Pada kenyataannya, Dafa tetaplah seorang anak keras kepala dimata semua orang. Jika sebelumnya ada Damar yang selalu membelanya, kali ini berbeda. Damar terlanjur curiga cemburu dengan Dafa.
Terlebih, ketika kecurigaannya diperkuat dengan pertengkaran antara ia dan Naura karena wanita itu lebih memilih untuk melindungi Dafa dan tidak menceritakan pada siapapun tentang alasan ia jatuh pingsan.
Damar menutup mata dan telinga ketika melewati ruang tamu saat kedua orang tuanya menceramahi Dafa habis-habisan. Ia tidak ingin ikut campur karena merasa Dafa berhak mendapatkan itu semua.
“Ma, Pa, Damar berangkat ke rumah sakit,” ucap Damar ketika kembali dari kamarnya dengan pakaian rapi.
Fokus kedua orang tuanya berpindah pada Damar. Papa yang sibuk menceramahi Dafa dengan segala macam nasehat yang entah di dengar atau tidak, seketika tersenyum melihat anak pertamanya. Berbeda dengan Papa, Mama justru mendekat ke arah Damar dan mencoba menahan anaknya itu agar tetap tinggal.
“Nak, kamu, kan, seminggu lagi mau nikah. Apa nggak bisa minta cuti dulu?”
“Nggak bisa, Ma. Damar janji, H-3 acara, Damar ambil cuti.”
“Dam, Papa juga setuju sama Mama. Dari pada kerja, lebih baik kamu istirahat di rumah. Ngecek hal-hal yang mungkin kurang. Atau, kamu temuin Naura, cek kondisinya udah gimana ...”
Dafa yang mendengar nama Naura, seketika mengangkat wajahnya yang sedari tadi menunduk. Dafa dan Damar saling bertatapan. Tatapan yang memberi kesan perlawanan itu, benar-benar berhasil menciptakan konflik batin di antara keduanya.
“Dam, nggak usah berangkat, ya ...” bujuk Mama sambil mengambil tas kerja Damar.
Damar mengalihkan pandangan dari Dafa dan menatap Mama dengan tersenyum. Ia menarik pelan tas kerjanya dan mencium tangan Mama.
“Damar janji, hari ini nggak bakal pulang terlambat.”
Damar berjalan ke arah Papa dan mengulurkan tangan untuk berpamitan. Ia tersenyum sinis ke arah Dafa dan meninggalkan rumah.
Perhatian Mama dan Papa kembali pada Dafa yang memandangi mobil Dafa yang keluar dari halaman rumah. Sampai mobil itu benar-benar hilang dari pandangannya, barulah Dafa berkonsentrasi untuk mendengarkan semua nasehat kedua orang tuanya. Jelas saja, hanya didengarkan tanpa bermaksud untuk ia terapkan.
Setelah merasa kedua orang tuanya sudah terlalu lama memberi nasehat dan kupingnya mulai panas, Dafa berdiri dan tersenyum. Hal itu refleks membuat Papa yang belum selesai dengan rencananya untuk Dafa di masa depan, langsung menghentikan ucapannya.
“Ma, Pa, tadi, kan, Mama sama Papa mau Dafa minta maaf sama Naura, sekarang Dafa mau ke sana. Mau minta maaf.”
Tanpa mendengar persetujuan kedua orang tuanya, Dafa langsung pergi ke kamar untuk mengambil kunci motor dan jaket kulit berwarna cokelat yang ia tergantung di belakang pintu. Setelah menyemprotkan parfum beraroma vanilla, Dafa tersenyum lalu turun ke lantai bawah. Ia mengabaikan ocehan kedua orang tuanya yang meminta Dafa tetap tinggal.
Dafa melajukan motornya membela kemacetan Jakarta sampai akhirnya tiba di depan rumah Naura. Ia mengirimkan pesan pada wanita itu dan menunggu sampai Naura keluar.
