Empat

14.2K 1.1K 32
                                    

"Silahkan tolong sampah itu jika kamu mau say goodbye dengan kariermu, Mas Barra!"

Aku memandang sinis suamiku, wajahnya yang pucat dan gugup penuh dengan rasa bersalah mengerling ke arah anak perempuan yang tadi memanggilnya Papa dengan begitu akrabnya, untuk sekejap aku mengira dia akan menolong anak kecil bernama Arisa tersebut, namun ternyata aku keliru, walau tatapan penuh penyesalan karena tidak bisa menolong anak kecil yang menurut Rembulan adalah anak dari Mas Barra, Mas Barra memilih mengikutiku masuk ke dalam rumah.

Tepat sebelum pintu rumah tertutup, aku bisa melihat bagaimana pandangan pilu Rembulan dan juga Arisa, sungguh jika yang di sakiti Rembulan adalah orang lain mungkin aku akan berbelas kasihan melihat keadaannya yang menyedihkan sekarang, terusir setelah dengan pongah dan percaya dirinya dia akan menjadi Nyonya di rumah ini usai menyingkirkanku, sayangnya di sini akulah yang di sakitinya, aku yang ingin Rembulan singkirkan usai bertahun-tahun dia bermain gila dengan suamiku.

Ngomong-ngomong tentang suamiku, pria yang sebelumnya aku jadikan poros dunia dan sumber bahagiaku ini kini turut mengikuti langkahku masuk ke dalam rumah, meninggalkan begitu saja perempuan yang dari tadi koar-koar adalah seorang yang di cintai Mas Barra hingga memiliki anak sebagai bukti betapa kuatnya cinta mereka.

Sungguh, membayangkan selama ini aku di sentuh pria yang juga menyentuh perempuan lain membuatku jijik pada diriku sendiri, rasa jijik yang melampui rasa kecewa dan luka yang aku rasakan. Rasa jijik yang memadamkan api cintaku dalam sekejap, di dunia ini jika ada hal yang sama sekali tidak bisa aku maafkan adalah sebuah pengkhianatan dan juga seorang yang mencoba memanfaatkanku, dan kedua hal ini sepertinya telah di lakukan pria yang aku cintai ini.

Berusaha memendam semua rasa yang kini berkecamuk di dalam dadaku dan membuatku menggila, aku memilih duduk, rasanya aku nyaris ambruk tidak kuat berdiri lebih lama, ya sekuat-kuatnya diriku aku tetaplah manusia biasa, di kecewakan dan mendengar semua yang di katakan Rembulan layaknya sambaran petir di tengah hari yang terik, aku tahu mendengar penjelasan dari Mas Barra hanyalah membuang-buang waktu, hal yang sama sekali tidak berguna karena sudah pasti yang aku dengar adalah penyangkalan, tapi idiotnya manusia adalah melakukan hal-hal yang sudah pasti akan menambah perihnya luka.

"Nata......" Mas Barra hendak mendekatiku, tapi aku segera mengangkat tanganku menghentikannya untuk mendekat karena aku sudah terlanjur jijik duluan kepadanya.

"Jadi....." Ujarku pada Mas Barra yang kini duduk di hadapanku, gelisah dan resah mendapati sikap dingin dan penolakanku, itulah yang terpatri jelas di wajahnya saat aku bertanya, menuntut penjelasan. "Benar yang di katakan oleh Rembulan tadi? Kalian berdua tidak sekedar bersahabat, tapi juga partner di ranjang hingga dengan tega kalian bersama di saat kamu sudah menikahiku?"

Jika sebelum kejadian hari ini seorang Arnata Dewani adalah wanita yang begitu manja kepadanya, seorang yang selalu Mas Barra sebagai kucing manis karena selalu bergelung kepadanya tidak mau lepas, maka Mas Barra kali ini kembali menemui seorang Arnata yang sama seperti Arnata yang di temuinya di kali pertama kami bertemu di kampus, sosok Arnata yang dingin dan tidak tersentuh bahkan oleh Mala idaman sepertinya dirinya yang terkenal di antara kalangan mahasiswa.

Seorang istri bisa memberikan dunia beserta seluruh isinya saat dia di berikan setitik cinta oleh suaminya, namun seorang istri juga bisa memberikan segunung sampah pada seorang suami yang dengan mudahnya melempar kotoran di atas percaya yang di berikan sang istri.

Aku sudah lelah mendengar tangisan penuh drama Rembulan dan anaknya dan sekarang aku ingin Mas Barra memberikan jawaban tanpa berbelit-belit.

Namun jawaban yang aku tunggu dari Mas Barra tidak kunjung aku dapatkan, Mas Barra hanya diam sembari menunduk tidak berani menatapku, entah pergi kemana keberaniannya yang selalu dia perlihatkan di ruang sidang di depan mereka yang di jadikan tersangka, karena sekarang di hadapanku suamiku tidak lebih dari mereka para pesakitan yang tidak bisa mengelak.

"Katakan pada Nata jika semua yang Rembulan katakan itu adalah bohong, Mas Barra. Katakan padaku jika Mas tidak akan berbuat semenjijikkan ini dengan mengkhianatiku, katakan pada Nata bahwa Mas mencintai Nata tulus tanpa ada embel-embel memanfaatkan seperti yang di katakan Rembulan! Tolong sangkal ucapan Rembulan yang mengatakan jika Anak kecil tadi adalah anak kalian, Mas."

Sayangnya bukan penyangkalan seperti yang aku inginkan, aku sudah melihat kenyataan di depan mataku saat melihat betapa miripnya Arisa dan Mas Barra, tapi dengan bodohnya aku justru berusaha menghibur diriku dengan harapan bahwa semuanya hanyalah kebohongan.

Mas Barra jatuh berlutut tepat di bawah kakiku, hal yang langsung membuatku menangis mendapati memang benar aku di khianati dengan begitu tragisnya. Sosok yang aku cintai semenjak aku menjadi Maba dan di bantu Papa segenap hati agar menjadi seorang Jaksa nyatanya tidak lebih dari seorang yang mempunyai yang begitu busuk.

"Maafkan Mas, Nata. Maafkan Mas atas ketamakan Mas yang sudah menyakitimu."

Blammm, wajahku langsung pias seketika, mentari cerah yang sebelumnya bersinar begitu terang di dalam hidupku kini redup menghilang meninggalkan hariku yang mulai sekarang begitu gelap. Vonis mati yang sebelumnya di berikan oleh Rembulan kini kembali di kuatkan oleh suamiku sendiri.

"Tapi percayalah, ini semua tidak seperti yang kamu pikirkan, Nat." Mas Barra masih berusaha meraih tanganku, tapi rasa jijik yang aku rasakan terhadapnya yang sudah mengakui pengkhianatan yang dia lakukan menjalar hingga membuatku bergidik, kini aku bahkan sama sekali tidak peduli dengan tatapannya yang mengiba memohon ampunan. "Yang di katakan Bulan tidak sepenuhnya benar, Nata. Kamu harus dengar penjelasan Mas."

"Apalagi yang harus aku dengar, Mas Bara?!" Teriakku histeris, emosiku kini meluap bak air bah, vas bunga yang aku beli saat kami liburan di Turki kini melayang ke ujung ruangan, sama seperti yang aku rasakan sekarang, vas tersebut pun hancur berkeping-keping, Mas Barra ingin tahu bagaimana gambaran hatiku, maka seperti vas hancur itulah perumpamaan yang tepat. "Apa yang harus dengar dari bibir Mas? Apa aku harus mendengar seberapa besar cinta yang kalian berdua miliki hingga sanggup membohongiku, aku mempercayaimu Mas saat kamu mengatakan Rembulan adalah sahabatmu yang harus aku jadikan sahabat juga. Aku percaya saat kamu mengucapkan cinta seumur hidup kepadaku tanpa perlu aku khawatir cintamu akan tergadai, Mas. Tapi apa yang aku dapatkan sekarang? Lima tahun kamu memintaku menunda untuk memiliki anak dengan alasan kariermu belum mapan dan sekarang tiba-tiba saja seorang yang sudah aku anggap sahabat datang membawa anak kalian! Kamu tahu Mas, bunuh saja aku langsung Mas daripada harus mendengar kisah pengkhianatan kalian yang sangat menjijikkan!"

Luka dan ObatnyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang