11

12.2K 1.1K 48
                                    

*notes
Di part sebelumnya nama adiknya Barra itu Mama Alva tulis Aidan kan, ya? Huhuhu, Mama Alva salah ketik dear, yang benar namanya Genta Prawiranegara, dan berhubung Mama Al belum sempet revisi, Mama Al tulis di note sini aja ya.👍

Happy reading semuanya.

"Nata mau ngasih tahu ke Ibu kalau Ibu punya cucu."

Alis Ibu mertuaku terangkat tinggi, untuk beberapa saat beliau beradu pandang antara aku dan beberapa sosok yang aku tunjuk jauh beberapa meter di sana, bisa aku lihat jika Rembulan yang kemarin bisa begitu pongah hingga berani menamparku kini tampak mengerut ketakutan sembari menggandeng Arisa.

Tunggu saja, ini belum seberapa, akan aku tunjukkan pada Rembulan bagaimana rasa sakit yang sebenarnya seperti yang dia torehkan kepadaku.

"Nata? Kamu hamil, Nak?" Akhirnya setelah beberapa saat Ibu kebingungan dengan hadirnya Rembulan membawa anak yang aku tunjuk sebagai cucunya, dan memilih untuk mengabaikan hadirnya wanita yang di kenal putra sulungnya nyaris seumur hidup Mas Bara, sebenarnya bukan hanya Ibu yang kebingungan, Ayah mertuaku pun juga sama, beliau nampak gelisah seolah takut sesuatu yang buruk di pikiran beliau menjadi kenyataan, satu-satunya yang seolah tahu dan paham makna tersirat yang baru saja terucap adalah Genta, dia menggeleng pelan kepadaku dengan pandangan ngeri tidak percaya apa yang telah terjadi.

Mendapati betapa canggung dan tidak percayanya keadaan yang melingkupi ini membuatku tertawa kecil, apalagi saat Mas Barra dengan tergopoh-gopoh ketakutan menghampiriku meninggalkan Rembulan dan anaknya begitu saja, aku ingin menunjukkan kepada Mas Barra betapa jahatnya perbuatannya yang bukan hanya melukaiku, tapi juga melukai banyak hati termasuk hati orangtuanya.

Sungguh aku puas melihat bagaimana Mas Barra begitu ngeri menatap kedua orangtuanya sekarang ini, entah terbang menghilang kemana keberaniannya di ruang sidang dan keberaniannya di selama bertahun-tahun untuk berselingkuh di belakangku.

"Tante, ayo masuk dulu ke dalam, biar enak gitu ngobrolnya." Bukan aku yang memecah keheningan, tapi Mitha yang mengambil alih Ibu mertuaku, bahkan sebelum Ibu mertuaku bisa berkata-kata untuk membantah, Mitha sudah lebih dahulu menggiring mertuaku untuk masuk ke dalam rumah.

Aku juga ingin mengikuti Mitha untuk masuk ke dalam rumah, tapi cekalan yang aku dapatkan menghentikan langkahku. Bukan Mas Barra yang menahanku, tapi sosok Genta yang kini melihatku masih dengan pandangan ngeri yang sama.

"Katakan tidak dengan apa yang aku pikirkan, Ar." Ar, panggilan dari seorang Genta yang sedari 10 tahun sama sekali tidak berbeda ini membuatku tersenyum kecil, dengan halus aku menepis tangan kuat yang tertempa oleh pengabdian tersebut dari tanganku. Sekarang aku baru menyadari betapa jangkungnya sosok Paskibraka yang dulu menjadi idola ini.

"Sayangnya iya, Ta. Dia kakak ipar dan juga keponakanmu. Kabar bahagia yang selama ini di nantikan oleh keluargamu sekarang terwujud, tapi bukan dariku, melainkan dari sahabat Kakakmu."

Dan reaksi Genta sungguh di luar dugaanku, aku merasa aku baru saja mengerjap untuk mengedipkan mata menahan air mata agar tidak tumpah saat kecepatannya sebagai seorang prajurit muncul dan detik berikutnya aku melihat dengan tinjuan yang sangat kuat Genta memukul Mas Barra hingga pria tersebut tersungkur seketika dalam keadaan yang menyedihkan di iringi oleh pekik khawatir Rembulan dan Arisa yang langsung menghampirinya.

Untuk sejenak aku terpaku di tempat, takjub dengan diriku sendiri yang tidak melakukan apapun dan bergerak menuju Mas Barra untuk menolongnya melihat bagaimana kondisi Mas Barra sekarang, mengingat sebelumnya aku bisa menjadi khawatir berlebihan hanya karena kaki Mas Barra terantuk kursi ranjang, terlebih saat melihat bagaimana Rembulan melayangkan tatapan menyalahkan kepadaku yang kini di hampiri oleh Genta.

"Masuk, Ar! Jangan kasihani manusia tidak tahu diri seperti Abangku! Bahkan sebagai manusia pun aku malu mengenal manusia tidak beradab sepertinya."

"Jangan menatapku dengan pandangan seperti itu, Rembulan." Tegurku sembari berbalik bersiap untuk pergi, "salah satu tugas istri bukan cuma menuntut hak ini itu, tapi juga membantu suaminya untuk bangkit lagi dari jatuhnya, in real life sedang terjadi di depan matamu sekarang!"

Tanpa menunggu jawaban dari dua orang pengkhianat yang akan mendapatkan hadiah dariku sekarang ini aku melangkah menjauh, mengikuti Genta yang tadi berjalan tidak sabar menuju ke dalam karena bisa aku pastikan, tinju lain akan bersarang di tubuh Mas Barra jika Genta tidak segera pergi.

Ahhh, adik ipar. Waktu boleh berlalu begitu lama, tapi ternyata kamu masih sama pahlawannya seperti yang aku ingat. Terimakasih sudah mewakiliku dengan membuat satu dari dua pelaku pemberi lukaku pelajaran yang tidak bisa aku berikan.

.......

"Nata, apa yang terjadi, Nak?!" Baru saja aku mendudukkan tubuhku di kursi ruang keluarga, berondongan pertanyaan dari Ibu mertuaku langsung aku dapatkan, berbeda dengan Ayah mertuaku yang terpekur seolah tengah meratapi apa yang sudah beliau pahami, Ibu mertuaku jelas menolak segala pemikiran buruk yang tidak sesuai dengan yang beliau inginkan.

Walaupun Mas Barra mengatakan orangtuanya tidak menyayanginya seperti mereka menyayangi Genta tapi tetap saja tidak ada satu pun orangtua di dunia ini yang ingin anaknya hidupnya blangsak dan berantakan.

Berat untukku mengatakan semua hal ini pada kedua orangtua Mas Barra yang sudah aku anggap layaknya orangtuaku sendiri, namun aku merasa aku harus memberitahukan ini kepada mereka terlebih dahulu sebelum aku memberitahu orangtuaku, karena bisa aku pastikan,  Papa dan juga Kakak laki-lakiku, Arthala, tidak akan segan-segan mematahkan leher Mas Barra saat tahu perbuatan busuk bertahun-tahun yang sudah di lakukan suamiku di belakangku.

Aku menahan untuk tidak bersuara sekaligus menahan sesak di dadaku karena beberapa detik lagi fatamorgana tentang hidupku yang sempurna dan bahagia akan hancur lebur berantakan tidak bersisa meninggalkan aku yang harus bangkit dari kecewa.

Sampai akhirnya dengan tertatih-tatih dan di gandeng oleh Rembulan, sosok pria yang pernah menjabat tangan Papaku, memintaku dari beliau dan berjanji atas nama Tuhan kami untuk menjaga dan mencintaiku, masuk ke dalam ruang keluarga kami, bohong jika aku tidak merasakan sakit atas pemandangan yang aku lihat karena walau aku membencinya namun aku harus tetap mengakui jika mereka adalah perwujudan keluarga sempurna lengkap dengan buah hati yang melengkapi.

Dengusan tidak suka dari Genta bahkan terdengar begitu nyaring sama sekali tidak berusaha di sembunyikan oleh adik iparku tersebut, bahkan aku sempat mendengarnya bergumam pelan, 'dasar manusia tidak punya malu'.

Andaikan celaan tersebut di lontarkan Genta dalam kondisi normal mungkin Mas Barra akan mencak-mencak, tapi di sini Mas Barra adalah pembuat kesalahan mutlak karena pengkhianatannya.

"Kenapa kamu di sini, Bulan?" Terlalu takjub dengan celaan Genta membuatku sempat lupa dengan Ibu mertuaku sampai akhirnya beliau membuka suara penuh keheranan menatap Rembulan yang kini menciut antara ketakutan, malu, dan menantang saat pandangan kami bertemu, "Apa yang kamu lakukan dengan Barra? Seenaknya saja kamu menyentuh suami orang tepat di depan mata istrinya sendiri!"

Aku tersenyum lebar menunggu dua orang yang duduk berhimpitan saling menggenggam tangan seolah saling menguatkan tersebut menjawab, hal yang ganjil di tengah suasana keluarga yang canggung, Mas Barra yang tidak bisa menyembunyikan ketakutannya, Ayah mertuaku yang terlihat menahan malu atas sikap putra sulungnya dan juga Genta yang mungkin sebentar lagi akan bersiap lempar Mas Barra ke kandang buaya.

Karena tidak adanya jawaban dari dua orang tersebut aku pun berbaik hati untuk menjawabnya dengan kalem.

"Ibu, Rembulan juga berhak kok Bu atas Mas Barra karena ternyata selama ini selain Nata, Mas Barra juga menikahi Rembulan di bawah tangan, lihat, bahkan mereka sudah memiliki anak!"

Luka dan ObatnyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang