Bab 6. Pesta Petaka

28 4 0
                                    

“Wah! Keluarga Count Floyd, kami sudah menantikan kedatanganmu.” Si pria dengan tongkat yang menyambut kedatangan Keluarga Floyd itu tersenyum sembari merentangkan tangannya.

Count? Ivana mengerutkan dahinya. Sejauh pengetahuan Ivana, count adalah sebutan bagi penguasa dari sebuah county. Sementara county sendiri biasanya merupakan bagian dari sebuah wilayah kerajaan, berada satu tingkat di bawah Duchy. Hal tersebut membuat Ivana tanpa sadar memicingkan mata karena mengira bahwa orang-orang di depannya ini sedang bermain peran sebagai orang-orang dari ratusan tahun lalu.

Ayah Liliya balas tersenyum pada Tuan Peobi dan merentangkan tangannya. “Terima kasih atas undangan jamuannya, Tuan Peobi. Saya sangat tersanjung untuk bisa hadir,” ucap kepala Keluarga Floyd itu sembari memeluk Tuan Peobi sebagai salam hangat dan tanda ramah tamah.

“Kalau begitu silakan masuk Tuan George Floyd, Nyonya Savina Floyd, serta Nona Liliya,” ucap Tuan Peobi mempersilakan. Kemudian Pria itu berbisik kepada seorang pelayan yang sejak tadi berdiri di belakangnya.

Setelah itu, si pelayan mendampingi Savina dan Ivana untuk masuk ke dalam. Sementara George didampingi sendiri oleh Tuan Peobi. Ivana hanya membuntuti Savina dari belakang saja sembari memperhatikan sekitar. Hanya dengan sekali lihat saja, Ivana bisa melihat bahwa tempat ini dipenuhi dengan orang-orang kaya.

Pembahasan tentang kekayaan dan kekuasaan mengisi ruang pesta tersebut. Termasuk ibu dan ayah Liliya pun sibuk mengobrol dengan “teman-teman” sesama penguasa mereka. Kemudian Ivana menggunakan kesempatan itu untuk sedikit berkeliling. Ivana akan mencari tau di mana sebenarnya dia berada sekarang atau mungkin kapan. Karena Ivana yakin di belahan bumi mana pun, di zaman modern tidak akan ada tempat seperti ini.

Kemudian Ivana melihat sebuah lukisan tergantung pada dinding lorong yang agak sepi, hanya para pelayan yang mondar-mandir melewati lorong tersebut. Tampak wajah seorang lelaki terpampang jelas dalam lukisan tersebut dan Ivana langsung bisa mengenali wajah lelaki itu. Itu adalah wajah orang yang menyambut Keluarga Floyd tadi, Tuan Peobi. Meskipun wajah di dalam lukisan tampak dua puluh tahun lebih muda.

Lalu Ivana menemukan bahwa pada salah satu sudut kanvas tertera sebuah tanggal dan tahun, serta sebuah kata yang Ivana perkirakan sebagai nama tempat. “Ardes, 27 Maret 1784,” gumam Ivana membaca tulisan yang tercetak pada sudut lukisan di depannya.

Untuk sejenak Ivana terdiam karena merasa ada yang aneh. Hingga perempuan itu menyadari bahwa lukisan tersebut dibuat pada tahun seribu tujuh ratus delapan puluhan, padahal objek dalam lukisannya masih hidup. “Seberapa serius orang-orang ini bermain peran?”

Ivana menggeleng-gelengkan kepalanya nyaris tidak percaya, kemudian perempuan itu kembali berjalan untuk menghampiri Savina yang masih sibuk mengobrol dengan teman-teman wanita itu yang tampaknya mereka berasal dari kalangan yang sama. Sayangnya Ivana harus berjalan dengan perlahan karena dia kesulitan berjalan berkat gaun aneh yang dikenakannya. Ivana sungguh tidak sabar dengan gaun yang dikenakannya karena perempuan itu terbiasa berjalan dengan cepat untuk menyelesaikan berbagai urusan. Akan tetapi, berkat jalannya yang lambat itu, Ivana jadi mendengar sebuah percakapan antara dua orang pria yang seumuran dengan George.

“Seharusnya memang pembangunannya dimulai tahun ini, aku tidak percaya kita kehilangan kesempatan untuk mendapatkan tanah di sana,” ucap seorang pria yang penampilannya cukup mirip dengan george tetapi bedanya pria ini berkumis, sedangkan George tidak berkumis.

“Sudahlah, aku yakin tahun depan kita akan mendapatkan tanah itu,” jawab teman si pria berkumis yang perawakannya lebih pendek.

Si pria berkumis berdecak kesal. “Mungkin aku akan mencoba meminta bantuan Count Floyd, aku sudah tidak bisa sabar lagi karena kita sudah memulainya sejak seribu delapan ratus tujuh belas dan sekarang sudah seribu delapan ratus dua puluh dua, sudah lima tahun. Memang orang-orang jelata itu sangat keras kepala, padahal aku telah menawarkan semua itu dengan begitu murah hati.”

The Past of LiliyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang