17

12.9K 1.1K 83
                                    

"Arnata, Mas janji akan menerima semua yang kamu perintahkan ke Mas, berkas ini akan Mas tanda tangani sekarang juga, tapi tolong jangan ambil apartemen itu Arnata. Di mana Arisa akan tinggal jika kamu juga mengambilnya?"

Mas Barra bangkit dari kursinya dan berjalan lunglai ke arahku, ketidakberdayaan tampak jelas di bahunya yang melorot lemas saat dia bersujud di hadapanku. Meminta permohonan maaf yang rasanya mustahil untuk aku berikan kepadanya. Kepercayaan yang sudah di koyak dan di hancurkan dengan begitu keji tidak akan bisa utuh kembali.

"Mas mohon Arnata!"

Aku sama sekali tidak tersentuh dengan segala permohonan maaf dan penyesalan yang di perlihatkan Mas Barra sekarang, semuanya sudah terlambat sangat jauh dariku.

Tidak menyerah mendapati kebisuanku Mas Barra sama sekali tidak menyerah untuk membujukku agar sedikit luluh kepadanya, "Arisa, dia tidak bersalah atas apapun, Nat. Di sini aku dan Bulan yang bersalah terhadapmu, Mas yang terlalu tidak sadar diri siapa Mas hingga berani-beraninya berkhianat di belakangmu, tapi tidakkah kamu terlalu Arnata hingga tidak cukup mengambil kembali semua yang menjadi milikmu kamu tidak berbelas kasihan sedikitpun terhadap Arisa? Tolong kasihani Arisa, Nata!"

"MAS BARRA! APA-APAAN KAMU INI, SIAPA DIA SAMPAI KAMU HARUS BERSUJUD MEMOHON MAAF DI KAKINYA!"

Di tengah ratapan Mas Barra memohon sedikit belas kasihan dan pengampunanku atas kesalahannya, kembali Rembulan mengeluarkan lengkingan menyebalkannya bak seorang Ratu yang segala titahnya harus di lakukan dan sama sekali tidak di pedulikan oleh Mas Barra yang langsung menepisnya dengan pandangan muak dan malu yang kentara.

Sungguh aku benar-benar merasa terhina karena bisa-bisanya Mas Barra berselingkuh dengan siluman berwujud manusia seperti Rembulan ini, jika yang menjadi selingkuhan Mas Barra adalah perempuan sekelas Dian Sastro atau Raline Shah mungkin aku akan mundur daan mengakui kekalahan ku dengan telak, tapi Rembulan? Selain dia pintar berakting hingga aku termakan sandiwaranya seolah dia adalah Ibu Peri yang baik selama bertahun-tahun, dia sama sekali tidak memiliki sesuatu apapun yang bisa di banggakan sebagai wanita, bahkan urat malu pun dia tidak punya, jika punya tentu dia akan menutup mulut rapat-rapat karena posisinya di sini adalah orang yang bersalah bukannya malah membabi buta hendak mengambil harta yang bukan miliknya.

Rakus, tamak, serakah, semuanya di borong oleh Rembulan.

"Kamu kemarin bilang jika kamu menerima semua ini kan, Nat? Kamu bilang kamu menerima Arisa sebagai putri Mas dan Bulan, jika kamu tidak bisa menerima Bulan tolong terima Arisa........"

Aku mengangkat tanganku, isyarat agar Mas Barra berhenti berceloteh mengungkit semua hal yang aku ucapkan kemarin, aku sama sekali tidak amnesia sepertinya yang bisa dengan mudahnya melupakan janji suci pernikahan yang terucap di antara kami.

"Aku menerima pernikahan keduamu, Mas Bara. Aku ingat betul kemarin aku mengucapkannya, dan baru saja maduku juga berteriak berulangkali menyuarakan hal yang sama, aku menerima semua yang telah kamu lakukan lengkap dengan anak kalian tapi bukan berarti aku mau menyokong hidup keluarga kecil kalian, Mas Barra! Aku tidak mau hasil kerja kerasku kamu gunakan untuk menghidupi istri keduamu dan juga anak kalian. Jika aku mau hitung-hitungan bisa aku pastikan kamu tidak akan sanggup membayar lima tahun yang Mas habiskan untuk mereka."

Kali ini setelah mati-matian aku berdiri gagah dengan topeng kuatku pada akhirnya aku tidak bisa menahan kegetiran yang teramat sangat mendapati aku berada di puncak kesabaran, cinta yang dulu begitu agungkan tersemat atas nama Barra Prawiranegara musnah lenyap karena perbuatan Mas Barra sendiri. Aku terlalu sibuk jatuh cinta dan memuja indahnya sebuah pernikahan hingga aku lupa jika suami adalah titipan yang jika tidak di ambil Yang Maha Kuasa maka akan di ambil pelakor, hingga aku lupa untuk menyiapkan secuil tempat untuk patah hati.

Pada akhirnya separuh jiwaku laksana pergi, tidak ada lagi yang aku rasakan pada Mas Barra selain benci, marah, terluka, dan kecewa, sebab itulah penyesalan, permohonan maaf dan banyaknya air mata tidak akan bisa menyentuh simpatiku.

"Milikku yang selama ini kalian nikmati, Mas Barra. Dan aku sama sekali tidak ridho! Aku tidak rela! Jadi kita sudahi drama ini di sini, tugasku memberikan hadiah kepada kalian berdua sudah selesai. Tugasku untuk memberitahukan kepada orangtuamu jika selama ini cucu yang orang tuamu inginkan sudah hadir sedari dulu juga sudah selesai. Ini adalah hadiah yang harus kalian berdua terima, Mas Barra. Sama seperti aku yang menemanimu di saat kamu merintis karier, sekarang giliran Rembulan yang harus melakukannya. Aku tidak akan mempersulit kalian berdua jika kamu mengkhawatirkan aku akan mengusik kariermu, jadi Nata mohon. Sudah cukup dan jangan meminta lebih, Mas Barra. Yang aku berikan kepada kalian sudah begitu banyak!"

Nafasku terengah saat aku mengangkat tanganku, aku benar-benar menyerah dengan keadaan yang begitu rumit ini, rasa lelah yang aku rasa seperti aku baru saja selesai berlari dalam jarak yang begitu jauhnya, tapi andai aku boleh memilih aku akan dengan senang hati maraton mengelilingi Jakarta di bandingkan harus makan hati karena ulah suamiku.

"Barra, yang kamu lakukan kepada Nata sudah sangat keterlaluan, Bar! Tolong jangan coret muka Ayah dengan arangmu lebih banyak lagi!" Sedari tadi Ayah mertuaku diam, bukan hanya Ayah mertuaku, Ibu dan Genta, mereka semua menunduk malu tidak berani menatap ke arahku karena ulah salah satu anggota keluarga mereka yang begitu memalukan, namun sekarang Ayah mertuaku angkat bicara di tengah kekecewaan yang terlihat jelas di wajah tangguh beliau yang sudah mulai senja. "Jangan buat Ayah dan Ibumu semakin malu, Nak! Sudah cukup rasa malu di hadapan Arnata mendapati kami gagal mendidikmu sebagai seorang pria yang setia, jangan di tambah lagi dengan semua permintaanmu yang sangat tidak tahu diri, Barra. Demi Tuhan, jangan! Terima semua hukuman ini sebagai pelajaran seorang pria, Barra. Kamu di dewakan oleh seorang wanita dan kamu sudah mengecewakannya, tolong jangan sakiti dia lagi, karena Ayah tidak akan diam saja. Ayah mohon, jangan sakiti istrimu lagi dengan rengekanmu dan ucapan pedas istri keduamu itu, Barra. Apa yang kalian berdua lakukan sangat memalukan. Tolong, jangan buat Ayah semakin kehilangan muka di hadapan keluarga istrimu nantinya. Kamu sudah membuat Ayah sangat malu, Barra. Sedari dulu, hingga sekarang, kamu hanya terus mencoreng nama Prawiranegara."

Dan saat Ayah mertuaku membuka suara mengutarakan kekecewaannya aku tahu jika ini adalah puncak dari  segala kejutan di hari yang begitu cerah namun penuh dengan dengan badai yang membuat kami semua tenggelam. Aku bisa melihat Mas Barra hendak bersuara, satu detik yang lalu aku mengira Mas Barra akan berteriak menyuarakan kekecewaannya pada semua orang, apalagi kepadaku yang membuat keluarganya kembali membuangnya, namun yang aku dapatkan justru sebaliknya.

Suara letih dan penuh penyesalan tersebut meluncur tanpa daya dari Mas Barra menjadi tanda kekalahannya, kekalahan yang dia sengaja dengan sendirinya.

"Hukuman apapun Mas terima asalkan kamu tidak meminta perceraian, Arnata. Mungkin selama ini Mas membohongimu dengan memiliki Arisa dan Bulan, tapi perasaan yang Mas miliki kepadamu itu nyata Arnata."

Luka dan ObatnyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang