13

12.3K 1.1K 65
                                    

"Mas Barra!" Panggil Ibu mertuaku pelan pada suamiku, dan saat Mas Barra mendongak menatap Ibu, beliau bersuara dengan lirih, "benar yang di katakan oleh Nata, Mas?"

Suara Ibu Mertuaku bergema di ruang keluarga rumahku ini, potret besar aku dan Mas Barra yang terpajang di ruangan ini seakan mengejek kami semua yang menyangka betapa sempurnanya pernikahanku tanpa cela justru di khianati dengan teganya. Tanpa memedulikan Rembulan yang bersimpuh di hadapan beliau dan berbicara panjang lebar mengagungkan nama cinta untuk membenarkan kesalahan dalam perselingkuhan yang mereka lakukan, Ibu kini menghampiri Mas Barra.

Sosok tangguh yang begitu ambisius ingin menunjukkan kepada dunia betapa hebatnya dirinya kini menciut kehilangan nyali karena kesalahan yang dia lakukan di hadapan orangtuanya.

Inilah pembalasan yang aku berikan kepada Mas Barra, tidak perlu aku yang menangis-menangis mengeluarkan banyak air mata menumpahkan lukaku di hadapannya yang hanya akan membuatku menyedihkan, kekecewaan orangtuanya adalah hukuman terberat yang ada di dunia ini.

"Jawab, Mas Barra! Jawab Ibu apa benar yang di katakan oleh Nata? Benar kamu mempunyai gundik sampai memiliki anak?"

Seringai penuh kemenangan tidak bisa aku tahan saat kata penuh penghinaan tersebut terlontar dari bibir Mertuaku, persetan dengan yang namanya nurani, karena jauh sebelum aku menyakiti mereka, dua manusia laknat ini sudah menyakitiku lebih dahulu, apalagi saat mataku bertemu dengan mata penuh amarah Rembulan.

Eat that, Bitch. Kamu pikir hanya karena memiliki anak dan cinta suamiku kamu sudah memiliki dunia? Oooh tidak, lebih dari sekedar cinta, pengakuan dan penerimaan serta restu dari orangtua adalah segalanya, untuk apa di cintai jika kehormatan yang di namakan istri dalam buku nikah dan di akui adalah hal yang paling penting. Dan semua itu aku miliki membuatku lebih menang dari pada manusia rendahan yang mau hanya di jadikan simpanan.

Mengalihkan pandanganku dari sosok menyedihkan Rembulan yang berada di kakiku aku menatap suamiku, di bawah tatapan kecewa dan marah Ibu serta Ayahnya aku bisa melihatnya mendongak, hingga pada akhirnya dia mengangguk lemah. "Maafkan Barra, Bu. Barra khilaf, Barra harus menikahi Bulan karena dia mengandung anak Barra. Barra tidak bermaksud berbuat serendah ini mengkhianati Nata dan mengecewakan Ibu."

Ibu Mertuaku berlutut, tepat di hadapan putra pertamanya, aku tidak bisa melihat bagaimana ekspresi Ibu mertuaku namun yang jelas, Ibu Persit tersebut sudah pasti melihat suamiku penuh dengan kekecewaan yang tidak bisa lagi di ungkapkan dengan kata-kata.

"Katakan sejujurnya pada Ibu, apa kamu mencintai Arnata? Apa kamu benar-benar mencintai istrimu?"

Bisa aku lihat Rembulan yang ada di hadapanku menegang menanti apa yang akan menjadi jawaban dari seorang yang sedari tadi dia sebut begitu mencintainya di bandingkan aku istri sahnya, dan layaknya di paksa menelan pil pahit buah simalakama wajah cantik tersebut berubah mengerikan mendengar jawaban yang terucap dari Mas Barra, jawaban yang membuat Rembulan menjadi begitu menyedihkan.

"Barra mencintai Nata, Bu. Sangat mencintainya, jika ada satu hal di dunia ini yang sangat Barra cintai hal itu adalah Arnata, Bu. Tapi Barra tidak bisa mengacuhkan anak Barra begitu saja, Bu. Barra mohon Ibu mengerti alasan Barra, toh Nata juga berkata dia akan menerima semua ini, Bu."

Ibu mertuaku berdiri, sama sepertiku yang tercabik-cabik mendengar kalimat yang pernah aku dengar terulang kembali tanpa beban dari Mas Barra, sama cepatnya seperti saat Genta memukul Mas Barra tadi, apa yang terjadi tepat di depan mataku ini pun sama.

Plak!!!! Plak!!!! Plak!!!!

"IBU!!!"

"IBU!!!"

"IBU!!!"

"IBU!!!"

"TANTE!!"

Bukan Mas Barra yang menerima tamparan keras tersebut, tapi Ibu yang menampar wajahnya berulangkali hingga tanpa sadar seisi rumah langsung menghambur menghentikan tindakan Ibu, sama seperti Rembulan yang bersujud di kaki Ibu memohon restu, Mas Barra pun melakukan hal yang sama, seorang yang dunia tahu begitu keras dalam mewujudkan ambisinya kini tampak tidak berdaya memohon ampunan atas kemarahan yang di rasakan Wanita yang telah melahirkannya walau Ibu kini bahkan menendang-nendang Mas Barra seolah jijik telah di sentuh putra sulungnya yang telah begitu mengecewakannya.

"Kesalahan apa yang telah Ibu lakukan dalam mendidikmu sampai kamu menjadi manusia seburuk ini, Barra. Anak yang menjadi alasanmu berkhianat tidak perlu hadir di dunia ini jika kamu tidak menjadi laki-laki yang brengsek! Bagaimana bisa kamu setega ini menyakiti hati istrimu, Barra! Dia melepas mimpinya demi mengabdi menjadi istrimu, dia dan keluarganya membantumu mewujudkan apa yang menjadi mimpimu, lalu ini yang kamu jadikan sebagai balasannya? Berkhianat dan berkata begitu sombongnya istrimu bisa menerima perselingkuhan dan hasil selingkuhanmu! Kamu pikir apa yang bisa Nata lakukan selain menerima semuanya setelah terlanjur terjadi, kamu ingin dia hancur dan mengemis cinta yang sudah kamu khianati, haaah? Tidak kamu tidak bersalah, Barra! Yang salah adalah Ibu yang tidak berhasil mendidikmu!"

Tidak perlu aku jelaskan bagaimana murkanya Ibu mertuaku sekarang, kekecewaan yang beliau rasakan bahkan membuat beliau tidak memedulikan kami yang berusaha menahan beliau, tidak hanya tiga kali beliau menampar wajah beliau sendiri.

Bahkan sekarang beliau kembali mengulanginya membuat kami menjerit pedih.

Plak!!!!! Plakkk!!!

"Jika ada yang harus Nata salahkan itu adalah Ibu yang tidak becus mendidik anak laki-lakinya hingga menjadi pecundang yang dengan tega mempermainkan sucinya pernikahan! Bayangkan jika Ibu yang ada di posisi Nata, Bar. Bayangkan bagaimana sakitnya hati Ibumu ini jika mendadak tahu Ayahmu memiliki istri bagian anak dari perempuan lain, kamu rela Ayahmu melakukan hal bejat itu? Huhuhu, demi Tuhan, apa yang harus Ibu katakan pada Pak Sadewa, Barra? Mau di taruh di mana muka Ibumu ini, Nak? Kamu kami besarkan dengan doa agar menjadi pria yang baik dan bertanggungjawab, tapi ternyata kamu justru melemparkan kotoran pada kami."

"Sudah Bu, kuasai hati Ibu. Jangan salahkan diri Ibu. Istighfar, Bu."

"Maafin Barra, Bu! Barra yang salah, tolong hukum saja Barra, Bu, jangan Ibu salahkan diri Ibu. Ibu sama sekali nggak gagal, Bu!"

Tangis Ibu mertuaku begitu tergugu saat Ayah mertuaku menyingkirkan Mas Barra yang menunduk memohon-mohon maaf berulangkali yang sama sekali tidak di acuhkan ibu mertuaku tidak peduli seberapa banyak air mata penyesalan yang di tumpahkan Mas Barra dan langsung di hampiri Rembulan untuk membantunya bangun, pedih dan nelangsa terbalut kecewa merasuk ke dalam hatiku membuat lukaku semakin menganga, sungguh aku benci dengan tangis penuh kesedihan Ibu mertuaku karena aku sangat menyayangi beliau dan semua itu karena ulah dua orang manusia yang terlanjur gila mengatasnamakan cinta.

Dan seolah belum sadar atas kesalahan akan hadirnya di tengah pernikahanku yang sudah menghancurkan banyak hati Rembulan masih memiliki nyali untuk bersuara begitu nyaring di tengah tangis yang tidak kunjung berhenti.

"Tante bisa nggak sih nggak terus-menerus nyalahin saya sama Mas Barra? Ini semua takdir Tante! Sebagai wanita saya juga butuh pengakuan, kenapa saya terus menerus di salahkan di sini! Tante bisa mikir nggak sih kalau Arnata perempuan yang sempurna sebagai seorang istri, Mas Barra tidak akan pernah tergoda dengan saya! Mas Barra mengatakan dia mencintai Arnata, lalu apa namanya lima tahun kebersamaan kami! Tolong terimalah takdir ini Tante, jangan cuma menyalahkan."

Luka dan ObatnyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang