"Kamu tahu kan Nat, nyaris seumur hidup aku dan Rembulan saling mengenal, kami bersahabat sejak kami mengenal dunia, selama ini hanya Rembulan yang aku miliki, Arnata."
Pedih, air mataku menetes perlahan saat Mas Barra baru membuka suara, menjelaskan alasan kenapa dia bisa begitu sampai hati kepadaku hingga mengkhianati pernikahan kami, bukankah sangat keterlaluan, di saat dia menikahiku selang beberapa waktu dia kemudian menikahi Rembulan, demi Tuhan, merasakan hal menjijikkan tersebut membuat dadaku terasa di remas-remas dengan cara yang sangat menyakitkan.
Aku bahkan tidak sudi melihatnya karena setiap apa yang Mas Barra ucapkan tidak membenarkan rasa sakit yang aku rasa di hatiku. Bagiku setiap ucapannya tidak lebih dari sebuah pembelaan atas kesalahan yang sudah dia lakukan.
"Selama ini aku selalu tersisih dari adikku sendiri di mata Orangtuaku. Ayah dan Ibu selalu membanggakan Sadewa, mendukungnya untuk menjadi seorang Tentara seperti Ayah, sementara aku? Sehebat apapun prestasiku di sekolah aku tidak pernah di banggakan oleh orangtuaku sendiri, Arnata. Dan satu-satunya dukungan yang aku miliki hanya dari Bulan, sedari kecil dia yang mendukungku di saat aku terpuruk, dia yang menyemangatiku di saat aku hampir menyerah pada hidup karena aku berulangkali gagal lolos tes masuk tentara dari Akmil, Bintara hingga Tamtama. Bulan yang menyelamatkanku dari depresi berat karena merasa gagal tidak bisa menjadi anak yang di banggakan orangtuaku, Arnata."
Sakit, rasanya aku nyaris gila mendengar bagaimana Mas Barra begitu memuja Rembulan seolah Rembulan adalah Dewi penyelamat dalam hidupnya, dia menyanjung-nyanjung Rembulan tepat di depan wajahku di saat Rembulan dan dirinya baru saja menghancurkan hidupku, seluruh tubuhku kini bahkan seolah mati rasa karena ucapan Mas Barra layaknya ribuan jarum yang mencabik-cabik hatiku hidup-hidup.
Aku kasihan pada jalan hidup Mas Barra yang menurutnya begitu tersisih karena orangtuanya yang pilih kasih, mungkin saja hatiku akan kasihan mendapati kisah tersebut, andai saja bukan aku yang sekarang menjadi korban. Lebih dari kasihanku pada mereka berdua, aku justru semakin kasihan pada diriku yang di bohongi mentah-mentah.
"Aku berhutang budi begitu banyak pada Bulan, Arnata. Maafkan, Mas. Maaf karena kamu tahu segalanya dengan cara yang begitu menyakitkan."
Aku menatap nanar pada pria yang kini berlutut di bawah kakiku, menunduk memohon maaf yang tidak sudi aku berikan. Selama hidupku aku selalu di jaga sepenuh hati oleh Papa dan Mamaku, tidak pernah sekali pun Orangtuaku menyakitiku atau membuatku menangis, lalu sekarang, Mas Barra dan Rembulan, dua orang asing yang datang dalam hidupku ini berlaku sekenanya kepadaku?
"Jika Mas berhutang budi kepada Rembulan, kenapa harus Nata yang menjadi korban? Kenapa tidak sedari awal Mas menikahi Rembulan dan berbahagia saja dengannya? Kenapa Mas justru berpacaran dan menikahiku?" Kudorong dadanya kuat, bahkan aku tidak peduli dengannya yang nyaris terjungkal ke belakang karena kehilanga keseimbangan, andai aku bisa aku ingin sekali menusuk dada itu kuat-kuat dan mencincang hatinya yang sudah begitu tega menyakitiku, "Nata tidak pernah memaksa Mas untuk datang ke dalam hidup Nata, Mas yang datang sendiri menawarkan cinta dalam pernikahan. Bahkan Nata menerima Rembulan sebagai sahabat juga karena Mas, lalu kenapa Mas begitu tega kepada Nata? Lima tahun Mas, sepanjang pernikahan kita Mas mengkhianati Nata dan memperlakukan Nata yang begitu tulus mengabdi sebagai seorang istri layaknya kerbau yang Mas bodohi. Nata nggak bisa bayangin kalian yang tertawa bahagia di atas kebodohan Nata. Mas tidak menginginkan anak dari Nata sementara dengan wanita lain memilikinya. Serendah itukah harga dirimu, Mas Barra? Menikahi Nata hanya karena Orangtua Nata mampu memuluskan karier, Mas? Mas tahu, Mas lebih buruk dari sekedar kata Bangsat?!"
Cinta yang membuatku percaya pada Mas Barra sebelumnya kini musnah tidak bersisa meninggalkan kebencian yang berkobar hebat.
Selama ini aku tidak pernah membantah Mas Barra, aku selalu menurut kepadanya, tidak pernah menuntut atau mengeluh apapun bahkan di saat Mas Barra melarang aku melakukan sesuatu yang sebenarnya aku sukai, tapi sekarang dengan semua kelakuan busuknya yang terbongkar makian dan umpatan yang baru saja aku layangkan kepadanya terdengar masih begitu manusiawi.
Tentu saja mendapatiku bisa begitu murka seperti sekarang membuat Mas Barra sangat terkejut, sekarang tidak peduli aku yang berulangkali menepis, tangannya kini menggenggamku begitu erat, kekalutan yang terlihat di wajahnya nampak begitu nyata seolah dia takut aku akan pergi meninggalkannya.
"Mas sayang sama kamu, Arnata. Mas benar-benar mencintaimu. Apa yang Mas rasakan ke kamu dan Rembulan berbeda."
"Apa bedanya? Bedanya kamu memanfaatkanku kan Mas? Kamu menikahiku namun hatimu miliknya, iya? Begitu?"
Mas Barra menggeleng keras, perlu usaha keras darinya agar aku mau menatapnya lagi, karena sungguh saat kedua tangannya menangkup wajahku untuk melihat tepat ke arah matanya aku kembali hancur berkeping-keping, andaikan aku tidak malu kepada takdir yang sudah tergaris mungkin aku akan menangis berguling-guling kembali pada orangtuaku, sayangnya membayangkan bagaimana hancurnya hati Papa dan Mama jika mereka mendengar apa yang sudah aku alami ini membuatku tidak bisa berlari kemana pun.
"Arnata, Mas benar-benar mencintaimu, Nat. Tidak ada di dunia ini yang lebih Mas inginkan daripada bahagia bersamamu, hingga kita menikah Mas sama sekali tidak tahu kalau Bulan menganggap Mas lebih daripada sekedar kakak dan sahabat."
"Bullshit....." Tukasku ketus. Omong kosong tentang Mas Barra dan semua pembelaannya, sebagai seorang Jaksa Penuntut Umum tentu saja dia bisa membalikkan keadaan dengan mudah, lihatlah betapa gigihnya Mas Barra saat dia berusaha meyakinkanku.
"Mas bersungguh-sungguh, Arnata. Semua yang Mas katakan adalah kejujuran, Mas tidak tahu bagaimana perasaan Rembulan sampai akhirnya satu malam beberapa hari setelah pernikahan kita Ibu Kos Rembulan menghubungi Mas dan mengatakan jika Rembulan berusaha bunuh diri karena hamil, Arnata. Mas khilaf, Nat. Mas nggak pernah berpikir jika satu malam di mana Mas kehilangan kendali bisa membuat kami melanggar batas."
Sekuat tenaga aku menahan laju air mataku tetap saja tetes bening tersebut meluncur tanpa bisa aku bendung, bagaimana bisa Mas Barra tanpa tahu malu sama sekali berkata jika dia tidak sepenuhnya bersalah sementara di saat dia sudah hendak mengikatku dalam pernikahan dia justru ada main gila dengan sahabatnya sendiri, sahabat macam apa yang berhubungan hingga hamil, sungguh aku ingin sekali memukul kepala Mas Barra agar dia sadar betapa jahatnya apa yang sudah dia lakukan.
"Khilaf?" Beoku pelan, "khilaf itu kesalahan yang satu kali di lakukan, Mas. Tapi lima tahun berkhianat, bahkan sebelum kita menikah hingga kamu berhubungan bukan khilaf namanya, tapi memang sudah Mas rencanakan untuk menggenggam dua hati secara bersamaan, satu untuk kamu cintai secara utuh, sementara aku? Aku yang kamu jadikan pijakan untuk mendapatkan segala yang kamu miliki sekarang!"

KAMU SEDANG MEMBACA
Luka dan Obatnya
Storie d'amoreArnata Dewani, istri dari seorang Barra Prawiranegara, sang Jaksa Penuntut Umum yang terkenal merasa jika hidupnya sebagai seorang wanita begitu sempurna. Hidup menjadi seorang Nyonya yang segala fasilitasnya terpenuhi, lengkap dengan suami yang san...