Adnan gugup. Dia sudah mengalihkan perhatian ke setumpuk email pekerjaan di ponsel dan perasaan gugupnya belum pergi. Jarum jam bergerak sangaaaat lambat menuju angka empat. Di sisi lain meja, suasananya jelas-jelas berbeda. Akbar dan Yuniza begitu bahagia. Mereka bertukar tawa, makan pasta yang berlimpah saos bolognese dan daging cingcang, serta saling bersentuhan. Yang terakhir agak membuat Adnan cemburu. Dia penasaran bagaimana tekstur kulit wajah Yuniza. Apakah selembut yang terlihat?
"Auw," rintih Yuniza.
"Oh, maaf." Adnan, tanpa sadar, menggerak-gerakan kakinya di kolong meja dan menendang Yuniza. "Apa kaki kamu kesakitan?"
"Ayah, be polite. Please." Akbar memberikan tatapan peringatan (yang di mata Adnan sangat menggemaskan). "Be gentle to my mommy," tambahnya (yang membuat Adnan seketika meralat penilaiannya).
"Akbar, panggil yang benar. Kak Yuniza nggak nyaman kalau dipanggil begitu."
"Ayah kan yang bikin Kak Yuniza nggak nyaman," sanggah Akbar. "Ayah ngapain Kak Yuniza tuh?" Akbar menoleh ke Yuniza. "Kakak sakit? Laporin aja Ayah ke polisi."
"Hei!" Adnan membelalak. Semasa Reyyan kecil sampai remaja, belum pernah anak laki-lakinya yang itu mempunyai ide melaporkan dirinya ke polisi. Anak perempuannya yang suka malas belajar pun sama. Mereka berdua tidak pernah memiliki ide segila Akbar. Apa anak-anak generasi Akbar sudah kepikiran sejauh ini?
"Ayah nggak mau Kak Yuniza jadi my mommy. Ayah is NOT a good man. Ada dedek aku sama Kak Yuniza."
"Nggak!"
"Nggak ada!"
Adnan dan Yuniza berseru bersamaan.
Kepala Adnan berdenyut. Kebohongan teman-teman Adnan sudah menimbulkan masalah baru. "Akbar, dengarkan Ayah. Kak Yuniza nggak punya dedek kamu."
"Punya," tukas Akbar.
"Nggak ada."
"Kan Kak Yuniza ke dokter dedek," Akbar masih berkeras.
"Tapi bukan..." Adnan melirik Yuniza, memastikan tamunya baik-baik saja. Sebenarnya Adnan malu harus berdebat hal yang konyol dengan bocah di depan orang lain. "Yang sudah menikah yang bisa punya dedek. Yang belum menikah nggak bisa punya dedek. Kak Yuniza belum menikah."
"That's weird." Akbar melipat tangan dan memajukan bibir bawahnya.
"Ayah nikah aja ama Kak Yuniza. Nanti ada dedek aku," lanjutnya tepat ketika Adnan mengira anak itu sudah menyerah.
"Ayah sudah bilang, orang dewasa nggak bisa menikah semau mereka. Ada banyak hal yang harus kami pikirkan." Akbar memiliki pemikiran yang kritis sehingga Adnan yakin putra bungsunya memahami ucapannya.
"Ayah pikir aku?" Akbar berbicara seperti baru belajar bicara.
"Maksud kamu apa?" Dia bertukar lirikan dengan Yuniza yang sejak tadi bungkam.
"You think about me before you marry Kak Yuniza?" Akbar menumpuk kedua tangannya di atas meja. Matanya membesar dan berbinar.
Punggung Adnan merinding. Dia menghapal gelagat Akbar yang satu ini. Ketika anak itu bertanya dalam nada super imut dan wajah merona, itulah tandanya. Panggilan procil bukan muncul tanpa alasan.
"Kita bisa bicarakan ini nanti," jawab Adnan. Suaranya bergetar. Dia belum mempersiapkan diri.
"Ayah think about me? About abang? About Kak Dira? About Susuku? About else?"
"Jangan sekarang." Adnan benar-benar nggak mempersiapkan jawaban. Yah, dia bisa memikirkan beberapa jawaban, tetapi lawan bicaranya adalah Akbar. Jika Reyyan, tentu lain soal.
KAMU SEDANG MEMBACA
Grapefruit & Rosemary
RomanceYuniza mempunyai masalah. Dia harus segera menemukan calon suami dan menikah. Waktunya terus berjalan dan perut itu akan membesar. Sebelum masalah berbuah retaknya sebuah keluarga, Yuniza hanya memiliki satu pilihan, yakni sederet nomor pada selemba...