"Adnan!" Bowo menggebrak pintu ruang kerja Adnan saat masuk. Sekretaris Adnan berdiri gelisah di balik punggung Bowo saat melihat ruangan bosnya diseruduk orang yang tak ada di jadwal temu.
"Nggak apa-apa, Git." Adnan mengangkat tangan, mempersilakan Gita kembali bekerja. Dia bangkit dari kursinya dan merapatkan tirai jendela yang menghadap ke lorong kubikel karyawan demi memperoleh privasi lebih. Gita menutup rapat pintu setelah yakin bosnya baik-baik saja.
Bowo membawa kotak besar berwarna putih dengan pita emas yang terikat cantik di atasnya. Dia meletakan kotak itu di meja Adnan, lalu melemparkan badannya ke kursi ergonomis.
"Kenapa datang ke sini? Workshop lo sepi?" Adnan melirik jam dinding. Sudah pukul tiga lebih sepuluh menit. Dia berencana pulang satu setengah jam lebih awal hari ini. Jadi, dia memiliki waktu 20 menit untuk mendengar ocehan Bowo.
"Gue diam pas lo pakai alamat workshop gue sebagai alamat kantor lo buat Yuniza. Gue baik-baik aja nerima paket makan siang buat lo setiap hari. Gue juga nggak keberatan nyuruh Pak Badi antar makan siang itu ke kantor lo tiap kali makanan itu sampai ke workshop, walau gue nggak tahu kabar makanan itu benar lo makan atau lo buang. Tapi kali ini gue nggak bisa nggak ambil tindakan saat kotak ini datang. Dan lagi-lagi ditujukan buat lo." Bowo mengetuk telunjuknya pada kotak.
Adnan melirik isi kotak. Bagian tengah atasnya terbuat dari mika bening yang memudahkan untuk mengintip isi dalam kotak. Itu adalah kotak berisi cupcake cantik. Sudut bibir Adnan tersungging singkat. Gadis gila itu bersungguh-sungguh membuktikan dirinya. Setelah memaksa meminta alamat rumah yang ditolak mentah-mentah Adnan, Yuniza masih memohon alamat lain untuk dikirimi 'kualifikasi'. Adnan yang malas repot berakhir memberikan alamat workshop Bowo. Pria itu tentu kesal. Namun Adnan menyumpal mulut Bowo dengan sindiran tentang konsekuensi melangkahi privasi orang. Sudah empat hari Yuniza rutin mengirimkan makan siang. Sebenarnya makan siang yang datang terlambat karena kotak thinwall berisi menu yang berbeda-beda selalu datang lewat jam makan siang. Adnan tidak membuang makan siang itu. Dia tidak diajarkan menolak rezeki, terutama menyia-nyiakan makanan. Sekali waktu dia memakannya. Rasanya lezat. Berikut-berikutnya, dia terlalu sibuk untuk makan di sore hari dan membawa makanan itu pulang. Tiba di rumah, makanan itu masih enak sekalipun dimakan malam hari. Semalam, dia makan masakan Yuniza bersama anaknya yang mengira makanan itu dibeli di perjalanan pulang.
"Lo minta kue?" tuduh Bowo.
"Nggak." Adnan menarik pita dan memeriksa isinya baik-baik. "Dia bilang dia yang mau nunjukki kualifikasinya."
"Cewek ini pintar." Bowo melipat tangannya. Dia serius saat berkata, "Cuma cewek pintar yang tahu deketin cowok tua dari perut in case visual si cewek ditolak cowok itu. Yang bikin gue heran, kenapa lo nggak cocok sama cewek ini? She's pretty."
Adnan memicing. "Apa lo sengaja keceplosan mengakui keberadaan lo di resto saat itu?"
Bowo kelagapan. Dia berdehem keras-keras. "Gue punya firasat yang oke soal cewek cantik. Lihat profilnya, gue bisa tahu dia itu cewek cantik."
Adnan puas melihat mahakarya di dalam kotak. Dia juga senang melihat note kecil yang ditusuk pada masing-masing cupcake yang berisi info singkat tentang bolu dan topping. Dia menutup kembali kotak itu.
"Lo ke sana bareng nyokap dan procil, kan?" Adnan memindahkan kotak tersebut ke meja lain di belakang kursi kerjanya.
"Gue udah kasih tahu Bu Khofifah supaya let the love come naturally, but she's insisted to watch over. Menurut lo, gue harus gimana? Gue pemegang prinsip menyenangkan hati orang tua."
"Dan menghianati teman," tambah Adnan.
"Gue nggak bisa bohong pas ditanya nyokap lo, Nan."
Adnan duduk di kursi kerjanya. Minat kerjanya menurun akibat kedatangan Bowo. "Sebelum nyokap gue nanya-nanya lo, nyokap gue harus punya informasi dulu yang jadi alasan dia nanya ke lo. Gue yakin nyokap gue nggak ada bakat meramal, kecuali dia menanam CCTV yang bisa mengawasi gue setiap waktu dan ngasih dia info terkini."
"Kalo soal itu..." Bowo memutar matanya ke langit-langit. "Mungkin gue ada sedikit salah."
Kedua alis Adnan naik. Dia memang menantikan pengakuan ini dari mulut Bowo. Dia telah bersabar tidak mengintrogasi tiga orang yang diam-diam membuntutinya Jumat lalu. Bukan berarti dia tidak penasaran bagaimana mereka bisa kompak memata-matainya.
"Lo bocorin ke nyokap gue?" Adnan menebak.
"Nggak!" Bowo buru-buru menyanggah. "Gue cuma ngomong ke ... procil." Suara Bowo menurun.
Adnan berdecak. Jika ada yang paling ingin dia jadikan orang terakhir yang tahu soal pertemuannya tak lain adalah yang baru disebut Bowo. Anaknya itu.
"Lo benar-benar bikin situasinya runyam, Wo." Adnan memijat pelipisnya yang seketika pening.
"Sorry. Gue awalnya nggak maksud bocorin. Gue cuma nanya gimana sekolah, gimana teman-temannya. Lo tahu sendiri, gue biasa jadi teman curhat anak lo. Dia curhat di field trip, teman-temannya diantar orang tua. Dia doang yang diantar sama nenek. Kan, gue sedih. Gue nawarin dia jalan-jalan."
"Kaaaaaan!" Saking jengkelnya, telunjuk Adnan bergetar kala menuding muka Bowo. "Lo bikin gara-gara aja."
"Nan, gue nggak maksud begitu. Gue awalnya mau ajak dia doang."
"Lo bahkan mau ajak anak gue mata-matai gue?"
"Kagak begitu!" Bowo panik. "Gue mau bikin dia happy. Ngasih tahu kegiatan lo di luar kantor. Cuma dia doang. Eh, dia cerita ke emak lo."
"Bowo." Andai bisa, Adnan ingin sekali menggigit Bowo. Dia tahu Bowo menyembunyikan hal lain. Hal lebih besar yang enggan dia ucapkan sendiri. Suatu hal yang menjadi alasan anaknya berubah sejak Jumat itu.
MoM
"Lo yakin ini kantornya?" Deyon mendongak. Dia memerhatikan deretan huruf di atas pintu masuk yang bertuliskan 'BOW'. Nama yang aneh dari perusahaan yang disebut sebagai produsen pakaian ready to wear.
"Iya. Gue ngirim semua masakan gue ke sini. Kurirnya bilang, kiriman gue diterima sama resepsionis kok." Yuniza mencangklong tasnya. Dia memeriksa penampilannya sekali lagi pada spion tengah, lalu keluar duluan.
Keysha dan Deyon yang duduk di kursi depan saling berpandangan. "Apa pun yang terjadi, kamu wajib jagain Za," pesan Keysha.
"Aku jagain kamu dan baby kita duluan, Yang."
"Nggak. Harus Za. Dia yang bakal kecewa kalo cowok ini ternyata penipu." Keysha menarik napas. "Aku udah menyiapkan catokan aku kalo kita butuh menghajar seseorang. Ayo turun."
Deyon mendesah. Tanpa perlawanan dia menyusul kedua perempuan itu.
Yuniza berjalan cepat memasuki gedung. Langkahnya begitu ringan sampai-sampai Keysha menganggap sepasang sayap telah tumbuh di mata kaki Yuniza.
[Miss Bek gatal pengen komen. Ntu Za bisa jalan kaya terbang gitu karena mau ketemu Mas Ganteng Adnan 😌]
"Saya mau bertemu Pak Adnan." Yuniza mengganti panggilan mas dengan pak sebagai caranya menghormati Adnan di tempat kerja pria itu.
Perempuan yang berdiri di balik meja resepsionis tersenyum. "Paketnya silakan dititipkan di sini, Bu. Nanti akan saya sampaikan ke atas."
"Saya bukan mau antar paket. Saya mau ketemu Pak Adnan. Apa dia ada di kantor?"
Keysha memerhatikan perubahan pada wajah Yuniza dari samping. Dia yakin dia melihat tantenya merona saat menyebut nama pria yang baru ditemuinya sekali. Keysha curiga sesuatu telah terjadi pada Yuniza.
Senyum pada wajah resepsionis itu luntur. Dia menoleh ke samping. Seorang pria berpakaian petugas keamanan bergabung di balik meja resepsionis.
"Saya bisa bertemu Pak Adnan?" Yuniza bertanya lagi.
Petugas yang baru datang itu membelalak, lalu menggeleng ke resepsionis. Jawaban yang diterima Yuniza berikutnya sangat mengejutkan. "Mohon maaf, Bu. Pak Adnan tidak ada."
"Sedang di luar kantor? Atau nggak masuk kerja?"
Recipe #8

Sosis goreng Octopus.
###
13/09/2022
Pada baca ini karena penasaran sama anak Adnan? 😌 gak penasaran sama kisah cinta Za?
KAMU SEDANG MEMBACA
Grapefruit & Rosemary
RomanceYuniza mempunyai masalah. Dia harus segera menemukan calon suami dan menikah. Waktunya terus berjalan dan perut itu akan membesar. Sebelum masalah berbuah retaknya sebuah keluarga, Yuniza hanya memiliki satu pilihan, yakni sederet nomor pada selemba...