"Ibu, Rembulan juga berhak kok Bu atas Mas Barra karena ternyata selama ini selain Nata, Mas Barra juga menikahi Rembulan di bawah tangan, lihat, bahkan mereka sudah memiliki anak!"
Hening untuk beberapa saat, tidak ada tanggapan dari Ibu yang kini melihat ke arah Mas Barra dan Rembulan dengan pandangan yang tidak terbaca, sangat sulit untuk aku artikan apa Ibu marah kepada mereka karena fakta bahwa mereka berkhianat membuahkan seorang cucu yang sangat di inginkan Ibu mertuaku, hal yang tidak bisa aku berikan kepada beliau dan bagi sebagaian orangtua adalah kebahagiaan tersendiri hadirnya cucu tersebut.
Bahkan tanpa harus tes DNA saja wajah Arisa dan Mas Barra yang serupa menjelaskan semuanya, dan sepertinya hal itulah yang membuat Ibu mertuaku tidak bisa berkata-kata, terlalu banyak kemungkinan kenyataan yang menyakitkan hingga tidak berani untuk mengungkapkan.
Dan dua orang yang begitu pongah serta sombong dalam mengkhianatiku tersebut pun membisu, Mas Barra bahkan tidak berani memandang wajah kedua orangtuanya, dia menunduk memandang lantai yang kini sepertinya tampak begitu menarik, ternyata setelah semua sikapnya yang memalukan, Mas Barra masih punya secuil perasaan malu atas apa yang dia perbuat.
Aku menggeram dalam hati, kesal karena mereka tidak bersuara sama sekali. Tidak ingin hanya menjelaskan setengah-setengah aku kembali menyambung ucapanku, sangat tidak nyaman rasanya berada di situasi canggung seperti ini.
"Dia, anak kecil berusia 4 tahun yang ada di samping Rembulan, itu adalah cucu Ibu. Anak dari Mas Barra dan temannya sedari kecil, Rembulan, Bu!" Ibu menggeleng pelan, seakan beliau ingin menepis jauh-jauh ucapanku yang sangat mengganggu pendengaran beliau, gemas karena Mas Barra semakin menunduk, aku pun kembali berujar dengan kesal, "Mas Barra ngomong dong kalian berdua, nikah diam-diam di belakangku saja berani, giliran aku sudah berbaik hati buat izinin kamu buat ngenalin Madu-ku dan anakmu ke Orangtuamu, kalian berdua malah kayak orang bisu! Niat nggak sih sebenarnya kamu buat ngakuin anakmu, kasihan banget dia kamu simpen bertahun-tahun bahkan sampai nggak kenal Nenek sama Kakeknya sendiri."
Mas Barra tersentak, pandangan memohon yang terlihat di matanya saat dia begitu kelat tidak sanggup bersuara sungguh membuatku puas, seperti yang aku harapkan karena aku terlalu mengenal Ibu Mertuaku, beliau memicing tidak suka pada putra sulung dan menantu sirinya, itulah sebabnya aku tidak heran saat Ibu mertuaku melengos tidak mau melihat saat Rembulan meminta Arisa untuk bangun dan memberi salam.
Ibu mertuaku justru menatapku dengan pandangan kesal merasa aku mempermaikan beliau, "Nikah di bawah tangan? Nikah siri maksudnya? Omong kosong apa yang sedang kalian bicarakan ini? Ibu rasa otak Barra sudah benar-benar tidak waras jika benar itu terjadi, dan dengan siapa dia menikah tadi kamu bilang, Nat? Bulan? Arnata, kamu sedang bercanda dengan Ibu?"
Aku meraih tangan Ibu Mertuaku, mengusapnya pelan untuk menenangkan beliau, bukan hanya Ibu mertuaku yang terkejut dengan fakta menjijikkan ini, tapi juga diriku di awal semua ini terjadi. "Nata nggak bercanda, Ibu. Awalnya Nata juga mengira ini semua hanya candaan, rasanya syok tahu Bu waktu tiba-tiba sahabat Nata dan Mas Barra datang ke rumah dan mengatakan jika Nata harus merelakan Mas Barra karena Mas Barra selama ini tidak mencintai Nata dalam pernikahan ini, apalagi di tambah fakta mencengangkan jika mereka memiliki anak, waaah Nata mengira semua ini adalah mimpi buruk, sayangnya sekeras hati Nata berusaha meyakinkan jika ini hanya mimpi, Rembulan dan Mas Barra memperjelas jika semua ini adalah kenyataan. Mas Barra mengakui jika usai menikahi Nata, dia juga menikahi Rembulan, sahabatnya sendiri karena mereka sudah terlalu jauh berhubungan, Bu."
Semuanya aku ceritakan pada Ibu mertuaku, lengkap tanpa ada yang aku tambahi dan aku kurangi, aku bercerita begitu ringannya tanpa beban dan tanpa emosi yang menggebu seperti di kali pertama kemurkaanku tumpah di saat aku mengetahui semuanya, kemarahan yang aku rasakan pada Rembulan, Suamiku, dan takdir yang begitu tidak adil sudah menguap berubah menjadi luka dan membuatku mati rasa.
"Awalnya Nata marah, mengamuk, terluka, dan kecewa karena bagaimana pun apa yang Putra Ibu lakukan di belakang Nata adalah pengkhianatan, tapi setelah Nata berpikir panjang Nata merasa tidak ada gunanya juga bagi Nata meratapi semuanya, toh sudah terlanjur terjadi. Suami Nata sudah memiliki anak dengan perempuan lain, walau Mas Barra berkata dia akan meninggalkan Rembulan dan mengambil Arisa, Nata tidak yakin hubungan diam-diam yang sudah terjalin lima tahun berakhir begitu saja, karena itu Nata merasa jalan yang terbaik untuk semuanya adalah memberitahukan semua hal ini pada Ayah dan Ibu. Memberi tahu pada Ibu dan Ayah jika kalian mempunyai cucu yang begitu Ayah dan Ibu inginkan."
Mungkin karena mendengar bagaimana aku mengutarakan segalanya tanpa emosi seperti yang aku lakukan kemarin kepadanya membuat keberanian Rembulan muncul ke permukaan, pelakor yang sudah merebut bahagiaku tersebut bangkit beringsut mendekati Ibu dengan sebuah surat bermaterai di tangannya yang langsung aku kenali sebagai surat nikah siri, dan kembali saat melihat tanggal yang tertera hanya berjarak dua Minggu dengan tanggal pernikahanku, rasa marah yang aku rasakan semakin menguat, membuatku semakin membulatkan tekad untuk menghukum keduanya.
"Tante, Bulan juga menantu Tante, ini adalah bukti pernikahan kami, maafkan Bulan dan Mas Barra yang baru meminta izin sekarang ini, Tan. Keinginan Mas Barra untuk meraih sukses dan membuat Om serta Tante bangga membuat kami berdua tidak bisa menunjukkan pada dunia jika kami berdua saling mencintai, walaupun hanya di nikahi siri selama ini Bulan menerimanya Tante, karena Bulan mencintai Mas Barra begitu juga sebaliknya. Bulan mohon, restui kami Tante."
Aku merasakan tangan Ibu mertuaku yang ada di dalam genggamanku terkepal dan bergetar begitu keras menahan amarah, hingga Bulan bersujud di kaki beliau, beliau sama sekali tidak mau menatap ke arah Bulan seolah Bulan adalah hal yang tidak dia inginkan untuk di lihat.
"Saya yang Mas Barra cintai, Tante! Saya yang menemani Mas Barra sedari kecil, saya bahkan merelakan Mas Barra menikahi wanita lain demi kariernya dan hanya di jadikan wanita keduanya, saya menerima semua itu bahkan tanpa mengeluh saya membesarkan anak kami, cucu Tante dalam diam, sekarang istri pertama Mas Barra sudah berlapang dada menerima kenyataan jika dia bukan satu-satunya yang di cintai Mas Barra, jadi Bulan mohon, restui kami berdua Tante, biarkan Arisa merasakan keluarga normal memiliki orangtua yang lengkap dan mengenal kakek nenek mereka tanpa harus di sembunyikan dari dunia."
Cinta, menggelikan sekali setiap kata yang terucap tanpa malu dari Rembulan sekarang ini, berbeda denganku yang hanya diam menatap Rembulan yang memohon restu, Genta dan Mitha bahkan mendengus sebal penuh rasa muak tanpa mereka tutupi sama sekali.
"Mas Barra!" Panggil Ibu mertuaku pelan pada suamiku, dan saat Mas Barra mendongak menatap Ibu, beliau bersuara dengan lirih, "benar yang di katakan oleh Nata, Mas?"
![](https://img.wattpad.com/cover/321275642-288-k413671.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Luka dan Obatnya
RomansaArnata Dewani, istri dari seorang Barra Prawiranegara, sang Jaksa Penuntut Umum yang terkenal merasa jika hidupnya sebagai seorang wanita begitu sempurna. Hidup menjadi seorang Nyonya yang segala fasilitasnya terpenuhi, lengkap dengan suami yang san...