Arnata Dewani, istri dari seorang Barra Prawiranegara, sang Jaksa Penuntut Umum yang terkenal merasa jika hidupnya sebagai seorang wanita begitu sempurna.
Hidup menjadi seorang Nyonya yang segala fasilitasnya terpenuhi, lengkap dengan suami yang san...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Yuhuuuu, Luka dan Obatnya sudah rilis on playbook, yuk yang mau baca full bisa melipir ya. Link on beranda wattpad Mama Al. Happy reading semuanya Enjooyy
"Nata, kamu serius ingin berpisah dengan Barra, Nak?"
Baru saja Mitha selesai menyerahkan dokumen yang harus aku tanda tangani untuk semua aset yang kini kembali atas namaku, saat suara Papa terdengar di belakangku, sosok tua berkacamata yang terlihat begitu gagah di usia beliau yang sudah menuju senja.
Kharisma Papa tersebut terbukti dari Mitha yang menatap Papa sembari mengerjap-ngerjapkan matanya genit seolah tidak mau melewatkan sedetikpun waktu untuk bisa menatap sosok gagah Papaku, ya Mitha mengagumi Papaku, nasib baik Mitha adalah sahabatku dan aku tidak akan segan-segan untuk menggorok lehernya jika dia macam-macam, karena itulah dari Papaku, Sadewa Senior, Mitha beralih mengagumi Kakakku yang lebih tua hanya dua tahun dariku, Mas Sadewa, jomblo abadi yang entah kapan mau menikah..
Lupakan Mitha dan segala keabsurdannya dalam seleranya memilih pria yang sangat tidak biasa, kini aku memutar tubuhku dan tersenyum pada Papa yang duduk di sebelahku, tanpa sungkan sama sekali tidak peduli usiaku sudah bukan remaja yang cocok bermanja-manja aku bergelayut pada lengan kokoh Papa menyandarkan bukan hanya ragaku, tapi juga hatiku yang begitu lelah.
"Nata serius, Papa. Bercerai dan berpisah dari pasangan kita bukan sebuah kiamat. Nata nggak akan mati hanya karena menjadi Janda! Harus berapa kali Nata mengatakan ini ke Papa, seingat Nata setiap hari Nata selalu menjawab hal yang sama selama dua minggu penuh semenjak Nata pulang ke rumah kalian."
Usapan aku dapatkan dari Papaku di puncak kepalaku, dari desah nafas berat Papa aku tahu menerima semua yang telah terjadi padaku bukan hal yang mudah, sama sepertiku yang terlena pada besarnya cinta Mas Barra selama ini, Papa pun melihat betapa sempurnanya kehidupan putri kecilnya ini, selama ini beliau selalu melihatku tersenyum bahagia setiap kali menggandeng tangan menantu kesayangan beliau tanpa pernah tahu jika tangan putrinya bukan satu-satunya yang di genggam oleh menantunya.
Terkejut? Tentu saja! Saat aku datang kembali pulang ke rumah Papa dan Mama shock bukan kepalang, mereka mencecarku mengira aku pergi ke rumah mereka hanya sekedar untuk menginap pasca pertengkaran biasa dalam rumah tangga yang seiring waktu akan membaik sendirinya, hingga akhirnya di bantu oleh Mitha aku menceritakan segalanya.
Segalanya, di mulai dari kedatangan Rembulan, hari di mana aku memberitahukan kepada mertuaku terlebih dahulu busuknya putra mereka dan pada akhirnya setelah aku mengambil semua aset yang aku hasilkan dengan susah payah aku meminta berpisah.
Ya, aku meminta berpisah tidak peduli bagaimana Mas Barra memohon maaf menyatakan penyesalan dan banyak janji tentang dia yang akan berubah, bahkan tentang dia yang akan meninggalkan Rembulan dan juga Arisa, hal yang membuat Papa dan Mamaku terkejut bukan kepalang hingga Mama nyaris pingsan saat mendengarnya.
Sebenarnya bukan hanya orangtuaku yang hancur mendapati anak perempuan mereka satu-satunya akan menjadi Janda yang di khianati dengan begitu keji oleh orang yang sangat aku cintai, aku pun sama hancurnya.
Hancur berkeping-keping hingga aku merasa serpihan kecil hatiku yang hancur tidak akan bisa aku rekatkan kembali, bahkan hanya untuk sekedar bernafas saja dadaku terasa sesak, setiap kali aku mengingat bagaimana bodohnya aku lima tahun di khianati, air mataku akan mengalir deras tanpa bisa aku cegah, setiap sudut rumah yang sebelumnya bak istana dengan aku sebagai ratunya berubah menjadi neraka karena nyatanya semua kenangan indah tersebut tidak lebih hanya sekedar sandiwara yang sekarang berubah menjadi mimpi buruk yang tidak tidak bisa aku usir bayangannya.
Semua alasan inilah yang membuatku memutuskan untuk pulang ke rumah orangtuaku, meninggalkan rumah hadiah pernikahanku dari Orangtuaku walaupun Mas Barra sekarang sudah meninggalkan rumah seperti yang aku minta, aku pun tidak tahu kemana dia pergi pada akhirnya membawa Arisa dan juga Rembulan karena jelas seperti yang aku sebutkan, aku tidak mau apartemenku di tempati oleh Rembulan dan anaknya, aku sama sekali tidak peduli pada akhirnya kemana mereka menggelandang, Mas Barra menjadi suamiku hanya membawa pakaian, maka dia pergi dari rumahku juga hanya membawa barang yang sama, mobil gagah yang selama ini di kendarainya pun aku minta kembali, tidak sudi rasanya aku melihat hasil kerja kerasku di nikmati sundal macam Rembulan.
Mengingat Mas Barra dan Rembulan membuatku terhenyak seperti patung tanpa nyawa. Sama seperti sekarang, terpaku dengan kenangan pahit beberapa hari yang lalu dan membuat sebagian jiwaku kosong, terkadang aku sangat khawatir kehilangan kewarasanku karena terpaku pada ingatan menyakitkan tersebut membuatku lupa dengan apa yang terjadi di sekelilingku, sama seperti sekarang, aku bahkan sampai tidak mendengar Mitha yang berpamitan pergi tidak ingin mengganggu perbincangan pribadi ini, satu hal yang aku rasakan, aku merasa begitu aman dan nyaman dalam pelukan Papa. Rasa sakit yang tidak terkira hingga hatiku terasa tercabik-cabik dan berdarah-darah akhirnya menemukan sandarannya. Andaikan aku tidak malu dan tidak memikirkan perasaan orangtuaku yang sama hancurnya seperti yang aku rasakan sekarang mungkin aku akan menangis meraung-raung meluapkan segala kesedihan, tapi aku sadar, cukup aku yang hancur jangan orangtuaku turut gila saat melihat anaknya tidak waras karena pernikahannya karam.
Aku berusaha baik-baik saja bukan untuk di puji kuat, tapi inilah bentuk kekuatanku untuk menjaga perasaan orangtuaku, cukup aku menangis sendirian dalam diamku, jangan sampai orang tuaku mengetahuinya.
Jika ada hal yang tidak bisa aku sembunyikan dari mereka itu adalah perasaan menyenangkan seperti sekarang, bersandar pada Papa atau Mama melepaskan sebagian rasa yang menggumpal dan membuat sesak. Memang benar yang di katakan oleh orang bijak, tempat berpulang yang paling nyaman adalah Keluarga. Cukup seperti ini dan aku yakin aku akan tetap baik-baik saja.
Tidak banyak kata yang terucap dari Papa kepadaku namun melalui pelukan hangat dari beliau sekarang ini sudah menjelaskan segalanya, dunia boleh menghancurkan hatiku, tapi aku punya dua orangtua hebat dan satu Kakak laki-laki yang tidak akan pernah meninggalkanku.
"Tidak! Papa sama sekali dengan semua status itu, bagi Papa kamu adalah Putri kesayangan Papa, yang di sayangi Mama dan Papamu. Papa menyerahkan semua keputusan kepadamu, Arnata. Papa yakin kamu cukup dewasa untuk memutuskan segalanya, jujur saja, Papa dan Mama kecewa tapi bukan kecewa kepadamu, lebih tepatnya kami kecewa pada Barra juga kami kecewa pada diri kami sendiri, entah bagaimana bisa Papa dengan bodohnya bisa menyerahkan mutiara hati Papa yang berharga ini pada manusia rendahan seperti mantan suamimu!"
Ada nada geram di dalam suara Papa, namun aku sama sekali mengabaikannya, wajar saja semua orang tua akan terluka saat anak mereka di sakiti sedemikian rupa setelah semua kepercayaan di berikan. "Syukurlah Papa tidak mempermasalahkannya walau Nata tahu Mama agak kesulitan untuk menerima status baru anaknya." Ada nada getir yang tidak bisa aku cegah, di bandingkan dengan Papa yang lebih cepat menguasai keadaan dan segera merangkulku, Mama agak sulit menerimanya, selama beberap hari di rumah ini aku sering kali melihat Mama menangis diam-diam karena status Jandaku sebentar lagi.
Menyesakkan memang, tapi mau bagaimana lagi. Tidak ada yang bisa aku lakukan untuk menghibur Mama kecuali aku memperlihatkan kepada beliau jika duniaku tidak kiamat hanya karena bercerai.
"Mamamu sedih, Ta. Dan itu wajar, kamu kami besarkan sepenuh hati namun orang lain yang masuk dalam hidupmu baru-baru saja justru menyakitimu. Jujur saja, Arnata! Papa ingin sekali membalas Barra hingga pria itu merasa mati lebih baik untuknya. Rasanya Papa sama sekali tidak puas melihatnya hanya kamu miskinkan untuk membalas perbuatan curangnya."
Aku ingin menjawab kemarahan Papa, namun belum sempat bibirku terbuka, Mbok Giyem yang aku bawa kembali ke rumah Orangtuaku datang tergopoh-gopoh.