-05-

14 4 11
                                    

Suara berisik dari lantai bawah, membuat tidur Dafa terusik. Ia masih sangat mengantuk karena baru tidur pukul lima pagi dan sekarang terpaksa harus bangun. Dengan raut wajah capek serta rambut yang masih acak-acakan, Dafa turun ke lantai bawah untuk melihat siapa penyebab paginya berantakan.

“Naura?”

Dafa kaget ketika melihat seorang wanita yang mengenakan gaun berwarna putih gading dengan rambut yang dibiarkan terurai, sedang berbincang dengan kedua orang tuanya. Dari belakang, Dafa sudah tahu bahwa itu adalah Naura.

Namun, yang membuatnya heran, hanya ada mereka bertiga di ruang tamu, tetapi yang Dafa mengapa suaranya bisa sampai ke kamar Dafa di lantai dua. Apa karena selama ini sering tidak ada orang, sampai Dafa tidak tahu kalau berbincang dari ruang tamu bisa kedengaran ke kamarnya?

Dafa tidak ingin ambil pusing. Ia masih kesal dengan kejadian beberapa hari lalu, dan informasi yang ia dapatkan dari editor penerbit semalam. Dafa tidak bisa meminta pengganti ilustrator lain untuk menangani kover Naura karena semua sedang ada pekerjaan masing-masing. Artinya, ia harus terus berurusan dengan Naura sampai proses pembuatan kover selesai.

Saat hendak kembali ke kamarnya, langkah Dafa terhenti ketika Damar yang sedang membawakan nampan berisi minuman dan stoples yang berisi camilan memanggilnya.

“Kamu nggak mau kenalan sama calon kakak iparmu?”

“Nggak. Lagian, kehadiranku di sana pasti hanya akan mengganggu.”

“Mengganggu gimana? Udah. Kamu cuci muka dulu, terus turun ke bawah. Aku mau ngomong serius sama semuanya. Papa sengaja nggak ke kantor dan Mama juga batal ikut arisan karena aku ingin bicara penting.”

Tanpa mendengar pendapat Dafa, Damar langsung bergegas membawa nampan ke ruang tamu. Ia tidak ingin mendengar penolakan. Damar harus secepatnya menyampaikan niat baiknya untuk melamar Naura pada semua anggota keluarga.

Ia tidak mau terlalu lama menunda, apalagi melihat respons kedua orang tuanya yang begitu menyukai Naura sampai mereka bisa tertawa lepas seperti tadi. Ditambah lagi, Dafa yang juga sudah mengenal Naura terlebih dahulu membuat semuanya sangat sempurnya. Begitulah yang Dafa pikirkan.

Sementara Damar yang memilih bergabung dengan suasana hangat di ruang tamu, Dafa lebih memilih untuk tidak peduli. Ia kembali ke kamar dan mengunci pintu agar kakaknya tidak bisa masuk. Dafa yakin, Damar pasti akan menyusulnya.

Benar saja, belum sepuluh menit ia memejam, suara ketukan pintu kembali membuat Dafa terjaga. Namun, yang mengetuk bukan Damar melainkan Mama.

“Daf, kamu mau tidur sampai jam berapa? Turun sekarang! Kakakmu mau bicara penting.”

Setelah mengucapkan itu, Dafa tidak lagi mendengar suara apa-apa. Dafa tersenyum kecut. "Mereka sama sekali tidak peduli dengan pendapatku," batinnya.

Ia ingin sekali mengabaikan perintah Mama, tetapi hatinya tiba-tiba merasa penasaran dengan apa yang akan Damar sampaikan. Pasti sesuatu yang berkaitan dengan Naura.

Dafa menatap langit-langit kamar yang berwarna jingga. Warna yang membawa lamunannya pada wanita yang berada di bawah sana. Senja dan jingga selalu mengingatkan Dafa pada Naura. Pertemuan pertama mereka saat pulang MOS sewaktu SMA, adalah hal yang sulit untuk Dafa lupakan.

Saat itu, Dafa memberontak di sekolah karena ia dipaksa lari di lapangan karena tidak mengikuti peraturan MOS. Bagi Dafa, peraturan konyol yang mewajibkan seluruh siswa baru menggunakan topi petani dan membawa kantong plastik sebagai tempat buku serta wajib mengenakan kaus kaki hitam yang harus dimasukkan ke dalam celana olahraga berwarna jingga, adalah sebuah perploncoan yang sama sekali tidak bertujuan selain untuk mempermalukan.

Mereka yang masih menerapkan peraturan dengan tujuan untuk mempermalukan seseorang padahal membawa nama pendidikan, seharusnya perlu dinasehati atau bahkan diberi hukuman. Hal-hal yang justru merebut paksa hak seorang manusia, dan mempermalukannya di depan banyak pasang mata, membuat Dafa yang notabene anak pemberontak, jelas tidak mau tunduk.

Dafa memilih mengenakan pakaian olahraga biasa dan tidak membawa atribut apa-apa. Hal itu membuat seniornya marah dan meminta Dafa untuk lari di lapangan sampai jam pulang. Namun, bukan Dafa namanya kalau ia harus turut begitu saja pada peraturan yang tidak masuk akal. Peraturan yang masuk akal saja, kadang ia langgar apalagi yang tidak. Dafa meninggalkan sekolah dan singgah di warnet untuk bermain game online.

Keesokan harinya saat semua siswa sedang apel pagi, Dafa tiba-tiba diseret ke toilet oleh seseorang yang tidak ia kenal. Ia dihajar habis-habisan sampai tak sadarkan diri dan dikunci di toilet hingga sore hari.

Saat Naura akan mengantarkan alat pel setelah membersihkan ruang aula karena dihukum tidak membawa topi, ia tidak sengaja mendengar Dafa yang berteriak minta tolong. Naura membantu Dafa keluar dari toilet, dan membawanya ke ruang UKS.

Barulah setelah memastikan semua orang termasuk senior mereka sudah pulang, Naura membawa Dafa keluar sekolah. Untung saja, keadaan Dafa tidak begitu parah.

Dafa tidak hanya dipukuli, uang jajan yang diberikan kedua orang tuanya diambil oleh orang memukulinya. Naura menawarkan Dafa untuk makan bersama bekal yang ia bawa dan tidak sempat di makan tadi. Dafa ingin menolak, tetapi perutnya tidak bisa diajak kerja sama. Perutnya keroncongan yang membuat Naura tertawa.

“Nggak pa-pa. Ini makanannya banyak, bisa kita bagi dua,”  ucap Naura tersenyum dan langsung menarik tangan Dafa.

Keduanya duduk di salah satu bangku taman yang dinaungi pohon besar. Naura membuka kotak makan dan mengeluarkan dua sepotong sandwich buatan mamanya.

“Katanya banyak. Ini cuma sedikit,” protes Dafa.

“Banyak tau.. kita makannya dikit-dikit aja, sambil menikmati matahari terbenam, pasti bakalan kenyang."

Naura tersenyum sangat manis sampai memperlihatkan dua buah lesung pipinya. Senyuman yang sampai saat ini masih membuat Dafa merasa senang sekaligus sakit bersamaan.

Air mata Dafa menetes membasahi bantal. Andai saja dulu Naura tidak pergi dari kehidupannya, mungkin saat ini ia yang akan bersama wanita itu. Mungkin saat ini, Dafa yang sedang mengajak keluarganya untuk berkumpul di ruang tamu dan membicarakan hal penting berupa pernikahan atau apalah itu yang ingin Damar bahas hari ini.

Namun, nasi sudah menjadi bubur. Dafa tidak bisa memutar waktu. Andai ia bisa, mungkin Dafa akan berlari menembus hujan dan mendatangi rumah lama Naura untuk meminta penjelasan tentang pesan yang berisi permintaan putus. Andai saat itu Dafa bisa melawan rasa malas, mungkin ia tidak akan pernah kehilangan Naura.

Namun, semuanya sudah berlalu. Bagi Dafa, semua adalah salah Naura. Ia tidak merasa melakukan kesalahan apapun yang membuat hubungan mereka harus putus.

Dafa bangkit dari tempat tidurnya. Ia berjalan menuju kamar mandi dan membersihkan diri. Dafa memang kehilangan kesempatan untuk kembali bersama Naura, tetapi ia masih memiliki banyak kesempatan untuk membalaskan kebenciannya.

Dafa tersenyum licik menatap pantulan cermin yang menampilkan wajahnya yang basah. “Tunggu saja, Naura. Aku akan membalas semuanya. Termasuk waktu yang sudah kuhabiskan untuk menunggu kedatanganmu lagi.”

Dafa segera berganti pakaian dan turun ke bawah. Namun, ia tidak mendapati Naura berada di tengah-tengah keluarganya. Hanya ada Mama dan Papa yang sedang berbincang, sementara kakaknya sedang mengatur gelas kosong.

“Naura ke mana?”

“Dia ke toilet,” jawab Damar tersenyum melihat kehadiran Dafa.

Dafa mengangguk dan berjalan ke ruang tamu. Baru akan duduk, kalimat Papa sudah menusuk hatinya.

“Kamu ini, nggak pernah bisa diandalkan, Daf. Lihat kakakmu, di dari pagi sudah bersih-bersih rumah padahal capek seharian kerja di rumah sakit. Kamu nggak ada kerjaan, malah enak-enakkan tidur dan nggak bantu-bantu.”

“Nggak gitu, Pah. Dafa, kan, juga kerja. Dia kerjanya dari rumah. Pasti capek juga, makannya nggak sempat bantu-bantu,” ujar Damar menengahi.

Dafa yang tadi akan duduk kembali berdiri. “Sepertinya kehadiranku di sini merusak suasana.”

Dafa tersenyum kecut. “Kak, nanti WA aja kalau ada yang mau dibicarakan.”

“Eh, kamu mau ke mana?”

Dafa tidak menjawab pertanyaan Mama dan langsung pergi meninggalkan rumah. Suasana hatinya memang sangat buruk, tetapi ia tidak menyangka akan tambah buruk lagi dengan ucapan Papa. Setelah  sekian lama bisa berkumpul berempat karena kesibukan masing-masing, ternyata sikap kedua orang tuanya tidak pernah berubah. Di mata mereka, Dafa tetap seorang pemberontak dan Damar adalah anak yang selalu taat.

Sementara itu, Naura yang baru kembali dari toilet menghentikan langkahnya dan bersembunyi di balik dinding. Ia tidak sengaja mendengar pembicaraan antara keluarga yang sebentar lagi akan menjadi keluarganya. Dalam hati, Naura merasa kasihan dengan Dafa. Selama ini Naura tidak pernah tahu tentang keluarga Dafa. Pemuda itu selalu menolak ketika ia memaksa untuk bercerita tentang keluarga, dan ternyata ini adalah alasannya.

Naura yang hampir setiap pertemuan mereka selalu membahas tentang kehangatan keluarganya di depan Dafa, ternyata diam-diam memberikan rasa cemburu pada pemuda itu. Naura teringat ketika Dafa pernah bertanya, "Kapan, ya.. aku bisa kayak kamu?"

Pertanyaan yang tidak pernah Naura jawab karena tidak pernah mengerti dengan maksudnya. Pertanyaan yang saat ini, membuat Naura sedikit melonggarkan kebenciannya.

To be continue...

☆☆☆

Terima kasih sudah membaca 🙏
Sampai ketemu lagi👋

☆☆☆

Baris-BergarisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang