"Banyak pikiran, Pak? Ada banyak masalah di rumah atau di kantor?"
Pagi baru saja menyapa, matahari pun masih muncul malu-malu memperlihatkan semburatnya di Kota Jakarta yang seolah tidak pernah tidur sedetik pun, di antara gegap riuh para pelaku pencari nafkah, seorang pria yang terlihat lesu dan bertambah tua dua puluh tahun hanya dalam semalam duduk tidak bersemangat di kursi taksi online yang di tumpanginya, satu pemandangan yang membuat Sang sopir taksi online tidak mampu menahan rasa penasarannya hingga akhirnya membuka percakapan.
Di bandingkan dengan seorang yang bekerja di Kantor Kejaksaan Negeri, pria yang menjadi penumpangnya tersebut lebih mirip seorang bapak-bapak yang baru saja kalah judi puluhan juta sekali waktu sampai kehilangan rumah dan yang lainnya sampai pria asing tersebut begitu berantakan.
Pak Sopir itu tidak tahu saja jika Barra benar-benar layaknya seorang pria yang baru saja kalah judi. Benar-benar kehilangan semuanya hanya satu kedipan mata.
"Bisa diam nggak, Pak! Fokus nyetir saja, Bapak tahu nggak semalaman saya nggak bisa tidur, jadi jangan ganggu saya, saya mau tidur!"
Dengusan sebal sama sekali tidak bisa di tahan Bapak sopir tersebut, namun Barra sudah tidak memedulikannya sama sekali, pikirannya melayang kepada pagi hari yang sangat tidak menyenangkan saat terbangun dari tidurnya, Barra berharap semua yang terjadi hanya mimpi buruk belaka namun ternyata dia benar-benar telah kehilangan semua tahta yang sebelumnya membuatnya begitu percaya diri bak Raja.
Pagi harinya hari ini pun di awali dengan begitu buruk, isi rekeningnya yang hanya tersisa 3 juta usai membayar kontrakannya untuk satu bulan sebesar 2 juta rupiah membuat kepalanya begitu pening saat Rembulan menengadahkan tangannya untuk membeli sarapan Arisa dan juga ongkos taksi online menuju sekolah yang membuatnya harus memaki-maki Rembulan agar tidak bergaya selangit, sudah tahu keuangan mereka memburuk, bisa-bisanya Rembulan masih gengsi untuk mengantarkan Arisa naik ojek.
Perdebatan pun tidak bisa di elak, pagi-pagi biasanya Barra berangkat ke kantor usai sarapan berbagai masakan lezat yang di siapkan Arnata lengkap dengan kecupan sayang dari istrinya yang sudah tampil sempurna dan wangi, kali ini Barra berangkat ke kantor usai otaknya nyaris meledak karena emosi pada Rembulan yang terus merongrongnya hingga dia harus berangkat bekerja dengan perut kosong dan hati yang dongkol.
Tidak berhenti sampai di situ kesengsaraan Barra, nasib sial yang membuatnya kehilangan kedua mobil gagahnya pun membuat Barra harus menggunakan taksi online, Barra meminta Rembulan untuk tidak bergaya selangit namun Barra sendiri tidak mau naik ojol, Barra yang sudah terlanjur nyaman dengan kemewahan yang menjadi nama tengah istri sahnya merasa malu jika sampai dia datang ke kantor naik angkutan umum. Sebab itulah walau tarif menyentuh angka 150ribu Barra memilih memakai jasa Taksi online agar wibawanya tidak jatuh di hadapan rekannya yang sudah pasti akan tertawa lebar saat melihatnya sengsara apalagi jatuh miskin dan di tendang oleh istri tercintanya.
Barra memejamkan matanya semakin erat, enggan untuk membukanya kembali karena bayangan bagaimana cemoohan akan dia dapatkan saat berita perceraiannya tersebar di tambah alasannya karena perselingkuhan, akan membuat kariernya hancur seketika.
Arnata mungkin akan menepati janjinya untuk tidak mengganggunya usai mendapatkan kembali hartanya, tapi Barra yakin kedua Sadewa berbeda generasi yang menjadi penjaga Arnata tidak akan tinggal diam, hanya tinggal menghitung waktu Barra sudah melihat kehancurannya.
Arrrgghhh, jika waktu bisa di ulang Barra tidak akan pernah menduakan cinta Arnata dengan memelihara hasratnya kepada Rembulan, perkara Arisa, Barra bisa merangkai banyak cerita agar Arnata mau menerima anak yang kini menjadi satu-satunya alasan Barra untuk tidak mencekik mati Rembulan yang sudah membuatnya babak belur tidak memiliki apa-apa, tapi walau bagaimana pun penyesalan yang di rasa Barra tidak akan membuat keadaan berubah. Pandangan benci yang terlontar dari Arnata sudah seperti vonis mati untuknya. Arnata memaafkan tapi tidak akan pernah mau menerimanya kembali.
Resah dan gusar dalam pikirannya sendiri membuat Barra tidak sadar jika dia sudah sampai di depan kantornya tempat selama ini dia mengabdi, dengan suara ketus yang membuat Barra sebal, sopir tua yang sudah membuatnya senewen tersebut membuatnya membuka mata kembali dan mendapati dirinya sudah ada di kantor kejaksaan.
Hari masih pagi, Barra sangat berharap dia tidak perlu bertemu dengan rekan kerjanya yang lain agar tidak ada yang bertanya kenapa dia berangkat tanpa mobil mewahnya.
Sayangnya takdir memang sedang senang mempermainkan Barra, segala sesuatu yang terjadi justru yang tidak dia harapkan. Masih dengan wajahnya yang kusut, Barra justru bertemu dengan Brian Hardinata, rekannya yang seorang merupakan Jaksa Muda.
"Tumben numpang Grab?! Kemana Fortuner sama Pajero Lo, Pak Jaksa?"
Suara sapaan dari seorang Brian memang terdengar biasa saja, tidak ada sedikit pun niat lain di benak Brian selain penasaran kenapa Barra yang begitu perlente dengan mobil-mobil mewahnya kini turun dari Grab. Tapi Barra yang suasana hatinya sedang buruk justru mengartikan lain, Barra berpikir Brian tengah mengejeknya karena Brian salah satu dari beberapa orang yang selalu mencibir kesuksesannya.
"Bukan urusan Lo! Mau gue jalan kaki apa ngesot sekalian Lo nggak perlu ngurusin hidup gue!"
Yah, begitulah Barra yang sebenarnya, sekali pun dia seorang Jaksa yang luar biasa, bertindak cepat dalam menyelesaikan setiap kasus yang di tanganinya, namun dia adalah seorang yang begitu sombong kepada orang lain, tidak heran jika banyak sekali rekannya yang tidak menyukainya dan mencibirnya, salah satunya adalah Brian ini, semua orang yang segan kepada Barra juga karena mertuanya yang berpengaruh.
"Biasa saja dong, Bro. Di tanyain keadaan sama orang lain itu syukur Alhamdulillah, artinya masih ada yang peduli sama Lo! Tapi ya udah deh, gue lupa kalo Lo bukan manusia, Lo kan pemilik ini Kejari, jadinya bisa hidup sendiri nggak perlu orang lain!"
Cibiran sinis terlontar dari Brian, kesal setengah mati dengan sikap arogan Barra yang sedari awal mereka bertugas di tempat yang sama tidak pernah di sukainya.
"Tapi inget baik-baik ya Bar, hidup manusia itu ada ombang-ambingnya kayak layangan, kadang bisa naik tinggi dengan cepat karena angin dan juga handalnya si pengulur, tapi saat talinya terputus, kamu akan jatuh dan terbuang tidak berharga."
Ucapan penuh kekesalan Brian tersebut terdengar bak sumpah serapah bagi Barra, lidahnya terasa kelu, membayangkan bagaimana rekan-rekannya akan menertawakan penuh kebahagiaan saat nasib buruknya usai perceraiannya di ketahui oleh mereka semua benar-benar membuat frustrasi.

KAMU SEDANG MEMBACA
Luka dan Obatnya
RomanceArnata Dewani, istri dari seorang Barra Prawiranegara, sang Jaksa Penuntut Umum yang terkenal merasa jika hidupnya sebagai seorang wanita begitu sempurna. Hidup menjadi seorang Nyonya yang segala fasilitasnya terpenuhi, lengkap dengan suami yang san...