12

3.9K 675 74
                                    

"That's her, Nek!" Akbar memanjat kursi tunggal pada barisan tengah mobil. Di sebelahnya, seorang perempuan berumur enam puluhan berhenti mengutik ponsel.

"Siapa?" tanya perempuan itu. Dia memiringkan duduknya.

"The one ehm... yang ketemu ayah di hotel itu loh. Yang cewek. Yang cantik. Yang sedih banget abis ditinggal ayah. Nek- AUW!" Akbar menjatuhkan bungkusan plastik yang dipegangnya ke lantai mobil. Dia baru saja menyentuh sisi kantung yang panas.

Si nenek mengambil bungkusan dan menyimpan di lantai antara kursinya dan kursi Akbar. "Kamu yakin?"

"Yakin. Yakin. Yakin." Akbar berdiri di antara dua kursi barisan depan. Kemudian dia menunjuk warung di depan mereka. "Dia masih di dalam. Nenek mau ketemu?"

"Nggak deh. Ayah kamu kan nggak berminat sama cewek ini. Nenek nggak mau kena ceramah ayah kamu kalau ketahuan ngobrol sama kandidat gagal. Pulang saja. Nandar, kita bisa pulang sekarang."

"Siap, Bu." Pemuda di balik kemudi menoleh sedikit. "Akbar duduk. Mobilnya mau jalan. Nanti kamu terpelanting."

Akbar mengerang, walau dia menurut untuk duduk. "I'm curious why ayah didn't like her. She's pretty and has a good attitude."

Si nenek mencolek pipi cucunya gemas. "Kamu kapan kekanakannya sih? Kecil-kecil bicaranya seperti udah gede. Yang tampak baik di luar, belum tentu benar-benar baik di dalamnya."

"Nek, it's my intuition. I got a good impression about her and ayah should feel it. What's wrong with him?"

Mendapati cucunya berceloteh bak orang tua, si nenek melambai pada sopir. Mobil mereka dinyalakan dan bergerak keluar dari area parkir sempit di depan warung.

Akbar belum selesai mengeluh. Dia masih mengoceh, "Everyone is imperfect. This is life and sometimes it's better to be imperfect. Life changes fun and unpredictable with someone imperfect. You know, like Kak Dira. She's far from perfection. She's not smart. She's not pretty. She's not sexy even though she's a girl. She looks old and weird. But it's good to live with her. What's in ayah's mind to reject her? She's pretty. She looks kind and normal."

Nenek mengaduh tanpa suara akibat ocehan Akbar. Dari balik kemudi, Nandar mengintip kekalutan si nenek dan mengulum senyum, lantas balik memfokuskan diri pada jalanan.

"Nek, ayah is normal. Right?" Akbar menegakan badannya.

"Akbar, kamu coba curhat sama Bang Reyyan. Nenek nggak ngerti gimana jawab kamu. Nenek itu perempuan, yang cocok jawab kamu itu Abang," aku si nenek.

"Aaah, Nenek." Akbar merosot di kursinya. Dia memandang jendela dengan lesu. "Abang Reyyan doesn't know about Ayah and the girl. If he knows, he may be angry to us."

"Kenapa Abang marah sama kita?" Nenek itu seketika tertarik.

"Abang said, "Ayah is an adult. He knew better how to live his life than us. You don't need to intervene his decision or else." But I must to intervene. I wanna have mommy. Euuugh..." Akbar menutup wajahnya menggunakan kedua tangan, lalu menendang-nendang udara.

Si nenek menumpukan siku pada sisi kursi sembari menonton tingkah Akbar. Jarang-jarang dia bisa melihat profesor ciliknya alias procil bertingkah sesuai usianya. Terlalu sering si nenek tidak menangkap makna omongan cucunya karena kosakata yang di luar jangkauan kebanyakan anak-anak seumurannya sementara si nenek sendiri memiliki kemampuan berbahasa Inggris yang terbatas untuk komunikasi harian.

"Bar, kamu tuh kalo ngerengek kayak gini, rasa-rasanya Nenek bisa minta Nandar putar balik ke warung tadi buat lamar cewek itu jadi mami kamu," ucap Nenek.

"Really?" Akbar mengintip dari balik jari-jari kecilnya yang putih.

"Sayangnya, Nenek nggak bisa." Nenek tertawa.

Akbar memajukan bibirnya penuh kekesalan, lantas membuang muka ke jendela. "Don't give me hope."

Nenek berhenti tertawa. Dia mengatur ekspresinya lebih serius saat berujar, "Harapan kamu bukan Nenek yang wujudkan. Kamu yang bisa bikin harapan kamu jadi nyata. Bukannya kamu udah liat Abang ingin menang olimpiade fisika. Dia belajar siang malam sampai ikut les dan punya tutor pribadi. Akhirnya, Abang menang, kan? Itu karena Abang punya harapan, berusaha, dan berdoa. Bukan nggak mungkin kamu yang ingin punya mami bisa punya mami. Segera."

Akbar memandangi neneknya dalam diam. Ada banyak hal yang dipikirkan anak itu dalam diamnya dan si nenek tak tahu bagaimana otak di balik kepala kecil cucunya tengah beroperasi menyusun rencana.

MoM

Matahari bersinar terang di langit. Sinarnya menerpa atap mobil van hitam. Pintu di bagian penumpang bergeser membuka, lalu melompat keluar sepasang kaki mungil.

Perhatian para mahasiswa yang lewat di sekitar area parkir teralihkan oleh sosok yang baru mereka temui di kampus.

"Rambutnya lucu banget."

"Kenapa ada anak kecil di sini?"

Bisik-bisik sekelompok mahasiswi yang mencuri pandang ke sosok yang turun dari mobil. Sikap mereka menunjukkan rasa penasaran yang kental.

Anak yang menarik perhatian itu membenahi rambut berpomadenya yang bergaya mohawk. Dia membenahi letak kacamata, lalu menyisir suasana parkiran secara singkat. Puas terhadap hasil pengamatannya, dia berjalan di antara mahasiswi dengan sengaja.

Dari balik pintu pengemudi, Nandar berlari mengejar tuan ciliknya. Dia perlu memutari kelompok mahasiswi yang setengah terpana oleh penampilan Akbar yang penuh gaya. Anak itu mengenakan celana berbahan jins di atas lutut bersanding kemeja putih yang dilapis rompi hitam. Kaos kaki putihnya panjang sampai di bawah lutut dipadu boots hitam semata kaki. Pengunci gespernya bergambar tyranosaurus. Tidak pernah ada bocah kecil senecis Akbar datang ke kampus itu. Nandar hanya bisa berpasrah mendampingi Akbar seraya memastikan keamanan anak bosnya di tengah sorot heran campur takjub para mahasiswa. Akbar telah membuat jalan fashion walk-nya tanpa disadari.

"Oh my God, anak siapa ini? Keren banget!" Seorang perempuan muda berseru girang saat berpapasan Akbar di tangga yang menuju bangunan fakultas.

"Eh, kok ada bocah di kampus?" Pemuda di sisi gadis itu ikut keheranan.

Akbar menurunkan sedikit kacamatanya. Alisnya menukik. "You both ... euhm, apa kalian bisa bantu aku?" tanyanya sopan.

"Boleh. Adik butuh bantuan apa?" Si gadis turun tangga dengan cepat, lalu berjongkok di depan Akbar.

"Kakak cantik tahu di mana Kak Yuniza?"

"Za? Kamu kenal Yuniza?" Gadis itu melirik si pemuda. Mereka bertukar tatapan kebingungan.

"Gimana dia bisa kenal Yuniza, Key?" Si pemuda berbisik agak kencang.

Nandar sebagai orang dewasa yang mendampingi Akbar maju. "Apa kakak berdua kenal Kak Yuniza?" tanya Nandar.

"Kenal sih, tapi kenapa kalian nyari Yuniza?" Gadis itu berdiri dengan waspada.

"Aku punya bisnis sama Kak Yuniza," jawab Akbar.

Gadis dan pemuda itu bertukar telepati. Sepuluh menit kemudian, Akbar mendapatkan yang dicarinya atas bantuan kedua mahasiswa tersebut.

###

06/11/2022

Grapefruit & RosemaryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang