"Aku sudah bilang kan tadi beberapa saat lalu, sebagai istri itu harus siap menemani suami bahkan di saat terjatuh sekali pun. Sekarang kamu mau Mas Barra, kan? Ya itu Mas Barra yang sesungguhnya, dengan gaji bulanan yang bisa kamu hitung sendiri berapa, aku sudah menemaninya menjadi seorang Raja selama lima tahun ini, dan sekarang giliranmu, Rembulan."
Aku kembali duduk dengan tenang seolah tidak habis berargumen apapun membahas sesuatu yang menyakitkan hati, sungguh sebenarnya aku benci mengungkit-ungkit segala sesuatu yang berbau harta, aku tidak pernah mempermasalahkan segala aset yang aku miliki hasil dari usahaku sendiri baik dari Clothing Line maupun kedai kopi maupun Bisnisku yang lainnya dan aku atasnamakan Mas Barra saat pembelian, bahkan jika di pikir-pikir aku ini terlalu bucin terhadap Mas Barra, suamiku ini hingga dengan bodohnya tidak pernah menuntut nafkah bahkan memberikan segala yang aku miliki untuknya.
Siapa yang menyangka setelah aku seroyal ini kepadanya, ternyata di belakangku Mas Barra mengkhianatiku, segala yang aku miliki dia nikmati bersama dengan perempuan sundal yang berdiri pongah di hadapanku sekarang, ternganga tidak menyangka harta yang sudah dia rinci dan ingin dia kuasai dengan dalih itu adalah milik suaminya juga ternyata adalah milikku, milik wanita yang merupakan istri sah dari pria yang memeliharanya, wanita yang tanpa segan dia sakiti dengan alasan cinta yang tidak bisa di cegah, sungguh memuakkan.
Mas Barra dan Rembulan benar-benar di buat membisu atas hadiah yang aku berikan kepada mereka dan Mas Barra sudah berjanji untuk menerimanya.
"Mas Barra, kenapa kamu diam saja sih?!" Tidak bisa melawan setiap kalimat yang aku keluarkan kepadanya kini Rembulan merangsek menuju Mas Barra, suamiku yang selalu gagah dalam setiap kesempatan dan momok buruk bagi setiap terdakwa kini terpaku selayaknya orang kesakitan di kursi favoritnya di rumah kami. "Telingamu nggak tulikan dengar gimana istri sempurnamu ini mengklaim semua harta kalian untuk dirinya sendiri! Bagaimana bisa, dalam pernikahan tidak peduli uang siapa yang di gunakan untuk membayar aset itu adalah harta bersama, harusnya kamu dapat gono-gini juga dong, Mas. Kamu juga berhak separuh dari semua harta yang kalian berdua miliki, enak saja semuanya main ambil semua!"
Layaknya seorang anak kecil yang mainan incarannya di ambil oleh pemiliknya Rembulan merengek tanpa tahu malu sama sekali bahkan mengguncang-guncang tubuh Mas Barra yang mendadak kaku sama sekali tidak bereaksi.
"Main ambil semua?" Potongku jengkel, "For Your Information, Rembulan. Aku cuma mengambil apa yang memang menjadi milikku! Apa selain urat malumu yang sudah putus syaraf pendengaranmu juga sudah tidak berfungsi sampai-sampai tidak mendengar jika aku sama sekali tidak menyentuh gaji suami kita, itu untukmu karena jika kamu mengira aku hanya perempuan yang menengadahkan tangan maka kamu salah besar. Aku bisa hidup dengan nyaman sekali pun tanpa nafkah suami kita. Lagi pula, Jika memang ada sesuatu yang salah dalam hadiah yang aku berikan kepada kalian, tentu Mas Barra sudah pasti akan menampik semua yang tertulis, nyatanya dia diam saja, kan? Bahkan Ayah dan Ibu juga?"
Aku bersedekap, kali ini sama sekali tidak menyembunyikan pandangan jengkelku yang mengejek pada Rembulan yang begitu kalut karena tidak mendapatkan apapun, bahkan Mertuaku pun sama sekali tidak menyangkal bahkan menunduk malu semakin dalam.
Mungkin yang aku lakukan memang keterlaluan karena mempermalukan Mas Barra dan seolah menelanjanginya yang bukan apa-apa jika tanpa diriku, tapi memang itulah tujuanku, di saat kami menikah Mas Barra hanyalah Jaksa muda yang bahkan namanya tidak di perhitungkan di dalam Kejaksaan Negeri tempatnya merintis karier, orangtuanya bukan orang yang miskin, Ayah mertuaku merupakan seorang Tentara yang kini sudah pensiun dengan pangkat terakhir seorang Letnan Dua setelah melalui proses yang panjang, tanpa bimbingan Papa dan juga banyaknya koneksi yang membuat kaki Mas Barra berdiri tegak di lingkungan Kejaksaan yang begitu ketat oleh persaingan, bahkan mereka tidak segan saling menyikut rekan satu dengan yang lain hanya agar bertahan, Mas Barra tidak akan sampai di posisinya sekarang.
Dunia memandang Mas Barra penuh dengan hormat karena dia seorang Jaksa ternama dan juga banyaknya bisnis yang tampak di kelolanya, itulah sebabnya walau Jaksa adalah profesi yang banyak di sorot saat kehidupan mereka terlihat hedon, mempertanyakan kehalalan uang berlebih yang mereka miliki, tidak ada satu orang pun yang meragukan Mas Barra yang tungganggan kesehariannya saja merupakan Fortuner type terbaru bahkan jam tangan Rolex yang melingkar di tangannya berharga ratusan juta, hadiah ulang tahunnya dariku di saat usianya 30 tahun 3 bulan yang lalu.
Aku tidak bermaksud meninggikan posisiku apalagi terhadap seorang yang mendapatkan gelar sebagai suamiku, tapi aku merasa aku perlu menyadarkan Mas Barra dan Rembulan seperti apa tempat mereka saat cinta sudah membutakan nurani.
Tidak cukup hanya sampai di sini pembalasanku terhadap Mas Barra dan Rembulan yang begitu bernafsu mengungkit setiap harta, karena ada satu hal lagi yang pasti akan membuat Rembulan meledak hingga hangus berceceran.
"Ooh iya, Maduku!" Panggilku pada Rembulan yang masih sibuk merengek pada Mas Barra, Maduku, sepertinya alih-alih tersanjung dengan panggilan istimewa dariku tersebut, Rembulan tampak begitu membencinya hingga kadar mengerikan di wajahnya bertambah berkali-kali lipat, "Selama ini kamu dan anak kalian tinggal di apartemen kawasan Menteng Park, kan?" Untuk beberapa saat aku menjeda kalimatku, menikmati bagaimana pandangan ngeri Mas Barra dan juga Rembulan yang seolah tahu apa yang hendak aku sampaikan. "Aku ingin kamu segera mengosongkan apartemen itu secepatnya, Rembulan. Karena apartemen itu juga milikku, dan kebetulan juga ada beberapa pengacara muda di Firma Hukum tempatku dan Paramitha bekerja sama membutuhkan tempat tinggal. Secepatnya yang artinya besok kalau bisa!"
"KAMU GILA, ARNATA!!!" Seperti yang bisa aku duga, lengkingan tidak terima dari Rembulan bergema memenuhi ruang keluargaku, membuat tatapan tidak suka semakin besar melayang kepadanya.
Untuk pertama kalinya setelah beberapa saat Mas Barra membisu bagaikan patung yang tidak sanggup untuk berbicara dia mendongak menatapku, ada tekad keras di wajahnya saat dia memandangku dan berusaha mengabaikan tatapan orangtuanya yang marah kepadanya tanpa sedikitpun membelanya yang baru saja aku miskinkan habis-habisan.
"Arnata, Mas janji akan menerima semua yang kamu perintahkan ke Mas, berkas ini akan Mas tanda tangani sekarang juga, tapi tolong jangan ambil apartemen itu Arnata. Di mana Arisa akan tinggal jika kamu juga mengambilnya?"
Mas Barra bangkit dari kursinya dan berjalan lunglai ke arahku, ketidakberdayaan tampak jelas di bahunya yang melorot lemas saat dia bersujud di hadapanku.
"Mas mohon Arnata!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Luka dan Obatnya
RomanceArnata Dewani, istri dari seorang Barra Prawiranegara, sang Jaksa Penuntut Umum yang terkenal merasa jika hidupnya sebagai seorang wanita begitu sempurna. Hidup menjadi seorang Nyonya yang segala fasilitasnya terpenuhi, lengkap dengan suami yang san...