"Jangankan Arisa, Rembulan saja akan aku terima menjadi maduku, Mas Barra. Jangan khawatir, aku tidak memintamu menceraikan Rembulan karena kamu pasti tidak tega, aku justru mengizinkanmu dalam pernikahan keduamu, Mas!"
"........"
"Bagaimana, baik bukan istri cantik dan sempurnamu ini? Nata akan berlapang dada menerima pernikahan kalian, dan tutup mulut sebaik mungkin karena Nata tahu karier Mas di pertaruhkan di sini."
Mas Barra ternganga, berulangkali dia mengerjap seolah meyakinkan dirinya sendiri akan apa yang baru saja di dengarnya, sungguh menggelikan bagaimana ekspresinya sekarang ini, Mas Barra nampak sekali ingin berteriak kegirangan namun dia berusaha payah menahannya karena takut keliru mendengar.
Huuuhh, rasanya aku ingin sekali menampar wajah tampannya sekarang ini, raut wajahnya menjelaskan lebih banyak daripada setiap dusta yang terucap dari bibirnya, tentang dia yang akan menyingkirkan Rembulan sudah jelas itu hanya omong kosong untuk menyelamatkan kariernya yang ada di dalam genggaman tanganku.
Hatiku memberontak, terasa tercabik-cabik mendapati bagaimana busuknya suamiku, namun akal sehat dan logikaku membuatku bertahan, bukankah seorang pemenang adalah mereka yang bisa mengendalikan permainan, daripada aku menghabiskan waktu untuk menangisi Mas Barra dan memohon-mohon padanya untuk meninggalkan Rembulan di tambah harus merawat anak haramnya, lebih baik aku yang menggenggam semua pengkhianat tersebut dalam permainanku.
Dan permainan itu baru saja aku mulai, Mas Barra dan Rembulan bersikap begitu jahat padaku, maka akan aku tunjukkan pada mereka bagaimana seorang penjahat jika di usik.
"Nata, kamu nggak salah ngomong?! Mas nggak salah dengar ini?" Masih dengan senyum palsu yang kini menjadi topeng yang melekat erat aku mengangguk, penegasan dariku ini tentu saja membuat raut wajah bahagia yang sebelumnya ragu-ragu untuk Mas Barra keluarkan kini bersinar begitu cerahnya.
"Mas nggak salah dengar kok, setelah Nata pikir-pikir lagi kasihan Arisa anak Mas itu, hanya menjadi anak seorang ibu tanpa ada status Ayahnya kasihan sekali Arisa ini terlepas dari caranya yang salah untuk hadir di dunia Nata rasa Arisa tidak layak menanggung kebencian Nata, aaaahhh sudahlah, setelah emosi Nata reda sekarang Nata sudah bisa berpikir jernih, untuk apa Nata marah-marah nggak jelas pada Mas dan kenyataan jika Nata bukan satu-satunya toh selama ini Nata tetap prioritas Mas Barra, kan?"
Urrrggghhhh, sungguh rasanya aku ingin muntah saat setiap kata yang terucap melewati bibirku, kebohongan yang sangat manis dan membuatku semakin mual saat Mas Barra mengangguk bersemangat sembari meraih kembali tanganku dan memberinya sebuah kecupan penuh cinta di matanya yang menyorot culas.
"Cuma kamu yang Mas sayang, Nata. Rembulan hanyalah sahabat yang membebaniku, Mas berhubungan dengannya hingga sekarang cuma karena hadirnya Arisa, tidak lebih. Jadi terimakasih ya sayang sudah mau mengerti, Mas. Terimakasih sudah sayang ke Arisa. Mas benar-benar tidak salah menjatuhkan hati Mas kepada wanita sesempurna kamu, Arnata. Sudah pasti Arisa akan luar biasa beruntung mendapatkan kamu sebagai ibunya."
Aku tersenyum begitu manis saat Mas Barra mencium dahiku walau aku harus susah payah menahan mual, entah pergi kemana otak pintar Mas Barra sebagai seorang Jaksa hingga dia tidak menyadari aku yang hanya berpura-pura, bahkan menganggap apa yang aku lakukan sebagai bentuk sarkasme saja tidak. Sungguh konyol sekali seorang yang sudah di landa cinta hingga tidak mencurigai perubahan yang terlalu mendadak. Rupanya rasa bahagia mendengar aku memberikan izin membuat Mas Barra terlena.
Yah, semua sandiwara ini harus aku perankan jika ingin membalas semua sakit hatiku. Mas Barra bermanis-manis untuk mendapatkan semua yang kini di genggamnya, dan aku juga akan bermanis-manis terlebih dahulu sebelum menghancurkannya.
"Jadi, tunggu apalagi, Mas. Kabarkan hal baik ini pada Rembulan, dia ingin tinggal juga di rumah inikan, sudah pasti dia akan senang mendengar aku memberikan restuku untuk kalian berdua. Katakan pada Rembulan aku meminta maaf atas apa yang aku lakukan tadi, tidak sepantasnya aku memaki dan mengusirnya karena memang benar dia berhak atas harta yang kamu miliki, tolong beritahu dengan jelas pada Maduku jika dia boleh memilikimu tanpa aku marah seperti tadi."
Kembali Mas Barra terbelalak di balik wajahnya yang bersinar bahagia mendapati perubahanku yang sangat drastis. Tapi tak pelak dia pun berucap dengan suara yang bergetar bahagia.
"Kamu bahkan ngizinin Bulan sama Arisa tinggal di rumah ini, Nat? Kamu serius bolehin mereka tinggal di sini?!"
Aku tersenyum kembali, tidak mengangguk maupun menggeleng untuk menanggapi apa yang Mas Barra ingin pastikan, karena nyatanya segala sesuatu yang aku ucapkan sangat bertolak belakang dengan hatiku yang meraung jijik, jangankan berbagi atap dengan seorang sahabat yang sudah mengkhianatiku, bertatap muka saja aku tidak sudi.
"Harta yang kamu miliki Rembulan juga berhak untuk memilikinya, Mas. Kasihan sekali dia itu, sudah di sembunyikan selama bertahun-tahun sama kamu, mau hidup di rumah yang layak saja dia mesti marah-marah toxic kayak tadi siang, seandainya Rembulan ngomong baik-baik tanpa harus ngolok-olok aku mungkin aku tidak akan seterkejut ini bahkan sampai menampar dan memukulnya."
Aaahhh, jika saja aku mau mencoba untuk casting pemain sinetron mungkin aku akan lolos dengan gemilang karena kepura-puraanku yang begitu sempurna, tidak peduli aku bibirku gatal ingin sekali mencabik-cabik dua manusia tidak tahu diri ini nyatanya aku masih bisa menahan semuanya dibalik sandiwaraku.
Luka ini benar-benar membuatku menggila.
"Lebih baik kamu segera menemuinya, Mas. Kali ini kamu tidak perlu bersembunyi dariku untuk menemuinya di mana pun dia berada sekarang, lebih cepat lebih baik."
Ya, lebih cepat rencanaku untuk membalas perbuatan hina mereka terlaksana semakin cepat aku menyelamatkan kewarasanku yang sudah di lukai oleh mereka.
"Maafin Mas, Sayang." Kembali ucapan maaf keluar dari bibir Mas Barra saat dia memelukku, hal yang membuatku mencibir dalam diamku menerima perlakuannya, "maaf karena tanpa kamu ketahui Mas sudah menduakanmu, andaikan saja Mas tahu betapa luar biasanya istriku yang berbesar hati ini, Mas tidak akan berbohong kepadamu, Arnata. Sekali lagi. Maafin Mas yang sudah ngecewain kamu ya, Nat. Mas janji ini adalah terakhir kalinya Mas ngecewain kamu dan bikin kamu kecewa. Dan Mas juga berjanji hadirnya Bulan tidak akan mengubah perhatian Mas ke kamu sedikit pun."
Bullshit, sungguh manis ucapan buaya. Menjijikkan. Cinta, omong kosong cinta yang terucap dari seorang pengkhianat.
"Udah Mas jangan peluk terus! Buruan berangkat, Nata juga mau nyiapin sesuatu sebagai bentuk permintaan maaf atas apa yang sudah Nata lakukan ke Rembulan dan anak Mas." Ucapku sembari mendorongnya, sangat enggan lebih lama bersentuhan lebih lama dengan seorang yang sudah menjamah wanita lain.
Sayangnya Mas Barra yang sudah di mabuk bahagia sama sekali tidak menaruh curiga terhadap kejutan yang akan aku berikan.
"Mas pergi dulu ke apartemen Arisa ya, Sayang. Dia pasti akan senang mendengar kabar ini, sudah lama Ais ingin memperkenalkan Mas sebagai Papanya di hadapan teman-temannya. Kamu benar-benar istri terbaik, Arnata."
Istri terbaik? Desisku marah saat menatapnya beranjak pergi, istri terbaik namun kamu begitu tolol sudah berani mengkhianatiku. Melihat mobil Mas Barra yang sudah menghilang di balik pagar membuatku turut beranjak.
Aku benar-benar akan menyiapkan kejutan untuk maduku tersebut, dan akan aku pastikan, baik Rembulan maupun Mas Barra, mereka akan kejang-kejang saat membuka hadiah istimewaku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Luka dan Obatnya
Storie d'amoreArnata Dewani, istri dari seorang Barra Prawiranegara, sang Jaksa Penuntut Umum yang terkenal merasa jika hidupnya sebagai seorang wanita begitu sempurna. Hidup menjadi seorang Nyonya yang segala fasilitasnya terpenuhi, lengkap dengan suami yang san...