Sebenarnya, Naura sedang tidak ingin menemui Dafa. Namun, isi pesan Dafa yang terkesan memberi ancaman akan membuat keributan di depan rumahnya, membuat Naura tidak punya pilihan untuk menemui pemuda itu.
Naura keluar dengan penampilan sangat sederhana tanpa sentuhan riasan sama sekali. Ia yang memang sedang menghabiskan waktu untuk menyelesaikan tulisan baru tentang kisah cintanya dan Damar, sama sekali tidak peduli jika Dafa akan memandangnya aneh.Naura terlalu malas mengganti hoodie cokelat dan celana kulot berwarna senada yang dipadukan dengan sendal kelinci favoritnya. Namun, penampilan itu membuat Naura menyesal karena dengan tanpa memikirkan penampilannya, Dafa tiba-tiba meminta Naura untuk naik ke atas motor. Meskipun sudah berusaha menolak, tetapi Naura tidak punya pilihan ketika Dafa memperlihatkan buku diary.
“Naik, atau nggak aku bakalan ngasih ini ke Kak Damar.” Begitulah ucapan Dafa dengan raut wajah serius sambil menyerahkan helm.
Tanpa tahu akan dibawa ke mana, Naura berusaha bersikap tenang. Namun, ketenangan yang berusaha ia pupuk selama perjalanan, harus sirna ketika Dafa menghentikan motornya di sebuah taman bermain yang sewaktu SMA pernah mereka kunjungi.
“Turun,” ucap Dafa setelah melepas helmnya.”
“Kamu serius? Aku pakai baju kayak gini, loh.”
“Emang kenapa?”
“Ya, tapi—“
“Udah, turun. Kalau nggak—“
Naura langsung turun dan melepas helmnya. Ia benar-benar sangat kesal dengan Dafa, tetapi lebih kesal lagi dengan penampilannya. Harusnya, ia menurut ketika Dafa memintanya untuk bersiap-siap terlebih dahulu sebelum keluar rumah. Minimal, mengganti sendalnya.
Rasa terkejut Naura semakin bertambah ketika Dafa meraih tangannya. Mau tidak mau, ia harus mengikuti pemuda itu.
“Tunggu di sini, aku mau beli tiket. Jangan ke mana-mana, atau—“
“Iya, iya.”
Dafa tersenyum dan meninggalkan Naura sendirian. Saat menunggu Dafa selesai mengantre tiket masuk, ponsel Naura berdering. Panggilan dari Damar. Seketika, wanita itu panik seperti sedang melakukan sesuatu yang sangat jahat. Sampai panggilan berakhir, Naura ragu untuk mengangkatnya.
“Angkat, aja. Lagian, kita lagi nggk selingkuh. Tapi kalau kamu takut, bilang aja datang ke sini sendirian,” ucap Dafa.
Ponsel Naura kembali berdering. Ia akhirnya mengikuti saran dari Damar. Sebelum mengangkat panggilan tersebut, Naura mendorong tubuh Dafa agar menjauh darinya. Dafa hanya tertawa dan mengikuti saran wanita itu.
“Halo, Mas?”
“Halo, kamu di mana? Kok, berisik?”
“Oh, ini .. aku ada di taman bermain. Tadi bosan di rumah, makannya ke sini.”
“Taman bermain? Sama siapa?”
Naura memejam sejenak. “Sendiri, Mas. Cuma bentar, kok.”
“Ehm, begitu. Oh iya, habis pulang kerja, Mas mau bicara sama kamu, ya. Nanti Mas ke rumah. Boleh, kan? Mas mau minta maaf soal yang kemarin-kemarin.”
Naura tersenyum dan menggerak-gerakkan kakinya. “Iya, Mas. Makasih, ya.”
“Ya udah. Kamu nikmatin main-mainnya. Sampai jumpa."
Setelah panggilan terputus, Naura tersenyum menatap layar ponselnya. Ia berharap, pilihannya tidak salah.
“Udah?” tanya Dafa yang sudah berdiri di hadapan Naura.
Seketika, raut wajah Naua berubah menjadi datar. Ia benar-benar tidak bisa membiarkan Dafa terus-menerus hadir dalam kehidupannya.
“Kamu mau minta penjelasan tentang isi diary itu, kan? Kalau begitu, aku akan jelaskan."
Niat Dafa mengajak Naura ke tempat ini, bukan untuk membahas buku diary yang ada di tangannya. Ia sudah bertekad, akan memperjuangkan Naura sebelum akad terucap. Meskipun, ia sendiri tahu bahwa itu adalah hal terbodoh dan tergila yang akan dilakukannya.
Namun, Dafa juga tidak akan menolak jika harus mendengarkan secara langsung maksud dari tulisan Naura di dalam buku diary-nya. Terutama dalam baris yang bergaris merah, “maafkan Ibu, Nak. Ada banyak mimpi yang masih haru Ibu wujudkan.”
Naura dan Dafa akhirnya masuk ke dalam taman bermain dan duduk di salah satu bangku taman yang tepat menghadap ke wahana kincir putar. Sambil memandangi pengunjung yang masuk, Naura mulai membagikan kisahnya.
“Anak itu tidak meninggal dalam kandungan.”
Dafa yang mendengar ucapan Naura, seketika merasakan matanya memanas. Namun, ia berusaha untuk menahannya.
“Lalu, di mana anak itu sekarang? Aku ingin ketemu.”
“Saat masih di kandungan, aku lakuin segala cara untuk membunuh dia, Daf.”
Naura tidak bisa menahan keram di perutnya. Bayangan ketika alat tajam untuk menggugurkan kandungan masuk ke dalam rahimnya, membuat Naura merasakan sakit yang sama seolah-olah ia berada di tempat itu.
“Naura, kamu nggak pa-pa?”
Naura mengangguk. “Aku nggak pa-pa. Aku nggak bisa kayak gini terus, aku harus ceritain semuanya sama kamu, Daf.”
“Tapi, kalau kamu nggak kuat, nggak perlu maksa.”
Naura mencoba duduk tegak. “Aku pernah mau aborsi saat usia kandungan masuk empat bulan. Tapi, anak itu terlalu kuat. Karena prosedur itu—“
Suara Naura tercekat. “Dia lahir dengan keadaan cacat. Tangan dan kakinya tidak berkembang sempurna.”
“J-jadi, anak itu hidup? Tapi kenapa kamu bilang waktu itu dia meninggal dalam kandungan?!”
“Aku bohong soal itu. Aku nggak mau, kamu ketemu sama dia, Daf.”
“Tapi kenapa?!” Dafa berdiri.
Naura semakin merasakan sakit di perutnya seperti ada sebuah benda tajam yang mengoyak isi perutnya. Wajahnya memucat dan keringat mulai membasahi tubuhnya.
“Lalu, di mana anak itu sekarang? Aku ingin ketemu. Di mana dia?!”
Naura mencoba memegang tangan Dafa, tetapi pemuda itu menepisnya. “Daf, t-tolong ...”
“Jawab! Di mana anak itu?”
Naura tidak bisa melanjutkan kata-katanya. Pandangannya mengabur dan akhirnya jatuh tak sadarkan diri.To be continue...
☆☆☆
Terima kasih sudah membaca 🙏
Sampai ketemu lagi 👋☆☆☆
![](https://img.wattpad.com/cover/320817623-288-k943229.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Baris-Bergaris
RomanceTidak ada yang bisa mengubah masa lalu. Akan tetapi, semua orang berkesempatan untuk menutupi kesalahan masa lalu dengan memperbaiki diri di masa sekarang dan masa depan nanti. Dafa Wardana merupakan anak kedua dari keluarga Wardana yang sering kali...