Dua

15K 1.2K 57
                                    

"Usir dua orang menjijikkan ini dari rumahku, Mas Barra. Lakukan sekarang atau kamu mau Polisi yang melakukannya, silahkan pilih."

Pandanganku menatap tajam pada Suamiku, seumur hidup baru kali ini aku merasakan kebencian yang amat sangat, semua yang terjadi di depan mataku terlalu menjijikkan untuk menjadi sebuah kenyataan.

"Arnata....." Aku mendengar Mas Barra memanggil namaku, namun aku lebih memilih berbalik, tidak sudi rasanya aku mendengar namaku terucap dari bibirnya yang seorang yang pengkhianat. "Ini semua nggak kayak yang kamu pikirkan, Ta. Mas bisa jelaskan semuanya."

"Mau sampai kapan kamu mau nyembunyiin aku sama Arisa, Mas? Bertahun-tahun aku diam saja jadi yang kedua dalam hidupmu!" Desisan sinis sama sekali tidak bisa aku sembunyikan saat seorang yang dengan lancang dan kerasnya mendeklarasikan akan merebut suamiku berujar tanpa tahu malu, di sini seharusnya aku yang marah, namun Rembulan dan otaknya yang tidak memiliki syaraf malu justru yang bersikap seolah dia adalah korban.

Aku berbalik kembali, ingin melihat bagaimana manusia tidak tahu malu ini bermain drama menjijikkan, dan benar saja tangisnya keluar bak air bah sembari memukuli Mas Barra, aku diam di tempat ingin melihat sejauh mana manusia sampah ini sudah mengkhianatiku bak orang bodoh.

"Aku diam saja melihatmu menikahi Arnata karena kamu bilang hanya Papanya yang mampu memuluskan jalan kariermu, aku menerimamu menikahinya secara sah sementara aku, aku yang mencintaimu sejak kecil hanya kamu nikahi secara siri! Aku yang sudah memberikanmu anak harus diam bersembunyi layaknya seorang simpanan! Aku sudah tidak mau bersembunyi lagi, Mas. Kamu meminta waktu lima tahun dariku dan sekarang aku sudah tidak mau menundanya lagi, aku butuh status yang jelas sebagai istri sahmu seperti yang kamu janjikan dulu, dan Arisa, Mas, dia butuh kamu sebagai Papanya. Kamu sudah memiliki segalanya dan sekarang jangan salahkan aku karena menagih janjimu, Mas Barra."

Sungguh bolehkah aku tertawa sekarang, apalagi yang lebih menyakitkan dari pada sebuah fakta jika aku tidak pernah sepenuhnya di cintai oleh suamiku sendiri? Kami berpacaran layaknya pasangan normal lainnya namun nyatanya aku di nikahi hanya karena sekedar untuk sebuah karier yang mulus.

Aku menggeleng pelan, sosok tampan yang selalu aku banggakan di setiap pertemuanku dengan semua orang tidak lebih dari sebuah penjilat yang menjijikan. Sebuah alasan masuk akal yang sangat menyakitkan kenapa selama ini Mas Barra selalu memintaku menunda momongan.

"DIAM KAMU, LAN!!!" Bentakan keras dari Mas Barra membuat Rembulan yang masih terus menerus mengomel tanpa tahu malu terdiam seketika, matanya membelalak tidak percaya mendengar Mas Barra kini menatapnya penuh kemurkaan. "Sekarang pergi dari rumah Arnata, kita selesaikan semuanya nanti! Bawa Arisa dan segera pergi dari sini."

Rembulan menggeleng tidak percaya, tangisnya pecah begitu histeris, layaknya seorang yang sudah kehilangan akal sehat dia memukuli Mas Barra dengan tas tangannya bahkan tidak peduli ada anak kecil yang tengah berada di pangkuan Mas Barra.

Astaga, di dunia ini kenapa harus aku yang menyaksikan pertunjukan memuakkan ini? Rumahku yang selalu tenang kini penuh dengan pekikan histeris Rembulan dan juga tangisan dari anaknya. Tidak tahu setan apa yang sudah merasuki seorang yang aku ketahui adalah orang yang pintar hingga Rembulan berubah menjadi seorang yang menjijikkan tanpa tahu malu sama sekali.

"Kamu berani mengusirku, Mas. Aku di sini datang baik-baik untuk meminta Arnata melepaskanmu, dia harus tahu jika kamu sama sekali tidak di cintainya, dia harus sadar, status Nyonya Prawiranegara seharusnya adalah milikku, aku yang kamu cintai, aku yang menjadi Ibu dari anakmu, bukan dia! Dia yang seharusnya usir dari rumah yang seharusnya menjadi rumahku, kamu harus menceraikannya, Mas Barra. Aku sudah tidak sanggup lagi menjadi istri namun kamu sembunyikan seperti simpanan!"

Mas Barra sudah nyaris mengeluarkan bentakannya lagi, dari tangannya yang terkepal erat aku tahu jika dia sudah menahan kesabarannya. Seburuknya aku sebagai seorang perempuan walau aku belum memiliki anak, aku masih cukup waras untuk tidak berteriak seperti orang gila memperdengarkan aib di hadapan anak kecil, saat aku memilih menghampiri para manusia sampah ini sembari mengangkat ponselku, menunjukkan kontak dari Omku, adik dari Papa, yang kebetulan merupakan Wakapolres daerah tempat tinggali kepada dua manusia sampah ini.

"Mas Barra, bisa kamu jelaskan pada manusia sampah tidak tahu diri ini tentang pasal 279? Jika sekarang kamu tidak bisa menyeretnya keluar dari rumahku, maka biar Om Arwan yang membawanya lengkap dengan kamu sekalian untuk angkat kaki dari rumah ini! Selain perbuatan tidak menyenangkan karena sudah berbuat onar di dalam rumahku!" Dengan hati yang meletup karena amarah aku menekankan kata rumah pada manusia tidak tahu malu di hadapanku, Rembulan kira dia siapa main seenaknya berkata ini adalah rumah yang seharusnya menjadi miliknya, heeeh, sebelum itu terjadi akan aku pastikan dia menyumpal mulutnya yang lancang tersebut, selain tidak malu sudah tega mengkhianatiku dia ternyata juga seorang yang tidak waras hingga bernafsu ingin memiliki sesuatu yang bukan miliknya.
Sangat tidak tanggung-tanggung keburukan yang dia miliki hingga dia borong untuk dirinya sendiri, di balik wajah ayunya tersimpan hati yang begitu busuk penuh dengan belatung. "Pernikahan siri yang terus menerus di dengungkan perempuan sampah dan membuatnya merasa di atas angin hingga tidak tahu malu datang ke rumahku adalah alasan yang cukup tepat untuk membuatnya mendekam di jeruji besi sekaligus untuk menghancurkan kariermu! Jadi selama aku masih berbaik hati untuk tidak memanggil Omku, silahkan giring dua sampah ini untuk pergi dari rumahku, aku tidak peduli dia siapa untukmu, entah dia istri sirimu atau bahkan pelacur untukmu yang rela mengangkang di hadapan suami Sahabatnya sendiri sampai berbangga hati memiliki anak, aku sama sekali tidak peduli dan tidak mau tahu. Dua sampah ini sama sekali tidak penting dan hanya mengotori rumahku."

Dan tepat usai aku berbicara sebuah pukulan melayang di pelipisku, begitu menyakitkan hingga aku kehilangan keseimbangan, di sini, di rumahku sendiri, aku justru di pukul oleh seorang yang menghancurkan hidupku.

"Siapa kamu berani mengusirku, Nata! Aku juga istri Mas Barra! Aku juga berhak atas rumah ini." bukan hanya sekali perempuan sampah ini hendak memukulku, melihatku yang tersungkur karena pukulannya justru membuat Rembulan makin menggila mengeluarkan semua jenis makian yang bahkan bermimpi pun aku tidak akan mengucapkannya.

"BULAN!!!"

"MAMA!!!"

Cukup sudah kesabaranku, sedari tadi aku memberikan kesempatan kepadanya untuk pergi namun dengan lancangnya dia justru semakin menggila, kini sama sepertinya yang tidak punya hati hingga bertahun-tahun mengkhianatiku dengan suamiku, aku pun melakukan hal yang sama.

Menyingkirkan perasaan manusiawiku yang tersisa saat melihat anaknya menangis, aku bangkit dari jatuhku, Rembulan salah mengira dia bisa menang dariku, dia bersikap seperti iblis, maka akan aku tunjukkan padanya seperti apa iblis yang sebenarnya.

Luka dan ObatnyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang