-07-

12 1 9
                                    

Hampir tiga puluh menit, Dafa bergerak ke sana kemari untuk mencari posisi ternyaman. Ia melihat jam beker di atas meja yang sudah menunjukkan pukul tiga pagi. Namun, Dafa sama sekali tidak merasakan kantuk. Padahal, sejak pagi ia sama sekali belum minum kopi.

Percakapannya dan Naura tadi, membuat Dafa mengalami jalan buntu. Di sisi lain, ia tidak ingin mengganggu hubungan antara Naura dan kakaknya. Namun, ia juga tidak bisa membohongi diri sendiri jika sebenarnya Dafa masih cinta. 

Dafa memutuskan untuk bangkit dan keluar kamar. Makan mi di malam hari, memang pilihan yang tepat untuk menuntaskan rasa lapar dan mengalihkan pikiran yang sedang berantakan.

Saat hendak melangkah ke anak tangga terakhir, Dafa tidak sengaja mendengarkan percakapan kakaknya dengan seseorang melalui telepon. Jarak antara tangga dan ruang keluarga memang tidak begitu jauh, sehingga Dafa bisa mendengar secara jelas apa yang Damar bicarakan.

“Iya, Sayang. Nanti Mas jemput kamu, ya. Dandan yang cantik, oke?”

Dafa tersenyum kecut. Ia tahu, pasti yang sedang berbicara dengan kakaknya adalah Naura. Dafa menertawakan diri sendiri yang kembali menaruh hati pada wanita yang sudah menjadi milik orang lain. Apalagi, pemilik itu adalah kakaknya sendiri.

Namun, yang membuat ia merasa lebih lucu lagi adalah Naura yang bisa-bisanya menghadapi Damar dengan tenang setelah pertemuan mereka yang baru berakhir beberapa jam lalu.

Bagaimana bisa, seorang wanita yang tadi mengatakan masih mencintainya, kini berbicara begitu mesra dengan orang lain? Dafa tidak tahu, mana yang benar.

Apakah ucapan Naura tadi, atau pembicaraan yang sedang didengarkannya saat ini?
Saat Dafa hendak melanjutkan langkahnya, Damar berbalik dan sedikit terkejut melihat keberadaan adiknya.

“Daf, belum tidur?”

Dafa menjawab dengan nada ketus. “Belum ngantuk.”

“Mau aku buatkan mi rebus?”

“Nggak usah. Aku bisa buat sendiri. Aku ngga mau ganggu orang yang sedang pacaran.” Dafa menekankan kata pacaran, dengan harapan orang yang di seberang telepon bisa mendengarnya.
Damar tersenyum dan berdiri. Ia mendekat ke arah Dafa dan merangkul adiknya.

“Sayang, sepertinya ada yang cemburu, nih, gara-gara kakaknya mau nikah. Nanti nggak ada lagi yang jagain dia,” goda Damar sambil tersenyum.

Dari seberang telepon, Naura langsung terdiam ketika mendengar ucapan Damar. Ia merasa bersalah dengan keduanya. Di satu sisi, Naura masih mencintai Dafa. Sementara di sisi lain, ia tidak bisa membohongi jika Damar adalah lelaki baik yang sangat layak untuk dicintai dengan sempurna. Namun, bagaimana caranya? Cinta Naura untuk Damar sudah cacat sejak awal.

“Ish .. apaan, sih.” Dafa melepas tangan Damar dan meninggalkan kakaknya yang hanya menanggapi dengan tertawa.

Beberapa menit kemudian, Damar datang dengan wajah ceria seperti biasa. Kadang, Dafa selalu bertanya-tanya dalam hati, mengapa kakaknya ini tidak pernah terlihat lelah. Damar selalu pulang di atas jam dua belas sejak dua bulan belakangan. Sampai di rumah, biasanya pemuda itu masih harus bersih-bersih dan tidak jarang Dafa dapati sedang belajar sesuatu di ruang keluarga.

Damar juga tidak pernah terlambat untuk berangkat kerja pukul delapan pagi, padahal Dafa sangat yakin jika ia yang melakukan itu, pasti akan sangat mengantuk. Namun, inilah perbedaan keduanya. Damar selalu pada sisi yang mengagumkan, sementara ia berada di sisi sebaliknya.

“Kamu kenapa belum tidur?” tanya Damar sambil mengambil dua bungkus mi dari dalam lemari.

“Belum ngantuk. Sini, biar aku aja yang masak.”

Dafa ingin mengambil dua bungkus mi, tetapi Dafa langsung menjauhkannya. “Biar aku aja. Kamu nggak ingat waktu kamu masak mi terakhir pas malam-malam?”

Benar juga, kejadian terakhir seharusnya membuat Dafa tidak lagi memasak mi di malam hari. Saat itu, Dafa sangat mengantuk, tetapi ia masih harus melanjutkan pekerjaan. Perutnya lapar, membuat Dafa mau tidak mau harus turun ke dapur mencari makanan. Ia menyalakan kompor dan tidak sengaja ketiduran saat menunggu rebusan air.

Karena terlalu lama dipanaskan, air dalam panci mengering yang membuat api membesar. Untung saja, saat itu Damar yang baru pulang kerja langsung memadamkannya. Sampai saat ini, hal itu menjadi rahasia di antara merek berdua yang disembunyikan dari Mama. Kalau tidak, mungkin saja itu akan menjadi masalah besar karena Dafa yang melakukannya.

“Gimana hubungan kamu sama Naura? Kapan nikahnya?”

“Minggu depan lamaran,” jawab Damar sambil menuangkan bumbu mi ke dalam mangkuk yang Dafa siapkan.

“Minggu depan? Apa nggak terlalu cepat?”

“Ya, nggak, lah. Kita udah pacaran satu tahun lebih, dan aku udah yakin sama Naura. Justru, aku merasa ini terlalu terlambat. Kalau aja dulu Naura udah mau, pasti kita udah nikah dari lama.”

“Emang dulu kenapa?”

Dafa sangat penasaran dengan hubungan kakaknya dengan Naura. Jika kemarin-kemarin ia tidak peduli dengan apa yang terjadi, sekarang tidak lagi. Fakta bahwa Naura pergi dari hidupnya secara tiba-tiba karena sebuah alasan yang harus disembunyikan sendirian, membuat Dafa merasa bersalah karena pernah membenci wanita sebaik Naura.

Namun, saat ini ia tidak bisa apa-apa. Ia tidak bisa menyalahkan Naura atas semua yang terjadi. Dafa jelas ikut andil dalam perpisahan hubungan mereka.

Damar menjeda aktivitasnya dan menatap Dafa dengan serius. “Dulu, hanya aku yang jatuh cinta.”

Dari tatapannya, Dafa bisa melihat kesedihan yang Damar rasakan. Namun, pemuda di hadapannya ini sangat andal dalam menyembunyikan kesedihan. Seketika, ekspresi Damar berubah dari sendu menjadi kembali ceria.

“Tapi sekarang tidak lagi,” ucap Damar sambil menuangkan mi dari panci ke dalam mangkok besar dan mencampur agar semua bumbu tercampur sempurna. Seperti biasa, Damar dan Dafa akan makan di mangkuk yang sama.

“Sekarang, Naura sudah percaya padaku. Dia juga sudah bisa membalas perasaan yang hampir dua tahun, bertepuk sebelah tangan ini.”

“Jadi, kamu bertahan sama cewek yang nggak ada perasaan sama kamu? Kok, bisa?”

Damar tersenyum. “Bisa, Daf. Mungkin, karena aku seorang dokter makannya aku berusaha agar Naura bisa sembuh sepenuhnya.”

“Naura sakit?” tanya Dafa panik.

Damar mengangguk. “Naura bukan sakit secara fisik, tapi hatinya yang terluka. Dia pernah kehilangan kepercayaan pada orang lain dan menutup diri dari semua orang.”

“Maksudnya gimana, sih?!”

Dafa merasa kesal dengan ucapan kakaknya yang sulit dipahami. Namun, bukannya menjawab Damar hanya tersenyum dan mengelus lembut kepala Dafa.

“Nanti aku ceritakan. Kita makan aja dulu. Aku nggak mau sedih di depan mi enak ini.”

Dafa hanya bisa menghela napas. Jika sudah seperti ini, Damar pasti tidak akan mengatakan apa-apa lagi.

Keduanya menikmati mi buatan Damar tanpa ada pembicaraan. Masing-masing hanyut dalam pikiran tentang Naura. Jika Dafa memikirkan tentang langkah apa yang seharusnya ia ambil, Damar justru tidak sabar ingin melanjutkan langkah untuk segera menghalalkan wanita satu-satunya yang membuatnya mengenal cinta.

Cinta yang tanpa sadar, hanya sebuah kamuflase dari rasa sakit yang akan datang dikemudian hari. Entah rasa sakit itu akan menjadi milik Damar yang sudah membayangkan masa depan penuh keindahan, atau menjadi milik Dafa yang semakin menggenggam erat masa lalunya.

To be continue...

☆☆☆

Terima kasih sudah membaca 🙏
Sampai ketemu lagi👋

☆☆☆

Baris-BergarisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang