Luka dan Obatnya sudah rilis on playbook ya, yuk yang mau baca full part bisa melipir.
Happy reading semuanya.
Enjoyy"Jangan merasa bersalah atas apa yang Kakakmu lakukan, Genta. Yang brengsek dia dan Rembulan, bukan kamu, apalagi keluargamu! Jadi please jangan lihat aku dengan pandangan kasihan seperti sekarang, kamu tahu, aku benci di kasihani. Duniaku tidak akan kiamat hanya karena aku menjadi Janda!"
Genta menggeleng pelan, tidak setuju dengan apa yang baru saja aku katakan. "Aku tidak sedang mengasihani dirimu, Ar. Aku tahu kamu lebih kuat daripada yang terlihat, aku hanya tidak suka kamu berulangkali menyebut status yang akan tersemat, Janda! Seperti yang kamu katakan, status itu bukan akhir dari segalanya dan bukan sesuatu yang buruk."
Aku tersenyum kecil, lucu sekali melihat seorang pria berseragam sepertinya tampak seperti anak kecil yang berusaha menjelaskan lawan bicaranya agar tidak tersinggung, untuk sejenak aku merasa terlempar pada ingatan 10 tahun lalu, waktu di mana aku dan Genta tengah berlatih paskibraka dengan banyak orang lainnya, berpeluh di bawah panggangan sinar matahari, siapa sangka ucapan Genta yang mengatakan jika dia ingin seperti Ayahnya untuk menjadi seorang Tentara benar terkabul, bahkan tidak tanggung-tanggung, Genta lolos menjadi seorang Prajurit TNI melalui jalur Akmil, satu prestasi yang ternyata membuat kakaknya sendiri iri merasa terkalahkan.
"Makasih sudah mengerti, Ta." Ucapku tulus, "lupakan soal statusku yang sangat tidak penting dan juga Papaku yang sedang senewen. Aku ingin tahu apa tujuanmu datang kesini, Genta? Ada sesuatu yang penting yang mau kamu bicarakan?"
Genta tidak langsung menjawabnya, tapi dia justru meraih sesuatu dari saku celananya dan saat dia menyorongkan kotak panjang dengan beludru merah, seketika hatiku kembali berdenyut nyeri karena aku tahu apa isinya.
"Ibu minta kamu nyimpen ini, Ar."
Mataku terpaku, berkaca-kaca menahan air mata yang hendak turun saat melihat sebuah gelang dan kalung dengan model sederhana namun begitu indah tersebut, "Ibu bilang ini milikmu."Aku mengusap air mataku yang menetes tanpa bisa aku cegah, melihat perhiasan hadiah dari ibu mertuaku yang aku kembalikan tepat di saat aku meminta cerai dari Mas Barra di hadapan keluarganya membuatku serasa berhadapan dengan Ibu kembali, sungguh aku sangat menyayangi beliau layaknya aku menyayangi Mama, beliau adalah sosok mertua yang penyayang tidak seperti kebanyakan mertua dalam vt sosial media yang kejam, kebaikan beliau dan rasa sayang beliau kepadaku yang begitu besar terlihat sekali dari bagaimana begitu memohon maaf atas ulah putranya yang sudah mengecewakanku, mungkin jika mertua lainnya, tidak peduli anak mereka bersalah, tetap saja akan di bela.
"Tapi Genta, aku bukan lagi menantu dari keluarga kalian." Aku kembali mendorong kotak beludru tersebut, berusaha mengembalikan pada Genta namun tangan besar tersebut menahan kotak tersebut membuatnya sama sekali tidak bergerak, "Ibu bilang kedua perhiasan ini adalah pusaka keluarga kalian yang di berikan pada menantu, istri Kakakmu yang berhak menerimanya, Genta. Aku sudah tidak berhak memilikinya, aku mengembalikannya sama seperti aku menyerah atas Kakakmu, jika ada yang berhak memilikinya sekarang ini orang itu adalah Rembulan, istri Kakakmu sekarang."
Sorot mata Genta seketika berubah mendengar penolakanku, mata coklat dengan pandangan tajam nyaris menghunus tersebut menatapku lekat, tidak ada lagi senyuman di wajahnya yang membuat Genta tampak sama sekali berbeda saat menunjukkan powernya yang tidak bisa di bantah. "Menurutmu setelah semua yang terjadi kamu mengira kami mau menerima mereka berdua, Arnata?"
Glek, aku tidak tahu. Aku tidak tahu apa yang terjadi kepada Mas Barra maupun Rembulan dan anaknya usai pertemuan hari itu di mana kami akhirnya aku memutuskan untuk bercerai. Mereka semua keluar dari rumahku bersama-sama namun aku tidak tahu bagaimana hubungan Mas Barra dan keluarganya setelahnya.
Sekali pun aku kembali bertemu dengan orangtua Mas Barra beberapa waktu lalu saat beliau berdua datang untuk menemui orangtuaku demi meminta maaf atas kesalahan Mas Barra, tidak sedikit pun aku menyinggung tentang mantan suamiku tersebut.
Namun sekarang mendapati sorot marah dari Genta, aku tahu hancurnya hati orangtuanya atas pengkhianatan Mas Barra sama besarnya seperti yang aku rasa hingga mereka pun memutus hubungan seperti yang aku lakukan.
Entah aku harus senang atau sedih mendapati fakta ini. Aku senang karena Mas Barra dapat balasan yang setimpal, di buang oleh keluarganya sendiri dan itu pasti sangat menyakitkan, tapi di sisi lainnya aku sedih mendapati kedua orangtua yang aku sayangi layaknya kedua orangtuaku sendiri harus merasakan kecewa yang sangat mendalam karena aku mengadukan ulah putra mereka. Sungguh terkadang aku merasa begitu buruk karena bukan wanita tangguh yang sanggup menyimpan lukaku sendirian bertahan dalam ikatan agar orang-orang terdekatku tidak bersedih.
Aku tidak sesabar istri dalam drama hidayah. Hatiku sudah terlanjur hancur mendapati suamiku berkhianat hingga tidak bisa menahan diri untuk membalas luka ini sama sakitnya kepada mereka yang menorehkan.
Salahkah aku karena tidak bersabar dan membuka semuanya, entahlah, aku mengakui jika aku egois soal hati dan cinta. Aku tidak mau dan tidak ingin membaginya dengan siapapun.
Aku kembali larut dalam pemikiranku sendiri sampai aku lupa, jika sosok Letnan Satu berwajah tampan ini masih ada di hadapanku, semakin gusar mendapati aku yang termenung tanpa bisa aku cegah, bibirku boleh mengatakan jika aku baik-baik saja, tapi kenyataannya aku begitu mirip dengan seorang yang tengah depresi.
"Arnata, aku tidak tahu apa yang akan aku katakan ini meringankan lukamu atau tidak, tapi Kakakku bukan hanya mengecewakanmu melainkan juga orangtuaku, Arnata. Kami sekeluarga bukan orang yang kaya akan materi, aku dan Mas Barra tumbuh di lingkungan militer yang bersahaja, selama aku hidup orangtuaku selalu mengajarkan pentingnya menjadi manusia yang terhormat dan bermartabat walau ekonomi kami membuat kami di pandang sebelah mata. Hanya kehormatan yang kami miliki dan Kakakku sekarang telah menghancurkannya hingga Ayah dan Ibu bahkan tidak hentinya menangis. Beliau berdua benar-benar merasa bersalah terhadapmu, Arnata."
Aku menutup kedua mataku yang membanjir dengan air mata menggunakan telapak tangan, bukan hanya orangtua Genta yang bersedih, aku pun sama terlukanya mendengar mereka menangisiku. Tidak ada hal yang lebih aku inginkan sekarang daripada menemui beliau berdua dan memeluk Ibu mertuaku dengan erat mengatakan betapa beruntungnya aku memiliki beliau.
"Kamu bagi Ayah dan Ibuku bukan sekedar menantu, tapi juga putri untuk mereka. Seorang anak perempuan yang bertemu mereka di saat sudah dewasa namun menyayangi beliau berdua sepenuh hati layaknya orangtua kandungmu sendiri. Mendapati kamu akan memutus hubungan apapun yang berkaitan dengan Mas Barra membuat mereka hancur, Arnata. Lebih hancur lagi karena yang sudah menyakitimu adalah putra mereka."
Sebuah usapan pelan aku dapatkan di punggungku, menenangkan bahuku yang terguncang karena isakan yang tidak bisa aku kendalikan, perasaan kehilangan orangtua seperti yang tengah aku rasakan pada mertuaku ini yang membuatku semakin membenci Mas Barra dan Rembulan.
Dua orang yang egois dalam nama cinta hingga mengesampingkan betapa banyaknya hati yang terluka, bukan hanya aku yang hancur berkeping-keping, tapi juga dua pasang orangtua yang meratapi kandasnya rumah tangga anak-anaknya.
Aku benar-benar membenci para pengkhianat tersebut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Luka dan Obatnya
RomansArnata Dewani, istri dari seorang Barra Prawiranegara, sang Jaksa Penuntut Umum yang terkenal merasa jika hidupnya sebagai seorang wanita begitu sempurna. Hidup menjadi seorang Nyonya yang segala fasilitasnya terpenuhi, lengkap dengan suami yang san...