Arnata Dewani, istri dari seorang Barra Prawiranegara, sang Jaksa Penuntut Umum yang terkenal merasa jika hidupnya sebagai seorang wanita begitu sempurna.
Hidup menjadi seorang Nyonya yang segala fasilitasnya terpenuhi, lengkap dengan suami yang san...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Luka dan Obatnya sudah rilis on playbook, yuk yang mau baca full part bisa melipir ke sana. Happy reading semuanya. Enjooyy
"Selamat sore, Om!"
Tanpa bisa aku cegah untuk pertama kalinya setelah berhari-hari aku tenggelam dalam nestapa patah hati menjelang pernikahanku yang resmi kandas aku bisa tertawa kembali.
Bagiku pemandangan di mana Genta sekarang menyapa Papa yang bersedekap angkuh memasang wajah galak layaknya Bapak-bapak protektif terhadap anak perawannya sungguh hiburan tersendiri, dengan canggung seolah Genta lupa adalah seorang prajurit dengan pangkat yang lumayan tinggi di Militer, Genta meraih tangan Papa seakan menekadkan tekadnya untuk memberi salam menjunjung tinggi adab dan sopan santun tidak peduli Papa mengacuhkannya.
"Sore, ngapain kamu kesini? Ada perlu apa? Masih kurang Kakakmu nyakitin anak saya? Kamu datang kesini di suruh dia buat bujuk anak saya batalin gugatan perceraian?" Tanpa ba-bi-bu dan berbasa-basi layaknya seorang Jaksa pada terdakwanya Papa langsung mencecar Genta, tapi bersyukur, partnerku saat paskibraka dulu ini berhasil menguasai kegugupannya saat masalah Mas Barra di singgung, dengan raut suara tegas yang mantap terdengar Genta terdengar menjawab tuduhan Papa.
"Sebelumnya saya mau minta maaf jika kedatangan saya ini mengganggu waktu Om dan Arnata, tapi tujuan saya datang menemui Arnata bukan karena Kakak saya, Om. Saya tahu Om pasti marah terhadap keluarga kami, mewakili Kakak saya, saya benar-benar minta maaf, tapi sumpah demi Tuhan keluarga saya pun sama terkejutnya seperti Om saat tahu kelakuan Kakak saya, dan kedatangan saya ini bukan seperti yang Om pikirkan! Saya datang sebagai Genta, teman Arnata, sebelum Arnata menikah dengan Kakak saya, saya dan Arnata sudah lebih dahulu mengenal."
Semuanya di ucapkan Genta dengan satu tarikan nafas, terdengar tegas tanpa ada keraguan sama sekali, bahkan Genta tanpa gentar membalas pandangan mata Papa yang begitu tajam yang sering kali membuat keder para rekan beliau.
Namun sepertinya penjelasan Genta sama sekali tidak memuaskan ketidaksukaan Papa akan kehadirannya, semua itu terlihat dari tatapan mata Papa yang semakin mendelik curiga, "gerak-gerikmu ini kayak anak STM yang mau pedekate, Genta! Sekarang jujur jawab pertanyaan saya, kamu datang kesini buat deketin Nata, kan? Ayo jujur! Jangan coba-coba bohong kau sama orangtua!"
Mendengar apa yang terucap dari bibir Papa barusan membuatku sontak melongo, astaga, Papa! Di kira anaknya ini secantik Kylie Jenner apa sampai-sampai akta cerai belum aku dapatkan sudah banyak pria mendekatiku, sungguh aku malu sendiri dengan keparnoan Papa. Dengan pipiku yang sudah merona merah aku menutupinya menggunakan telapak tanganku, andai saja aku bisa aku memilih untuk menenggelamkan diriku ke lantai sedalam mungkin.
"Memangnya saya boleh Om ngedeketin Arnata layaknya pria kepada wanita? Om ngasih izin." Papa menggeram kesal, mungkin jika ada dalam karikatur komik wajah Papa mungkin sekarang memerah dengan asap di kedua telinganya, salah siapa Papa ini, main nanya seenaknya, di ladenin beneran nyaho Papa, walaupun aku sama seperti Papa yang terbelalak dengan jawaban lugas Genta tanpa berpikir panjang, aku lebih menguasai diri di bandingkan Papaku ini, ayolah, mana mungkin Genta berpikiran untuk mendekatiku? Selain calon mantan Kakak iparnya, seorang perwira single sepertinya lebih layak mendapatkan para gadis di luar sana. "Bercanda, Om. Jangan marah!" Tukas Genta buru-buru saat Papa benar-benar ingin menyambitnya dengan selop rumahan.
"Kamu tuh ya, saya itu sedang marah setengah mati sama Kakakmu, kamu tahu, bahkan sekarang saya lagi mikirin gimana cara ngirim Kakakmu ke neraka, sekarang bisa-bisanya kamu becanda dengan entengnya ngomong mau deketin Nata? Kamu juga mau saya kirim ke Neraka jalur ekspress, saya nggak keberatan ngirim kalian berdua sekaligus!"
Dan mungkin Papa benar-benar tidak akan ragu melakukannya andaikan saya aku tidak segera angkat bicara, masalah pelik patah hatiku ini ternyata berimbas besar pada masalah emosional Papa. Menghindari sambitan selop Papa yang mungkin saja bisa melayang tiba-tiba aku menghambur di antara Papa dan Genta, melindungi Genta dari kesewotan Papa yang begitu parah.
"Papa, nggak seharusnya kejengkelan Papa ke Mas Barra di luapin ke Genta, sikap Papa ini benar-benar kekanakan tahu. Kalau Papa mau tahu, Genta orang pertama yang nonjok mantan menantu Papa setelah semua belangnya ketahuan." Tidak mau berdebat dengan Papa lebih lama lagi aku berbalik ke arah Genta, memegang ujung seragamnya tepat di atas pinggangnya dan menariknya untuk pergi, "udah tinggalin saja si Papa dan rencananya yang mau nendang Mas Barra ke kerak Neraka! Yang mau jadi Janda siapa yang sewot siapa!"
Aku terus berjalan, lengkap dengan omelanku menumpahkan kekesalanku pada Papa yang menurutku begitu paranoid sekarang ini mengenai masalahku, reaksi kedua orangtuaku inilah yang sebenarnya aku khawatirkan, aku tidak peduli hatiku tercabik-cabik dan terluka oleh keadaan asalkan jangan orangtuaku yang merasakan kesakitan.
Sungguh aku sangat membenci Mas Barra dengan segala pengkhianatannya dan aku juga membenci diriku sendiri kenapa tidak bisa tampak tegar dan baik-baik saja dengan sempurna agar orangtuaku tidak terus menerus melihatku dengan pandangan iba seolah aku hendak mati menjelang perceraian.
Aku bahkan sampai lupa dengan seorang yang aku seret sedari tadi begitu patuhnya tanpa protes hingga suara Genta menyadarkanku dari lamunan berisi kesedihan dan kekecewaan dan mengingatkanku akan hadirnya. Dan tepat saat aku berbalik menghadapnya sebuah pertanyaan sederhana meluncur dari bibirnya di sertai sorot khawatir.
"Arnata, kamu baik-baik saja?"
Seketika jantungku seolah berhenti berdetak, entah kenapa sudut hatiku tercubit dengan perasaan melankolis saat seseorang menanyakan bagaimana keadaan hatiku, ya hatiku, karena jelas yang di tanyakan oleh Genta adalah hatiku yang hancur, bukan ragaku yang masih utuh namun di dalamnya tercabik-cabik nyaris tidak berbentuk lagi.
Mataku terasa panas saat aku mendongak membalas tatapan mata tajam Genta, sekalipun dia adalah adik dari Barra, mereka berdua sama sekali berbeda, mungkin hal inilah yang membuatku tidak mempermasalahkan hadirnya di hadapanku sekarang, aku benar-benar berharap air mataku tidak jatuh karena itu sungguh memalukan.
Kekhawatiran yang sedari tadi terpancar di matanya semakin menjadi saat melihatku nyaris menangis karena pertanyaannya. "Aku baik-baik saja, Ta. Setidaknya itu yang sedang aku usahakan. Aku tidak boleh hancur hanya karena semua pengkhianatan yang Mas Barra lakukan agar orangtuaku tidak semakin hancur. Rasanya aku terlalu berharga hanya untuk sekedar menangis meraung-raung meratapi nasibku yang di khianati. Tapi terimakasih sudah menanyakan keadaanku, Genta." Walau aku sudah berusaha berbicara seriang mungkin tetap saja kegetiran tidak dapat aku bendung di dalam suaraku, siapa juga sih yang bisa baik-baik saja saat mendapati rumah tangganya mendekati karam? "Jangan merasa bersalah atas apa yang Kakakmu lakukan, Genta. Yang brengsek dia dan Rembulan, bukan kamu, apalagi keluargamu! Jadi please jangan lihat aku dengan pandangan kasihan seperti sekarang, kamu tahu, aku benci di kasihani. Duniaku tidak akan kiamat hanya karena aku menjadi Janda!"