Satu

14.9K 1.2K 55
                                    

"Papa!!!"

Pekikan gadis mungil tersebut terdengar begitu nyaring di tengah sepinya rumah besarku, tanpa ada kecanggungan sama sekali sosok pendiam yang sedari tadi hanya sibuk bersembunyi di ketiak Ibunya kini bahkan memeluk Mas Barra, tidak perlu aku jelaskan bagaimana kondisiku sekarang.

Rasanya lebih dari sekedar mati rasa, seluruh tubuhku bergetar karena amarah yang bergejolak, rasa kecewa yang aku rasakan saat sosok mungil tersebut memeluk suamiku yang kini tampil mengesankan dalam kemeja pilihanku membuatku menggila, tidak, sungguh aku tidak ingin percaya apa yang aku lihat.

Tidak mungkin suamiku berselingkuh dariku bahkan mempunyai anak seusia pernikahan kami, Mas Barra begitu mencintaiku, tidak pernah sekali pun dia menyakitiku, jadi mana mungkin dia bisa berlaku begitu menjijikkan, berkhianat selama pernikahan kami bahkan hingga memiliki anak lengkap dengan sahabatku sendiri? Terlalu menjijikkan jika sampai itu terjadi! Pengkhianatan yang begitu redahan, begitu menjijikkan!

Aku menggeleng keras, kepalaku berdenyut nyeri serasa ingin pecah melihat pemandangan di depan mataku sekarang ini, sore hariku yang indah seperti biasa usai berias dan menunggu suamiku pulang kembali dari Kejaksaan kini berubah menjadi hari paling gelap dalam hidupku.

Aku nyaris saja kehilangan keseimbangan, tidak sanggup berdiri usai mendengar hal tidak terduga yang di ungkapkan oleh Rembulan, namun seserpih harga diriku yang tersisa membuatku tetap berdiri tegak, andaikan semua ini benar nyata adanya bukan hanya bualan Rembulan semata, aku tidak ingin terlihat menyedihkan di mata dua orang paling aku percaya di dunia ini namun begitu tega hingga mampu mengkhianatiku.

"Arisa..."

Pias, wajahku kini sepenuhnya pucat saat Mas Barra menyebut nama gadis mungil tersebut, mustahil Mas Barra tahu nama gadis kecil ini tanpa mengenalnya, pemikiran jika benar Arisa ini anak dari Mas Barra membuatku ingin menangis keras-keras.

Sungguh air mataku benar-benar hendak turun saat akhirnya mataku bertemu pandang dengan suamiku, wajahnya yang sama pucatnya denganku bergantian menatapku dan Rembulan. Keterkejutan terlihat jelas di matanya sama sekali tidak dia sembunyikan. Ada kepanikan yang tampak layaknya seorang yang baru saja ketahuan melakukan sesuatu yang salah.

Aku menatapnya lekat, berharap pria ini akan menjelaskan apa yang sedang terjadi di depan mataku sekarang, aku ingin Mas Barra menjelaskan betapa gilanya Rembulan yang sudah dengan lancang membawa anaknya ke dalam rumah ini dan mengaku-ngaku sebagai anaknya dengan Mas Barra.

Aku menunggu penyangkalan Mas Barra, aku menunggunya mendorong gadis mungil tersebut untuk menjauh darinya dan juga aku menunggunya untuk mengusir Rembulan yang sudah lancang datang ke rumah ini, aku hanya butuh Mas Barra mengatakan tidak atas semua yang terjadi maka aku akan mempercayainya.

Di bandingkan semua orang di dunia ini, aku lebih mempercayainya di bandingkan siapapun, tapi di tengah suasana canggung yang sama sekali tidak aku sukai, penyangkalan itu tidak kunjung aku dapatkan.

Mas Barra sama membisunya seperti aku hingga tidak mampu berkata-kata, kembali, aku hanya sanggup menggelengkan kepala pelan, tidak sanggup menghadapi kenyataan jika benar apa yang di ucapkan Rembulan adalah nyata adanya.

"Papa, Ais kangen sama Papa!" Suara riang dari gadis mungil putri Rembulan-lah yang pertama kali terdengar memecah keheningan, layaknya sebuah sinetron drama picisan yang selalu membuatku muak, aku melihat senyuman penuh kemenangan dari Rembulan saat dia melangkah penuh kemenangan menghampiri Mas Barra, seolah dia begitu yakin hadirnya sosok mungil Arisa adalah kuncinya untuk merebut pria yang dunia sebut sebagai suamiku.

Kembali, aku berharap Mas Barra menepis hadirnya Rembulan, tapi penolakan tersebut tidak aku dapatkan, lebih dari pada Mas Barra yang takut saat melihatku, Mas Barra justru tampak lebih menjaga perasaan gadis kecil yang kini justru semakin bergelayut di lehernya.

Kedua tanganku terkepal, rasa kecewa kini perlahan merayap dan berkumpul memenuhi dadaku, aku tidak suka segala kelancangam yang terjadi di depan mataku.

Terlebih saat Rembulan mengusap pelan kepala gadis kecil tersebut saat Arisa mendongak menatap Mas Barra yang sepucat mayat penuh dengan harap.

"Papa kenapa jarang pulang ke rumah. Makanya sekarang Mama ajak Ais datang ke rumah Papa. Ais tinggal  di sini sama Papa, ya?!"

Mas Barra menatapku sekilas, melihat reaksiku yang sama sekali tidak bergerak karena kejutan di depan mataku ini melumpuhkan syarafku, sosoknya yang gagah dan luar biasa tegas saat di sidang ruang sidang kini menciut tidak berdaya di hadapan gadis kecil yang terlihat begitu berarti di bandingkan perasaanku.

Mas Barra sama sekali tidak bersuara, yang memecah keheningan adalah suara Rembulan, masih dengan senyuman penuh kepuasan yang begitu pongah seolah dia sudah memenangkan sebuah pertandingan denganku dia berujar dengan percaya dirinya.

"Iya, Ais. Mulai sekarang kita berdua juga akan tinggal di rumah Papa ini, gimana? Ais suka rumah ini? Rumah Papa ini lebih bagus daripada rumah kita, kan?"

Rumah Papa ini? Dengan entengnya dia berucap akan tinggal di rumah ini? Siapa memangnya dia dengan begitu lancang berucap demikian tanpa tahu malu sama sekali terhadap aku yang merupakan Nyonya rumah ini, seharusnya aku berlari menghajar Rembulan dan Mas Barra, bayangan pengkhianatan mereka membuat kata jijik saja terdengar jauh lebih bagus, namun entah kesabaran yang aku dapatkan dari mana aku berhasil tetap berdiri di tempatku, bersedekap memandang pasangan pengkhianat ini untuk melihat sejauh mana mereka menunjukkan pengkhianatannya tanpa tahu malu.

Dengan tatapan tajam yang sama sekali tidak aku alihkan dari sorot mata hitam Mas Barra aku menunggu semuanya bersuara, hingga waktunya aku yang ganti mengangkat pembicaraan mengingatkan para manusia tidak tahu diri ini siapa Nyonya rumah ini.

"Ais suka rumah Papa ini, bagus, besar, ada air mancur sama kolam ikan di depan, penuh sama bunga-bunga lagi, tapi Ais lebih suka rumah kita, Ma. Papa nggak usah kerja buat beli rumah yang besar kayak gini, kita pulang aja, Pa. Ais nggak suka rumah ini." Arisa, dia merengek keras, mengguncang-guncang tubuh Mas Barra yang kaku berlutut sama sekali tidak menanggapi ucapannya, "Ais nggak suka ada Tante itu, Pa! Di sini ada foto Tante itu sama Papa! Ais nggak suka Papa sama orang lain. Papa cuma punya Ais."

"Tenang saja, Ais. Tante itu akan segera di usir Papa dari rumah." Seringai menyebalkan terlihat di wajah Rembulan, diamnya Mas Barra atas ulah anaknya dan juga diamku membuatnya berada di atas angin hingga tanpa malu dia berani berucap hal yang sangat menjijikkan di telingaku. "Papa cuma milik Mama sama Ais."

Habis sudah kesabaranku mendengar bagaimana ungkapan tidak suka gadis kecil tersebut terhadapku, dan juga bagaimana Rembulan yang menginjak-injak harga diriku hingga habis tidak bersisa. Tanpa banyak drama tangis atau apapun aku mendekati mereka bertiga, tidak ada belas kasihan dariku bahkan kepada anak kecil yang kini memeluk suamiku dengan erat.

"Usir dua orang menjijikkan ini dari rumahku, Mas Barra. Lakukan sekarang atau kamu mau Polisi yang melakukannya, silahkan pilih."

Luka dan ObatnyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang