15

13.8K 1.2K 67
                                    

"Aku bahkan menyiapkan hadiah untuk kalian, Rembulan. Bukalah."

Aku mengulurkan map tersebut pada Rembulan, namun belum sampai Rembulan meraihnya Mas Barra sudah terlebih dahulu merebutnya dariku, dengan pandangan marah dan kecewa dia menatapku, "apa maksudnya ini, Nata? Kamu mau menggugat cerai ke Mas? Nggak, Mas nggak akan lepasin kamu, Mas nggak akan pernah menceraikan kamu sekali pun kiamat terjadi sekarang ini, Nat."

Aku terkekeh geli mendapati bagaimana kalutnya mas Barra sekarang ini, hal yang semakin membuatku puas karena kembali aku mendapati kemarahan Rembulan melihat betapa Mas Barra sedari tadi berulangkali menyatakan betapa dia mencintaiku, hal yang sangat bertolak belakang dengan apa yang di ucapkan oleh Rembulan dan di tepis oleh Mas Barra, mungkin aku ada bakat seorang psikopat karena nyatanya aku sangat menikmati segala kerusuhan yang terjadi didepan mataku sekarang ini, dengan perasaan gemas hingga rasanya aku ingin sekali menampar Mas Barra sampai dia berpaling seperti yang di lakukan Ibu Mertuaku terhadap Maduku, aku harus berpuas diri menepuk pipi suamiku dengan pelan.

"Astaga, siapa sih yang mau minta cerai, Mas. Nggak ya, Mas. Coba deh kalian buka dan baca berdua isi map yang sudah Nata siapkan." Walau hatiku sudah begitu jijik kepada Mas Barra yang sudah begitu tega berkhianat kepadaku, tapi untuk memuluskan segalanya aku meraih tangan Mas Barra sembari menatapnya penuh permohonan dan damba yang selalu aku perlihatkan kepadanya seolah dia masih tetap pahlawanku tempatku menyandarkan hati. "Nata harap Mas mau ya menerima semua hal ini, Mas harus janji ke Nata. Nata nggak minta muluk-muluk kok, cuma minta Mas menerima semua hal ini sama seperti Nata yang bersedia menerima Madu Nata bahkan anak Mas."

Ada kebingungan tersirat di wajah suamiku, sudah jelas dia takut aku akan meminta yang aneh-aneh darinya, tapi di bawah tatapan intimidasi seluruh keluarganya, bisa apa Mas Barra.

"Jangan mau Mas! Ini perempuan anak mantan Jaksa Agung pasti punya rencana buruk!"

Menimpali perkataan menyebalkan Rembulan, Mitha yang sedari tadi diam kini menarik tangan Ibu satu anak tersebut untuk duduk menjauh, dengan jemari yang ada di bibirnya Mitha berujar dengan sewot, "ssstttttt, benalu kayak Lo mending diem aja, yang di ajak ngomong lakinya si Nata, Lo tahu nggak, setiap kalimat yang Lo ucapin kedengeran kayak sampah di telinga kita semua!"

Kicep, kembali untuk kesekian kalinya Rembulan di dorong hingga ke sudut tanpa ada kesempatan untuk membela diri di tampar dengan kesalahannya yang sangat fatal.

"Udah bagus kamu nggak di seret dan di permalukan oleh istrimu, Bar. Kalau perempuan lain, sudah pasti kamu akan di permalukan di tempat umum tanpa segan menelanjangi kebusukanmu tanpa memikirkan bagaimana perasaan Orangtuamu. Kalau kamu masih punya otak, seharusnya kamu bersujud meminta maaf di kaki istrimu, Barra! Alih-alih memperkarakanmu dan selingkuhanmu yang mulutnya kurang ajar ini, Nata hanya meminta kamu menerima apa yang di berikan."

Ayah mertuaku yang sedari tadi hanya diam, berusaha menenangkan Ibu mertuaku yang terengah-engah karena emosi kini angkat bicara, walau pun Ayah mertuaku tidak berteriak-teriak marah seperti Ibu di dalam gurat tua yang terlihat wajah beliau menyimpan luka dan kekecewaan yang teramat besar terhadap putra sulungnya, dan saat beliau melihat ke arahku seketika beliau langsung menunduk seolah malu dengan perbuatan putranya yang tidak termaafkan.

Aku beralih menatap Mas Barra menunggu jawaban darinya yang langsung aku dapatkan, "Mas akan mengabulkan apapun yang aku minta selain sebuah perceraian, Arnata. Kamu meminta Mas menerima hadiah ini, maka Mas akan menerimanya seperti yang kamu inginkan." dan detik berikutnya dia mengangguk setuju sembari berujar pelan, serta membawa map yang ada di tangannya menuju kursi di mana Rembulan duduk, hal yang melegakan dari semuanya adalah di tengah suasana yang sangat tidak kondusif ini, Mbok Giyem, pembantu yang mengikutiku sejak 5 tahun lalu sudah membawa pergi Arisa seperti yang di perintahkan oleh Genta, karena aku bisa menebak dalam hitungan ketiga pasca map tersebut di buka, perempuan tidak tahu malu ini akan meledak dalam kemarahan.

Persetujuan Pemindahan Aset Bersama Yang Di Miliki Selama Pernikahan untuk melindungi hak Istri.
Saya, Barra Prawiranegara, yang setelah ini akan di sebut pihak I, dengan sadar memberikan persetujuan Pemindahan semua aset bergerak dan tidak bergerak yang kami berdua miliki selama lima tahun pernikahan kami kepada istri sah saya, Arnata Dewani, yang setelah ini akan di sebut pihak II.

Ada pun aset yang akan pihak I pindahkan atas nama pihak II adalah sebagai berikut:

1. Rumah hadiah pernikahan dari Prayoga Sadewa untuk Arnata Dewani dan Barra Prawiranegara.
2. 1 Villa di kawasan Bogor
3. 5 unit ruko di kawasan Kemang
4. Kontrakan 15 pintu di Grogol Petamburan.
5. Apartemen type studio di Menteng Park dan juga Taman Semanggi.
6. Seluruh saham di cloting line Nata Clothes dan juga Nata Kopi.
6. 1 unit Pajero Sport dan 1 buah Fortuner.
7. Seluruh Tabungan, Giro, deposito, saham, dan surat berharga atas nama Barra Prawiranegara.

Seluruh harta bersama yang di dapatkan dalam pernikahan ini pihak I serahkan kepada pihak II dengan sadar dan tanpa paksaan sebagai nafkah lahir kompensasi atas pernikahan kedua pihak I yang di lakukan secara diam-diam tanpa seizin pihak II.
Jika satu waktu nanti terjadi perceraian tidak peduli  pihak  mana yang menggugat, dengan surat perjanjian ini maka pihak I tidak bisa menuntut pembagian segala aset yang sudah di balik nama atas pihak II.

"APA-APAAN INI, SIALAN?" Suara pekikan keras dari Rembulan kembali bergema di dalam ruang keluargaku, dengan beringas dia meraih kertas yang di bawa Mas Barra dengan kebekuan yang sulit untuk di artikan tatapan matanya saat memandangku, dan langsung menyobeknya menjadi serpihan kecil sembari mendelik rakus kepadaku. "Apa maksudmu memberikan kami berdua hadiah yang isinya mengambil semua aset yang di miliki Mas Barra, haah? Dasar perempuan kaya tamak! Sekarang topeng serakahmu terbuka, Arnata, kamu tidak sesuci yang orang-orang puja. Semua yang Mas Barra ingin kamu kuasai hanya menyisakan gajinya yang tidak seberapa! Kamu pikir hanya karena Orangtuamu berpengaruh kamu bisa seenaknya, Arnata?! Aku juga istri Mas Barra, aku berhak atas apa yang Mas Barra miliki dan hendak kamu kuasai itu! Kamu kira aku Sudi menyerahkan semua milik Mas Barra untuk kamu kuasai sendirian, aku tidak akan membiarkan hak anakku kamu rebut, Arnata!"

Rembulan ini sepertinya memang butuh kaca besar untuk bercermin dan tahu siapa yang seralah dan tamak di sini.

"Hak apa, Rembulan? Seorang anak yang lahir di luar pernikahan sah tidak berhak menuntut harta apapun dari Ayahnya!" Cemoohku dengan begitu tenang, kontras dengannya yang kini menjulang tinggi penuh kemarahan karena aku baru saja menyinggung status anak yang dia banggakan dan membuatnya merasa menang dariku. "Tanya suami kita jika kamu mau tahu penjelasannya, lagi pula harta apa yang kamu tuntut dari Mas Barra, walau judul berkasnya pemindahan aset, semua harta yang aku minta adalah milikku, aku mengatasnamakan saat pembelian karena aku menghargai suamiku, jika aku meminta tabungan, deposito, dan juga giro yang Mas Barra miliki, itu wajar Rembulan karena lima tahun tidak sekali pun aku meminta hak lahirku atas nafkah dari Mas Barra! Kamu tidak percaya dengan apa yang aku katakan, tanya pada suami kita!"

Rembulan tercengang, benar-benar ternganga tidak menyangka mendengar semua fakta yang aku beberkan tanpa ada satu orang pun Prawiranegara di ruangan ini yang membantah.

"Aku sudah bilang kan tadi beberapa saat lalu, sebagai istri itu harus siap menemani suami bahkan di saat terjatuh sekali pun. Sekarang kamu mau Mas Barra, kan? Ya itu Mas Barra yang sesungguhnya, dengan gaji bulanan yang bisa kamu hitung sendiri berapa, aku sudah menemaninya menjadi seorang Raja selama lima tahun ini, dan sekarang giliranmu, Rembulan."

Luka dan ObatnyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang