Naura bisa tenang karena sejak tadi bolak-balik di depan pintu ruangan Dafa.

“Tapi Tante, kenapa juga polisi datang ke sin?”

“Ya, mungkin polisi mau minta keterangan dari Dafa soal kecelakaan itu. Apalagi, kecelakaan yang mereka alami termasuk kecelakaan besar.”

Naura tetap saja tidak bisa bersikap tenang. Kekhawatirannya bertambah ketika Dafa tiba-tiba membuang makanan yang ada di hadapannya.

“Dafa!” pekik Naura yang membuat Mama Dafa berdiri karena kaget.

Naura tidak lagi peduli ketika Mama Dafa mencoba menahannya. Ia masuk ke dalam ruangan.

“Kalian ini apa-apaan? Gimana kalau terjadi sesuatu sama Dafa?”

“Mohon maaf Mbak. Kami  ke sini hanya ingin meminta penjelasan dari korban. Ada hal yang perlu kami konfirmasi terkait kecelakaan yang terjadi.”

“Iya, tapi seharusnya itu bisa dilakukan nanti!”

Naura langsung mendekat ke arah Dafa ketika melihat pemuda itu memegang dadanya dan memperlihatkan raut wajah kesakitan.

“Kamu nggak pa-pa?”

Dafa tidak menjawab. Ia benar-benar terpukul dengan perkataan petugas polisi yang memberi tahu bahwa Damar meninggal dunia karena kecelakaan itu.

“Kenapa kamu nggak kasih tau aku? Kenapa?!”

Suara Dafa meninggi yang membuat semua orang di dalam ruangan hanya bisa terdiam. Termasuk mamanya sendiri.

“Harusnya kalian kasih tau aku ...” ucap Dafa lirih.
Naura tidak bisa menahan air matanya. Ia memang sengaja menyembunyikan fakta kematian Damar dan mengatakan pada Dafa kalau Damar sedang dirawat di ruangan lain. Naura berencana akan mengatakan yang sebenarnya ketika Dafa sudah cukup kuat mendengarkan hal itu.

“Pergi semuanya! Aku mau sendiri.”

“Tapi, Daf, kamu—“

“Pergi!”

Mama Dafa langsung keluar dari ruangan Dafa yang disusul Naura dan petugas polisi. Mereka membiarkan Dafa yang masih membutuhkan waktu untuk menerima kenyataan yang ada.

“Kami mohon maaf yang sebesar-besarnya karena membuat keributan seperti ini, Bu,” ucap petugas polisi yang hanya mendapat anggukan dari Mama Dafa.

Petugas polisi pamit dan meninggalkan kedua wanita yang berusaha menguatkan diri mereka. Baik Naura maupun Mama Dafa, masih sama-sama terluka. Meski kesal dengan Mama Dafa yang membiarkan petugas polisi itu menemui Dafa, tetapi ia juga tidak tega ketika melihat wanita paruh baya di sampingnya menangis tersedu-sedu.

Naura memeluk Mama Dafa untuk menenangkannya. Barulah ketika merasa wanita itu cukup tenang, Naura melepas pelukannya dan membuka pembicaraan.

“Tante, Naura bisa tanya sesuatu?”

“Silakan. Mau tanya apa, Nak?”

“Sebelumnya, Naura minta maaf kalau pertanyaan ini menyinggung tante. Tapi, Naura penasaran kenapa Tante baru jengukin Dafa sekarang? Kenapa nggak dari kemarin-kemarin?”

Mama Dafa mengalihkan pandangan ke depan, menatap dinding rumah sakit yang berwarna putih. Ia berusaha tersenyum, meskipun akhirnya gagal.

“Saat Tante lihat Dafa terbaring koma, Tante selalu ingat Damar.”

“Tapi, Tan. Harusnya Tante bisa ada di samping Dafa. Kadang Naura curiga, apa Dafa anak kandung Tante? Yang Naura lihat, sikap Tante dan Om sama Mas Damar dan Dafa beda banget.”

Mama Dafa menatap Naura dan tersenyum. “Itu adalah alasan kenapa Tante malu nemuin Dafa, Nak. Tante malu sama Dafa.”

“Malu kenapa? Dafa pasti senang kalau dia tau orang tuanya perhatian sama dia. Naura kadang nggak sengaja lihat Dafa yang diam-diam perhatiin Tante dan Damar.”

“Dulu waktu Damar lahir, Tante sama Om sepakat nggak akan lagi punya anak. Kami akan fokus mengurus Damar. Tapi Tuhan berkehendak lain. Dua tahun kemudian, Tante hamil lagi. Sayangnya, saat itu ekonomi kami lagi nggak baik. Tante sempat mau gugurin Dafa, tapi anak itu bertahan.”

“Jadi aku anak yang nggak pernah kalian harapkan?!”

Naura dan Mama Dafa terkejut ketika Dafa tiba-tiba keluar dari ruangan dengan membawa infusnya.

“Dafa, kamu ngapain keluar? Ayo masuk lagi,” titah Naura, tetapi Damar langsung menepis tangannya.

“Ma, pantas, ya, selama ini kalian nggak pernah anggap aku ada. Pantas, selama ini kalian lebih sayang sama Kak Damar. Ternyata, aku anak yang nggak pernah kalian harapkan.”

“Maafin Mama Dafa, maafin Mama. Mama baru sadar, selama ini Mama yang salah. Harusnya Mama nggak membeda-bedakan kamu dan Damar.”

Damar tersenyum pilu. “Mama ternyata baru sadar saat Kak Damar udah nggak ada. Selama ini ke mana aja? Oh ... aku tau. Apa jangan-jangan Mama mau jadiin aku boneka kayak Kak Damar yang selalu nurutin semua mau kalian?”

“Dafa!”

Suara Naura meninggi. Ia memang marah dan kecewa dengan alasan tidak masuk akal yang Mama Dafa berikan. Namun, sebagai anak yang dididik untuk hormat dan patuh pada orang tua, Naura juga tidak bisa membenarkan alasan apapun yang membuat Damar membentak orang tua apalagi mamanya.

“Kamu juga. Semua ini karena kamu Naura. Andai waktu itu kak Damar nggak tau soal buku kamu, nggak akan ada kejadian seperti ini.”

Mama Dafa yang mendengar hal itu, langsung menatap Naura. “Maksudnya Dafa apa, Naura?”
Naura hanya diam. Ia tidak tahu harus menjawab apa.  Perkataan Dafa ada benarnya. Naura juga turut andil dalam kematian Damar. Namun, bagaimana bisa ia melupakan hal itu dan malah duduk di samping Dafa selama berhari-hari?

“Naura, Dafa. Maksud kalian apa?”

Dafa kembali masuk ke dalam ruangannya, meninggalkan Naura dan mamanya yang masih belum paham dengan maksud perkataan Dafa tadi. Mama Dafa duduk di samping Naura dan memohon penjelasan dari wanita muda yang hampir menjadi menantunya.

To be continue...

☆☆☆

Terima kasih sudah membaca 🙏
Sampai ketemu lagi👋

☆☆☆

Baris-BergarisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang