"Arnata, kemana kamu semalaman, Sayang?"
"Nata, jangan bikin aku berfikiran macam-macam, Nat!"
"Nat, kamu nggak ada ngelakuin hal yang nekad karena kesalahan yang sudah aku perbuat, kan?"
"Nata, jangan buat aku khawatir, Sayang."
"Nata, Mas pulang ke rumah, Sayang. Mas tungguin kamu, kamu pulang ya!"
Pagi buta, di saat aku baru saja membuka mata usai beberapa usai tertidur beberapa waktu mengistirahatkan tubuh dan juga hatiku yang sangat lelah, pesan pertama dari seorang yang aku dan duniaku sebut sebagai suami memberondongku dengan berbagai pesan singkat yang semakin aku menggulirnya ke bawah semakin aku tanggapi dengan cibiran sinis.
Huuuh, khawatir dia bilang?
Khawatir kok mengkhianati! Membayangkan di saat aku menunggu suamiku yang tidak kunjung pulang selewat jam kantornya dengan perasaan was-was takut terjadi apa-apa dengan suamiku yang profesinya begitu riskan dan ternyata dia mungkin saja bergelut dengan simpanannya di ranjang yang panas membuat dadaku terasa mendidih karena perasaan marah.Luka karena patah hati ternyata begitu hebat dan menyakitkan, lebih membunuh daripada tembakan peluru karena rasa sakitnya begitu nyata dan perlahan seolah tidak ada obat maupun operasi yang bisa menyembuhkan.
Pulang ke rumah? Tempat yang aku kira sebagai rumah dan istana di mana aku adalah ratu untuk rumah tersebut dan suamiku kini hancur lebur sama seperti perasaanku, sungguh miris mendapati aku bukan satu-satunya dalam hati dan hidupnya.
Sekarang tidak ada lagi tempat yang bisa aku sebut rumah karena ulah Mas Barra sendiri yang sudah menghancurkannya.
Dengan bermalas-malasan aku meraih ponselku, walau aku sangat enggan untuk membalas pesan manusia pengkhianat ini demi rencana yang sudah aku dan Mitha susun, aku mengirim pesan pada Mas Barra.
Nata nginep di apartemen Mitha, Mas. Kan sudah Nata bilang, Nata mau nyiapin hadiah buat Mas dan Madu Nata. Lima tahun nemenin Mas, Madu Mas harus dapat hadiah yang layak. Lagi pula Nata kira Mas nginep di tempat mereka, memangnya anak Mas nggak minta Mas buat nginep?
Urrrggghhhh, dengan kesal aku membuang ponselku, geram dengan diriku sendiri yang tidak bisa menahan perih membayangkan betapa sempurnanya keluarga selingkuhan suamiku, membayangkan mereka yang tertawa dan bahagia di atas ketidaktahuan yang aku rasa benar-benar membunuhku secara perlahan.
Balas dendam itu kata orang tidak baik, sifat buruk yang harus di buang jauh-jauh, tapi aku yakin, orang bijak yang menemukan kata-kata itu adalah orang yang berkhianat atau jika tidak adalah orang yang tidak pernah di khianati, karena sungguh semua kalimat bijak tersebut hanya omong kosong belaka.
Di tengah pandangan kosongku menatap langit-langit apartemen Mitha, sudut mataku melihat ponselku kembali berkedip, menandakan pesan yang muncul dari Mas Barra, sekali pun malas dan muak, aku kembali meraih ponselku dan membaca balasan pesannya yang begitu cepat.
"Nata, kamu serius tentang Bulan dan Arisa? Kamu benar-benar rela berbagi Mas dengan dia? Mas benar-benar meminta maaf untuk semua yang Mas sembunyikan selama ini, Nat."
Cukup sudah, tidak peduli seberapa banyaknya Mas Barra meminta maaf tidak akan bisa mengembalikan keadaan seperti semula, layaknya gelas yang sudah pecah yang tidak akan pernah bisa menyatu sama seperti semula tidak peduli seberapa banyak lem yang di gunakan.
Dengan kekesalan yang sudah memuncak aku membalas setiap pesannya dengan geram dan menggebu penuh kemarahan.
"Iya, Nata izinin Mas sama Rembulan, ngapain juga sih nanya-nanya mulu, toh tanpa Nata kasih izin kalian juga beranak, giliran di kasih izin malah nanyain mulu. Udah nggak usah nanya-nanya lagi, Mas. Pastikan saja Mas bawa Madu Nata nanti ke rumah buat ketemu Nenek sama Kakeknya, Ayah dan Ibu yang selama ini selalu nanyain anak ke kita pasti bahagia tiba-tiba dapat cucu."
Kali ini aku tidak memperhatikan balasan dari Mas Barra lagi, aku benar-benar sudah tidak ingin tahu apa balasannya yang pasti tidak jauh-jauh dari sekedar meminta maaf, permintaan maaf yang bagiku sudah sangat tidak terlambat dan tidak berarti lagi karena kesalahannya yang telah berselingkuh tidak bisa aku maafkan lagi.
Degup jantungku menggila saat melihat bayanganku di cermin, segala hal yang akan aku lakukan beberapa saat lagi sangatlah bukan Arnata yang lemah lembut, sosok sembab kurang tidur dan terlalu banyak menangis di cermin sana seolah mengejekku yang bertahun-tahun di bohongi tanpa curiga sama sekali, bohong jika aku tidak merasa rendah diri, insecure dengan diriku sendiri yang mungkin terlalu buruk hingga Mas Barra tega mengkhianati tapi tekadku sudah bulat untuk menuntaskan apa yang telah di mulai dari suami dan selingkuhannya.
Hidupku sudah mereka hancurkan, paling tidak jika harus hancur, mereka harus hancur bersamaku.
Ya, itulah tekadku sekarang, menghancurkan mereka dan membuat dunia mereka runtuh seketika seperti yang aku rasakan saat mendapati mereka berleha-leha di atas deritaku.
Mas Barra, Rembulan, tunggu saja!
.......
"Nata, Ya ampun, Ibu kangen, Nak!"
Aku baru saja turun dari mobilku bersamaan dengan Mitha saat ternyata sebuah mobil SUV hitam juga turut berhenti di samping mobilku, sebuah mobil yang ternyata membawa Mertuaku, ayah dan ibu Mas Barra, dan satu kejutan yang tidak aku sangka adalah hadirnya adik iparku yang langsung membuat Mitha terkikik saat menyikut bahuku.
Adik ipar sekaligus teman dahulu saat aku terpilih menjadi Paskibraka dari Jakarta, seorang yang kini menjadi seorang Perwira Muda di Angkatan Darat, Letnan Satu Aidan Prawiranegara, dan saat pandangan kami bertemu, senyuman formal penuh hormat layaknya keharusan kesopanan dalam hubungan persaudaraan yang terjalin karena garis pertalian.
Aaahh, aku serasa de Javu ke masa di mana dulu aku selalu di serbu titipan hadiah dari mereka para fans Aidan untuk pria tanpa senyuman tersebut hanya karena aku satu-satunya perempuan dari SMA-ku yang mengenal pria tersebut.
Namun tidak membiarkanku tenggelam dalam ingatan masa kanak-kanak yang sudah berlalu sepuluh tahun yang lalu, pelukan dari Ibu mertuaku mengalihkan perhatianku.
Terlepas dari segala kekecewaan dan lukaku terhadap Mas Barra, aku tidak bisa membenci sosok mertuaku ini, beliau berdua begitu menyayangiku layaknya anak mereka sendiri, itulah sebabnya aku membawa Ibu mertuaku dalam pelukan yang sama eratnya.
Aaahhh, sungguh, membayangkan bagaimana hancurnya Ibu nanti saat tahu bagaimana rumah tanggaku dan Mas Barra yang terlihat kokoh di luar ternyata bobrok di gerogoti Mas Barra sendiri, aku tidak tega. Ibu pasti kecewa dan hancur, dan semua itu adalah kesalahan Mas Barra dan juga Rembulan.
"Katakan ke Ibu, ada hal baik apa sampai kamu mengundang Ibu dan Ayah ke rumah, Arnata? Nggak biasanya kamu sama Barra yang minta kami datang, biasanya kalian yang menginap di rumah, ayo beritahu Ibu kalian ada kabar baik apa? Ibu jadi nggak sabar."
Demi Tuhan, tegakah aku menghancurkan raut wajah Ibu yang begitu berbinar sekarang ini mengharap aku akan membawa kabar bahagia untuk beliau? Dan tepat di saat hatiku tengah menimbang-nimbang apa aku harus melanjutkan semuanya, sebuah mobil yang baru saja masuk ke halaman rumah semua pertimbangan tersebut buyar.
Tidak boleh ada keraguan lagi, dan aku tidak bisa mundur lagi dari rencanaku. Dengan senyuman palsu yang kini menjadi tameng untuk wajahku aku menunjuk pada mobil Mas Barra yang baru saja datang tepat di saat Rembulan dan anaknya keluar dari pintu.
"Nata mau ngasih tahu ke Ibu kalau Ibu punya cucu."

KAMU SEDANG MEMBACA
Luka dan Obatnya
Lãng mạnArnata Dewani, istri dari seorang Barra Prawiranegara, sang Jaksa Penuntut Umum yang terkenal merasa jika hidupnya sebagai seorang wanita begitu sempurna. Hidup menjadi seorang Nyonya yang segala fasilitasnya terpenuhi, lengkap dengan suami yang san...