"Nata, aku datang hari ini bukan tanpa tujuan."
Alisku terangkat tinggi, sosok Rembulan yang sudah tidak aku lihat semenjak lima tahun pernikahanku dengan Mas Bara ini tiba-tiba saja datang menemuiku, tidak aku temui lagi sosok Rembulan yang manis dan hangat kepadaku, yang aku lihat sekarang adalah sosok Rembulan yang nampak seolah dia sedang menagih sesuatu dariku, dia terlihat seperti ingin menghakimi aku yang telah mencuri apa yang seharusnya dia miliki.
Semenjak dia datang mengetuk pintu rumahku dengan sosok balita di gandengannya, aku sama sekali tidak menaruh pemikiran buruk, bahkan bisa di bilang aku senang mendapati kunjungan teman lama. Sayangnya seiring menit yang berlalu aku menyadari, absennya senyuman hangat bersahabat seorang Rembulan menunjukkan perasaannya yang bertolak belakang dengan apa yang aku rasa, dan rasa curiga mulai tumbuh subur di kepalaku saat wajah gadis kecil yang menatapku takut-takut di balik ketiak Rembulan terlihat sangat familiar di mataku.
Aku ingin menepis pemikiran negatifku, tapi sayangnya apa yang baru saja terucap dari bibir rembulan barusan membuyarkan semuanya.
Dengan ketenangan yang aku paksakan, dan senyuman palsu yang selalu menjadi topengku semenjak aku menjadi istri seorang JPU terkenal, Barra Prawiranegara, aku membalas tatapan seorang yang aku anggap sahabat ini.
"Katakan langsung apa tujuanmu, Lan. Kamu tahu, aku merasa kamu membawa sesuatu hal yang tidak aku sukai."
Berbeda denganku yang tertawa kecil untuk mengusir kecanggungan, Rembulan sama sekali tidak tertawa, pandangannya yang semula tertuju padaku kini beralih pada potret besar pernikahanku dengan Mas Barra, dan itu membuatnya semakin tidak bersahabat.
"Nata, terserah kamu mau menyebutku apa, tapi di sini aku datang ingin meminta keluasan hatimu untuk menyerahkan Barra untukku. Suamimu, dia tidak mencintaimu, yang di cintai adalah aku, dan putriku adalah bukti cinta kami."
Haaah, aku ternganga bagai di sambar petir, dengan tak percaya aku menatap Rembulan, berharap dia hanya sekedar bercanda, namun nyatanya tidak, dia diam begitu serius akan apa yang baru saja dia katakan, di antara begitu banyak kemungkinan buruk yang mungkin saja terjadi dan aku bayangkan, kenapa aku harus mendapati suamiku yang berselingkuh? Bahkan dengan sahabatku sendiri hingga mereka memiliki seorang anak!
Di bandingkan sebuah kenyataan, apa yang aku alami sekarang lebih tepat di sebut mimpi buruk. Degup jantungku pun kini berdenyut begitu kuat hingga aku merasa dadaku begitu sakit walau tidak sesakit hatiku yang kini berdarah-darah mendapati kenyataan memilukan ini.
Dan seolah tidak cukup hanya mengumumkan kematian untukku, Rembulan kembali menambah deretan luka untukku. "Kamu tentunya bertanya-tanya kenapa selama ini Mas Barra menunda untuk memiliki momongan denganmu bukan, Arnata? Dia tidak menunda, tapi dia tidak ingin memiliki anak darimu. Dia sama sekali tidak mencintaimu, Arnata. Mas Barra menikahimu hanya karena balas jasa atas pertolongan Papamu yang sudah memuluskan jalannya sebagai seorang JPU, lebih dari itu, kamu sama sekali tidak berarti untuknya."
Aku ingin menampik, marah dan tidak percaya dengan apa yang di katakan oleh Rembulan, aku ingin membalas setiap ucapannya dengan sangkalan karena selama ini aku bak ratu untuk suamiku, namun lidahku kelat menyadari jika setiap ucapan yang terlontar sama persis seperti yang terjadi.
Dan puncak dari semuanya adalah saat seorang yang menjadi bahan perbincangan kami tiba-tiba hadir, mengucap salam tanpa sanggup aku membalasnya, semuanya terjadi begitu cepat, menyempurnakan kematian yang di lakukan oleh dua orang yang begitu aku percaya, aku melihat sosok mungil dalam balutan dress menggemaskan merah muda tersebut menghambur memeluk suamiku dan berteriak dengan nyaringnya.
"Papa......."
KAMU SEDANG MEMBACA
Luka dan Obatnya
RomanceArnata Dewani, istri dari seorang Barra Prawiranegara, sang Jaksa Penuntut Umum yang terkenal merasa jika hidupnya sebagai seorang wanita begitu sempurna. Hidup menjadi seorang Nyonya yang segala fasilitasnya terpenuhi, lengkap dengan suami yang san...