21

12.3K 966 37
                                    

Luka dan Obatnya sudah rilis on playbook ya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Luka dan Obatnya sudah rilis on playbook ya. Yuk yang mau baca secara lengkap bisa melipir ke sana.
Happy reading semuanya.
Enjooyy

"Non Nata, Mas Genta mau ketemu sama Non."

Baik aku maupun Papa di buat terkejut untuk beberapa saat, kami berdua saling melempar tanya dengan alis terangkat bertanya-tanya apa Genta yang tengah mencariku adalah Genta yang sama dengan yang kami pikirkan?

Tapi untuk apa dia datang? Usai orangtua Mas Barra datang meminta maaf atas sikap anaknya yang keterlaluan, Papa menyiratkan dengan jelas jika beliau sangat tidak ingin berurusan dengan keluarga Prawiranegara lagi.

Hening untuk sejenak sampai akhirnya Mbok Giyem kembali bersuara memecah suasana tidak nyaman ini.

"Jadi gimana Non? Ini Den Genta Mbok suruh balik apa gimana? Non mau nemuin Den Genta nggak?"

Aku beringsut bangkit, mulai kembali ke tempat kakiku menapak, segala hal yang berurusan dengan sakit hatiku adalah Mas Barra, dan tidak bijak rasanya jika aku turut memusuhi bahkan menghindari Genta, selama aku mengenalnya sebagai seorang adik ipar dia bahkan nyaris tidak pernah berbicara denganku jika tidak sangat penting, dan sekarang dia datang menemuiku aku rasa dia tidak akan datang ke sini jika tidak ada sesuatu yang penting.

"Genta itu adiknya si Barra sialan kan, Ta?" Pertanyaan Papa langsung aku balas anggukan sembari berjalan, bergegas menemui calon mantan adik iparku ini. "Buat apa nemuin adiknya si Sialan itu, Ta! Biar Papa minta satpam usir dia saja!" Sembari menggerutu dan mendumal tidak jelas Papa mengikutiku dan tepat saat kata-kata pengusiran terlontar dari beliau aku langsung berbalik menatap beliau dengan menyipit tidak suka.

"Papa nggak usah childish deh, kenapa juga Genta di usir! Yang Bangsat itu Kakaknya, bukan si Genta, Papa. Nata aja baik-baik saja kok ketemu Genta kenapa Papa sewot juga!"

Serentetan kata-kata sebalku langsung di sambut dengusan Papa, jelas sekali beliau tidak setuju denganku yang begitu berbaik hati ini, tapi Papa bisa apa jika aku sudah memutuskan, memilih tidak mendebatku yang aku yakin tidak akan pernah beliau menangkan beliau memilih mengalah.

"Kakaknya Bangsat, adiknya paling juga sebelas duabelas. Setelah kita di tipu habis-habisan oleh suamimu, seharusnya kita lebih mawas, Arnata! Kamu boleh nemuin tuh adik Dajjal, tapi Papa akan tetap ngawasin dia, berani dia macam-macam sama kamu, Papa akan bikin dia di tendang dari Kesatuan sama seperti Papa yang akan bikin mantan suamimu itu tidur di Jalanan."

Papa bersedekap dengan mata menatap tajam dan kumis beliau bergerak-gerak yang menandakan jika apa yang beliau putuskan baru saja untukku sudah sangat menekan ego beliau sebagai orangtua, sungguh aku geli sendiri mendapati Papa sekarang begitu protektif kepadaku, seakan-akan beliau tidak akan mau lagi kecolongan terhadap orang-orang yang mau menyakiti aku, walaupun aku kesal karena Papa memperlakukanku layaknya anak kecil aku memilih untuk tidak mendebat, dengan jahil aku justru menghambur memeluk Papa begitu erat, menunjukkan pada beliau betapa bahagia dan beruntungnya aku terlahir sebagai putri beliau.

"Terserah Papa mau apakan orang-orang jahat itu, Nata sama sekali nggak peduli, Pa."

"Nat..........."

"Terimakasih Papa sudah jagain, Nata. Nata nggak akan pernah khawatir ada orang-orang yang akan nyakitin Nata karena Nata punya Papa."

....

"Genta!"

Benar yang di katakan Mbok Giyem, sosok Genta yang kini tampak siap dalam balutan seragam loreng hijaunya menunggu di teras rumah, walaupun aku dan dia pernah berkerabat menjadi seorang ipar, tapi bisa di hitung dengan jari berapa kali aku bertemu dengannya, itu pun mungkin hanya pada hari Raya saja dan beberapa menit, sudah pernah aku ceritakan bukan betapa bucinnya aku terhadap suamiku dulu hingga aku lebih suka menurut padanya untuk diam di rumah dari pada main-main bahkan ke rumah orangtuanya.

Dan melihatnya dengan seragam dinasnya seperti sekarang ini pun hanya pernah aku lihat di dalam potret keluarga mereka, tidak bisa aku pungkiri mendapati Genta dalam balutan seragam dinasnya membuat pipiku bersemu merah karena terpesona akan penampilannya.

Tubuh tegap dengan bahu lebar dan pinggang yang ramping seorang Paskibraka kini menjelma berkali-kali lipat dengan kharisma seorang pria dewasa yang akan membuat lutut para wanita goyah penuh damba berharap bisa bersandar pada dadanya yang tegap..

Astaga, Arnata! Belum resmi jadi Janda tapi genitnya udah kumat, ingat Ta, yang ada di depan mukamu itu mantan adik iparmu sendiri Ta. Perdebatan batin membuatku tercenung sesaat sebelum akhirnya kewarasanku kembali, layaknya orang bodoh aku mengerjap-ngerjapkan mataku, menampik pesona kuat seorang Letnan satu dengan hidung mancung bak perosotan anak TK ini agar tidak membuatku semakin mempermalukan diriku sendiri.

Memecah canggung yang ada aku memilih melemparkan senyum padanya yang langsung di balas senyuman kikuk Genta.

"Aku ganggu nggak, Mbak?" Tanyanya sembari mengusap tengkuknya, bukan hanya aku yang salah tingkah, tapi dia juga.

"Jangan panggil Mbak! Aku nggak suka, toh bentar lagi aku cerai dari Kakakmu!" Sergahku cepat yang membuat Genta langsung semakin salah tingkah. Halah, kenapa mendadak jadi kayak remaja baru pertama kali ke tempat gebetan ngapel, sih? Gumamku dalam hati mengutuk sikap aneh kami berdua khususnya aku sendiri, "Duduk dulu, Ta! Aneh banget rasanya kamu manggil aku, Mbak! Balik manggil Arnata aja kenapa sih?!"

Sembari menggiring pria itu menuju kursi di tengah taman mawar milik Mama aku kembali mendumal, ayolah aku dan dia seumuran, aneh sekali rasanya di panggil Mbak olehnya walau memang secara kekerabatan panggilannya sudah benar. Tapi kan sudah mau berakhir.

"Kedatanganku ganggu nggak, Ar? Maaf datang tanpa ngasih tahu terlebih dahulu, aku khawatir kamu akan menolak kedatanganku mengingat masalah Mas Barra....." Ulangnya lagi seolah dia tidak mendengar semua gumaman sebal yang terucap dari bibirku, kalimatnya terhenti di pertengahan dan mata tajam tersebut tampak menerawang penuh rasa malu untuk melanjutkan.

Tapi itu bukan masalah bagiku karena aku paham apa yang hendak di katakan oleh Genta dan itu membuat alisku terangkat tinggi karena keheranan dengan seorang Genta yang aku tahu memiliki kepercayaan diri begitu tinggi namun sekarang justru tampak minder berhadapan denganku mengenai masalah yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan dirinya, "nggak Ta, ganggu kenapa sih memangnya. Masalah aku dan Kakakmu itu hanya antara aku dan dia tidak ada hubungannya dengan keluarga kalian, baik kamu dan Orangtuamu. Hanya aku dan Mas Barra, oke?!" Pungkasku tidak mau mendebat, sungguh aku benar-benar malas membicarakan masalah Mas Barra, aku lelah dengan dadaku yang terasa sesak setiap kali ingatan pengkhianatan suami dan seorang yang aku anggap sahabat datang tanpa bisa aku cegah.
Bahkan jika aku bisa aku ingin sekali amnesia dan melupakan kenangan bak mimpi buruk ini.

"Tapi Papamu sepertinya yang bermasalah dengan kehadiranku, Arnata!" Tunjuk Genta sembari menghadap Papaku yang bersedekap di depan pintu, tampak angkuh dan menyebalkan membuatku serasa terlempar pada ingatan 10 tahun lalu di saat aku remaja.

Astaga, Papa!
Anakmu ini sebentar lagi mau jadi Janda, Pa. Kenapa harus di awasin kayak anak perempuan yang belum tahu jatuh cinta, sih?

B

elum sempat aku menjawab kembali menenangkan Genta jika semuanya akan baik-baik saja, pria tegap itu sudah berdiri lebih dahulu dan dengan kecepatan yang membuatku tercengang dia beranjak menghampiri Papa, iya dia langsung nyamperin Papa yang sedang cosplay jadi Bapak Kos nagih hutang dengan raut wajah 'jangan macam-macam'.

Alamak, kenapa kedatangan calon mantan Adik ipar mendadak jadi kayak Anak SMA ke gep pacaran sih?

Luka dan ObatnyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang