"Ada perlu apaan sih, Ta? Sampai-sampai seorang istri JPU beken kayak Lo butuh pengacara juga?"
Pintu mobilku baru saja terbuka, menampilkan sosok cantik dalam balutan pakaian kerja branded warna abu-abu yang semakin mempertegas penampilannya yang elegan dan berkharisma, sekalipun dia seorang wanita namun ketegasan yang menguar dari seorang Paramitha membuat pria manapun segan pada sosoknya.
Dan kini aku merasa aku sungguh beruntung berteman dengannya, di antara banyaknya teman dalam daftar pertemananku, satu-satunya yang bisa membantuku sekarang adalah Mitha, begitu panggilan akrabnya. Tidak peduli hari ini dia sedang bedah kasus sebuah perceraian lengkap dengan gono-gini yang begitu alot, Mitha bahkan menyempatkan diri untuk menemuiku.
Setelah memastikan jika Mitha sudah memasang seatbeltnya dengan benar, aku berucap dengan datar, sedatar perasaanku yang sudah menghilang karena tragedi perasaan dalam hidupku yang baru saja terjadi.
"Mas Barra selingkuh sama Rembulan dan mereka punya anak usia 4 tahun, Tha."
"APA??? GILA LO!!!"
Dan sesuai dugaanku, Mitha memekik terkejut, dia bahkan lebih histeris daripada yang aku perkirakan, teriakannya bergema dalam ruanganku bersamaan dengan matanya yang melotot ngeri, bahkan kini saking tidak percaya dan terkejutnya, Mitha mengguncang tubuhku dengan begitu dramatis nyaris membuatku yang tengah fokus mengemudi kehilangan keseimbangan.
"Lo becanda kan, Ta? Rembulan yang Lo maksud si Kating yang kemana-mana ngekor kalian pacaran, kan? Hiiihhh, gimana bisa ada manusia sedajjal mereka, demi Tuhan, kok bisa sih orang yang paling Lo percaya justru ngekhianatin Lo, gimana ceritanya, sini cerita ke gue apa yang sebenarnya terjadi."
Tanpa harus di pinta dua kali aku menceritakan semuanya pada Mitha, di mulai dari kedatangan tiba-tiba Rembulan ke rumahku membawa bocah kecil bernama Arisa, segala ucapan Rembulan tentang sebenarnya jika Mas Barra tidak mencintaiku dan hanya memanfaatkanku untuk meraih kariernya karena latar belakang orangtuaku yang memuluskan segalanya, hal yang langsung di tanggapi Mitha dengan gerungan marah serta caci maki yang membuat ceritaku terhenti beberapa saat.
Dan caci maki tersebut belum seberapa karena saat aku mengulang bagaimana Rembulan berucap dengan pongah merasa penuh kemenangan ingin mengusirku dari rumah, seisi kebun binatang lengkap di absen oleh Mitha.
"Sayang banget cuma Lo balas kayak gitu, kalau gue jadi Lo Ta, gue kirim mereka berdua ke Neraka pakai jalur VIP, emang edan dunia ini, para pelakor tuh udah kayak hama masih nggak tahu malu."
Usai di interupsi dengan berapi-api, aku kembali meneruskan dan kini saat aku mengulangi apa yang menjadi pembelaan Mas Barra, cibiran sinis dan tidak percaya adalah reaksi yang mewarnai sahabatku ini, tapi kali ini tidak ada interuksi dari Mitha, dia membiarkanku bercerita semuanya dan aku sangat berterimakasih karena sembari aku mengeluarkan segala marah dan kecewaku atas apa yang di lakukan suamiku aku seperti mengeluarkan racun yang mengendap di dalam dadaku dan membuat dadaku serasa tercekik di buatnya.
Selama ini orangtuaku selalu menjagaku sepenuh hati, mengajarkanku untuk tidak menyakiti orang lain karena ada harga yang harus kita bayar atas apa yang kita lakukan, sebab takut pada Tuhanlah yang membuatku berusaha sekeras mungkin untuk menjaga perasaan orang lain, namun ternyata takdir justru mengujiku dengan pengkhianatan yang di lakukan dua orang yang paling aku percaya.
Terlalu berlebihankah jika aku sekarang terluka dan berdarah-darah atas semua pengkhianatan ini? Karena jujur saja, walau fisikku masih utuh tanpa cacat, luka di dalam hatiku seolah melubangi hatiku hingga aku merasa sekarat di buatnya.
Lebih daripada segala sakit yang bisa aku bayangkan, rasa sakit atas luka ini membuatku merasa aku tengah berdiri di ambang jurang, andai aku tidak mengingat jika Mas Barra dan selingkuhannya yang harus membayar semua rasa sakit ini, mungkin aku akan memilih terjun dari jurang daripada membayangkan kesedihan Papa dan Mama mendapati putri mereka yang di jaga sepenuh hati justru di hancurkan oleh pria yang Papa harap akan menggantikan perannya.
Sebab itulah aku merasa aku perlu menemui sahabatku ini, aku perlu mengeluarkan segala sakit hatiku terlebih dahulu dan mengendalikan segala luka ini sebelum bertemu dengan wajah kecewa orangtuaku.
Baru membayangkan bagaimana kecewanya mereka saja sudah membuatku sesak apalagi saat nanti aku harus membawa mereka melihat bagaimana busuknya menantu yang selama ini di banggakan kepada semua orang.
Tapi sungguh sekali lagi, aku bukan malaikat ataupun wanita dalam kisah serial drama di mana Sang Wanita rela tersakiti sendirian dalam diamnya menghadapi para pengkhianat demi menjaga perasaan orang yang di kasihi, sungguh aku tidak memiliki keluasan hati selebar itu.
Sembari menghela nafas panjang aku menatap ramainya jalanan di depan sana, semrawut sama seperti masalah yang tengah aku hadapi.
"Omong kosong kan rasanya Tha, Mas Barra ngomong dia akan nyingkirin Rembulan bagaimana pun caranya, tetapi di saat aku mengatakan kalau aku mengizinkan dia untuk bersama Rembulan dengan alasan Arisa, anaknya itu, dia langsung semringah nggak karuan! Bahkan otak pintarnya yang selalu sukses bisa nyudutin para terdakwa hilang terbang nggak tahu kemana, dia seneng sampai otaknya macet!"
Sekeras mungkin aku tidak menatap ke arah Mitha, aku benar-benar tidak ingin mendapatinya menatapku iba dan kasihan walau sebenarnya aku memang sangat menyedihkan.
"Nata, berhenti dulu ya." Namun sentuhan Mitha di tanganku membuatku lemah, lebih dari sekedar ucapan penyemangat, di saat aku akhirnya menghentikan mobil di pinggir jalan, sahabatku ini bergegas keluar, dan percayalah, saat Mitha membuka pintu dan membawaku ke dalam pelukannya, air mata dan semua kemandirian yang menunjukkan betapa kuatnya seorang Arnata luruh seketika.
Aku tidak ingin terlihat lemah di mata siapapun, apalagi di hadapan orang yang aku sayangi karena aku tidak mau melukai mereka dengan kesedihan dan kelemahanku, begitu juga dengan mereka yang sudah menyakitiku, aku tidak akan membiarkan mereka puas karena sudah berhasil mencabik-cabik hatiku, tapi di tengah segala keadaan yang memaksaku untuk kuat, aku bersyukur memiliki sahabat seperti Mitha.
Lebih dari segala umpatan dan caci maki darinya untuk dua pengkhianat yang sudah menghancurkan mentalku, pelukan dan juga usapan hangat dari Mitha saat mendekapku erat lebih berarti dari semuanya.
"Nata, kamu boleh nangis sepuasnya. Sama aku nggak ada yang perlu kamu sembunyikan." Dan benar saja, tangisku pecah seketika, layaknya seorang anak kecil aku menangis sesenggukan, air mataku yang sedari tadi aku tahan kini meluncur tanpa bisa aku hentikan membasahi kemeja Mitha.
Segalanya aku luapkan dan membaginya dengan Mitha perih dan juga sesakku, untuk kali ini, di depan sahabatku aku benar-benar menjadi diriku sendiri yang tengah bersedih karena patah hati.Sungguh, aku benar-benar hancur karena pengkhianatan suami dan sahabatku.

KAMU SEDANG MEMBACA
Luka dan Obatnya
RomanceArnata Dewani, istri dari seorang Barra Prawiranegara, sang Jaksa Penuntut Umum yang terkenal merasa jika hidupnya sebagai seorang wanita begitu sempurna. Hidup menjadi seorang Nyonya yang segala fasilitasnya terpenuhi, lengkap dengan suami yang san...